-02-

32 4 1
                                    




































Langkah kaki dari sepatu seorang perempuan melewati lorong. Berjalan dengan angkuhnya, menuju satu objek yang berdiri di depan salah satu sekolah.

"Kak Aldi!!" kata katanya tegas, tidak ada nada gentar sedikit pun di suaranya.

Yang di panggil menoleh, mendapati seorang wanita dengan paras rupawan bak dewi yunani. Sayangnya tidak dengan kelakuannya.

Menaikkan alisnya, tanda tanya besar terpampang jelas di wajahnya. "Apa?" jawabnya, dingin.

Gadis itu mengeluarkan sepucuk surat dengan stempel berbentuk hati di tengahnya.

Oh, surat cinta. Batin sang adam.

Dia menerima surat itu dan melenggang pergi begitu saja, meninggalkan sang gadis dengan keadaan linglung.

Tak menyerah, sang gadis berlari menyusul lelaki lebih tua satu tahun darinya itu.

"Aku suka sama kakak!" dengan napss terengah ia mengatakan hal itu.

Helaan napas keluar dari mulutnya. Berbalik dan mengelus pucuk kepala gadis itu. "Masih kecil nggak boleh pacaran." ucap Aldi.

"Sampek kapan aku harus nunggu, kakak selalu bilang masih kecil setiap aku nyatain perasaan ku ke kakak." raut sedih tercetak jelas di wajahnya.

"Kamu emang belum besar masih umur 17." mengukir senyum tipis, tapi kelewat manis bagi yang melihatnya.

"Aku harus nunggu berapa lama lagi emang kak? Aku capek kakak gantungin terus." ucap perempuan itu menunduk. Menyembunyikan wajahnya dari sang adam.

"Kalo yakin bisa nunggu, lima tahun. Tunggu kakak lima tahun lagi." ucap sang adam. "Kalo perasaanmu ke kakak tetap sama kita langsung nikah aja." ucapnya dengan berani, atau kelewat nekat? Entahlah tidak ada yang tahu.

"Kakak janji ya?" mengulurkan jari kelingkingnya pada sang adam. "Lima tahun lagi bakal aku tagih."

Aldi hanya bisa menghela napas dan menyambut sodoran jari kelingking perempuan manis di depannya.

"Aku pergi dulu." berbalik membelakangi sang gadis, lalu melenggang begitu saja. Tak ada niat bertanggung jawab karena telah membuat hati sang gadis ambyar tak karuan. Ini pertama kali bagi sng gadis menerima usapan kepala yang begitu lembut darinya.

"Jeno nggak makan? Kantin?" Anya menawari Jeno, tahu kalau cowok itu tidak membawa apapun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jeno nggak makan? Kantin?" Anya menawari Jeno, tahu kalau cowok itu tidak membawa apapun.

"Nggak, mager." ujarnya persis seperti yang anya kira.

"Makan bareng gua, bawa bekel dua gua." menyodorkan salah satu kotak makan siang yang ia buat dirumah. Sudah menjadi kebiasaan bagi Anya membuatkan makan siang untuk Jeno.

"Padahal gua dah bilang nggak usah dibikinin lagi tetep aja ngeyel." sang adam mengomel, meski begitu dirinya tetap menerima masakan dari Anya. Mau bagaimana lagi, masakan seenak itu kok di buang, kan sayang.

"Padahal lo terima juga gitu." Anya mulai menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya.

"Hemm, makasih banget loh. Tau aja gua gak pernah di perhatiin." menatap sendu makanan dihadapannya, semangatnya mulai meredup.

Ini bukan Jeno. Mengibaskan tangan di depan wajah Jeno, membuat lelaki itu sadar dan tersenyum manis ke arah sang gadis. "Gak usah dipikirin, makan aja sana." ucap Anya mengelus kepala seorang Jenovvan.

Yang dinasehati hanya bisa mengangguk pasrah. Ya mau bagaimana lagi itu memang sudah takdirnya.

Makan dalam keheningan tak membuat suasana diantara mereka menjadi canggung, tapi menenangkan. Anya suka sekali dengan keadaan seperti ini, ketimbang keadaan kelas yang berisik.

Setelah selesai makan Anya mengambil kotak makanan yang isinya telah dihabiskan oleh sang adam. Menaruhnya di totebag miliknya. Bersamaan dengan kotak makan miliknya.

"Nanti pulang bareng nih?" membuka percakapan, Jeno mendapati gadis disebelahnya sedang berpikir.

"A-" ucapannya terpotong tatkala suara yang tak begitu asing memasuki gendang telinganya.

"Kak Evan nanti pulang bareng yaa?" perempuan itu menggandeng asal lengan lelaki di sampingnya.

Tak langsung menjawab sang adam memilih diam, menatap sang gadis yang sedang menatapnya dengan tatapan sukar diartikan.

"Sorry, nanti gua pulang bareng Adrienne." melepas perlahan tangan yang melingkar di tangannya.

Perempuan itu hanya terdiam menatapnya dengan tatapan sedih yang dibuat buat. Adrianne yang melihatnya mengalihkan tatapannya ke arah lain, muak dengan aktingnya yang begitu murahan.

Bodoh. Jeno sungguh bodoh, bagaimana bisa dia menyukai perempuan yang bahkan tidak peduli dengan perasaannya dan bahkan menjadikannya batu loncatan untuk lebih dekat pada sahabat lainnya.

"Oh yaudah deh, aku balik ke kelas dulu ya dadah." perempuan itu melambaikan tangannya sebelum menghilang setelah berbelok ke arah kanan.

Adrienne mengamati wajah Jeno, dia merasa kasihan padanya. Dimanfaatkan, ia dimanfaatkan oleh perempuan tadi hanya untuk kepentingannya sendiri.

Jeno sendiri sebenarnya tahu, dia telah dimanfaatkan. Tapi dia memilih bungkam. Terlanjur jatuh pada pesona sesaat perempuan itu.

"Ck, tinggal bilang iya napa sih?" Anya memborbardir Jeno dengan pertanyaannya, tahu kalau lelaki di depannya sedang berusaha menjaga jarak dari cewek yang disebut sebut pacarnya itu.

"Mau move on aku tuh, nata hati." ucap Jeno dengan nada yang dibuat buat. Anya hanya memutar matanya.
Jengah dengan kelakuan lelaki yang ada di depannya ini.

"Sini jen, ajarin gua." menyodorkan buku matematika miliknya, soal dengan tulisan tangannya terlihat rapi dengan Highlight berwarna biru di bagian judulnya.

Mengalihkan atensi sepenuhnya ke perempuan di depannya, mengajari dengan alon alon supaya perempuan itu cepat faham. Entahlah, Anya juga tak tahu kenapa jika itu yang menjelaskan Jeno dia semakin cepat faham. Kalo kata Jeno sih, efek melihat ketampanan wajahnya. Terlalu percaya diri. Padahal dirinya tidak terlalu tampan.

 Padahal dirinya tidak terlalu tampan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






Desideratum - Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang