Begitu banyak sifat manusia yang berada di dunia ini, salah satunya si pemarah, si ceria, dan si pendiam. Dari semua sifat itu, aku termasuk ke dalam kategori pendiam. Memilih bungkam dari pada salah bicara, atau berujung menyakiti hati seseorang. Pagi hariku selalu di isi hal-hal yang monoton saat liburan sekolah. Umur yang sudah mulai beranjak remaja ini selalu di isi dengan kehidupan yang membosankankan. Lebih tepatnya bermalas-malasan.
Seminggu lagi adalah tahun ajaran baru, aku kembali berusaha untuk berbaur pada orang-orang yang terlalu aktif itu. Entah aku yang terlalu malas untuk bergaul, atau orang-orang itu yang terlalu bersemangat.
Disaat gadis lain pergi bermain dengan teman-teman, aku lebih memilih membaca tumpukan novel yang terletak di rak buku kamar. Terkadang aku juga menonton beberapa film untuk mengisi waktu luang. Mungkin orang rumah pun sudah bosan melihat tingkah laku dan sifatku yang tidak pernah beranjak dari kamar. Keluar pun hanya saat makan dan ke kamar kecil saja, atau hanya untuk melihat dunia luar sebentar. Itu pun juga di paksa oleh Ibu.
Aku sering kali terjaga hingga larut malam. Bergelut dengan pikiran yang terus saja membuat pertanyaan yang tidak bisaku jawab sendiri. Malam hari adalah waktuku beraktivitas, karena pada pagi hari hingga sore aku tidak bisa melakukan aktivitas yang aku sukai dengan leluasa sesuai kehendakku sendiri.
Selalu berusaha menyembunyikan kesedihan itu sangat mudah, aku hanya butuh kepura-puraan untuk menutupi semua kepedihan. Tapi susahnya di saat emosi lama meluap, aku tidak bisa mengontrol semuanya.
***
"Kalian dengar nggak? kita dulu lebih parah dari ini. Baru di hukum segini aja udah cengeng banget. Keseringan di manja yah?" suara lantang dari senior lelaki itu terdengar sangat bersemangat.
"Gimana mau maju Negara ini kalau mental anak mudanya aja lembek kayak bubur!" sambungnya, dengan sedikit penekanan.
Sudah menjadi kebiasaan dalam penerimaan murid baru melihat kondisi Junior yang selalu saja di permainkan oleh seorang yang katanya Senior itu. Merasa paling benar dan paling benar di antara yang lain, bahkan sering membeda-bedakan masa lalunya dengan masa sekarang.
Teriknya matahari tak melumpuhkan semangat senior tersebut untuk melakukan orasinya. Di lapangan terbuka, para junior berdiri tanpa di perbolehkan untuk istirahat. Bahkan mereka tak segan-segan untuk menghukum Junior, hanya gara-gara lupa memakai pita berwarna ungu.
"Itu, yang pakai kacamata. Apa alasan lo nggak bawa pita ungu?" tanya senior tersebut, dengan wajah angkuhnya.
Tak ada jawaban dari si cewek kaca mata. Membuat senior itu mau tak mau turun dari atas altar kebanggaannya. Sebagian junior ada yang berharap kalau si senior itu jatuh dari atas sana, akan tetapi harapan itu tak terkabuli. Senior itu berjalan mendekat pada si gadis berkacamata, menatap tajam sambil menaruh tangan di belakang.
"Punya telinga nggak, atau perlu gue pinjemin telinga tambahan buat lo supaya lebih jelas!"
Jarak mereka yang sangat dekat membuat si gadis berkacamata menjadi risih. Bukan hanya itu saja, tatapan dari beberapa pasang mata membuat ia sedikit mual.
"Maaf kak."
"Maaf lo nggak di terima! udah berasa dewasa lo?" mata yang sedikit sipit itu menatap tajam pada si gadis berkacamata.
Suasana hening, tak ada seorang pun yang bisa berkutik pada sang senior itu. Sekalipun senior yang lain hanya diam sambil memperhatikan senior laki-laki itu.
"Lazara Sovita." gumam senior laki-laki itu.
"Lari lima putaran, setelah itu lapor ke gue kalau sudah selesai," sudahnya, lalu kembali berjalan ke altar kebanggaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUANDA
Teen FictionBertahanlah selagi kau masih sanggup Istirahatlah jika kau sedang lelah Mengadulah jika kau merasa gelisah