"Payah!" tawa seorang lelaki berambut hitam kebiruan saat melihat anak panah milik rekannya meleset dari sasaran.
"Sialan," rambut rekannya yang dikuncir bergoyang-goyang karena gerakannya. Sekali lagi, ia melepaskan anak panah, dan kembali meleset. "Argh! Aku tak bisa fokus!"
Lelaki itu semakin tertawa melihat rekannya kesal. "Zien payah!"
Perempuan bernama Zien menatap mata biru lelaki itu. "Diam kau! Memang bisa?"
"Bisa dong."
Lelaki yang namanya tak diketahui itu mengambil busur dari tangan Zien, ia mulai meletakkan anak panah pada posisi, lalu melepaskannya ke posisi sasaran yang ada pada jarak 400 meter.
"Arc! Awas!" Zien berteriak panik begitu matanya mengarah pada seorang anak kecil berambut silver yang berdiri di tengah arena latihan mereka.
Arc melesat menggeser anak itu, dan menghentikan laju panahnya. Ia menghela nafas lega, anak itu tidak terluka.
"Hiks," suara isakan mulai keluar dari mulut anak itu, Arc menjadi panik. Ia bingung harus melakukan apa, dan bagaimana.
Zien berlari menghampiri mereka, lalu memeluk, dan mengelus kepala anak kecil yang belum diketahui namanya itu. Tubuhnya terasa dingin seperti es. Arc meraih tangan anak berambut silver itu, namun, belum sampai diraih, anak itu langsung mundur dan bersembunyi di balik badan Zien.
"Sadar diri, dong! Wajahmu tuh seram tau! Anak kecil aja nangis!" ejek Zien seraya menahan tawa.
Hening....
Arc hanya menatap datar Zien yang meledeknya. Tak terpengaruh oleh kata-katanya.
"Huaaa!" suara tangisan kencang yang bersumber dari belakang Zien mengagetkan mereka. Rupanya, Arc dan Zien melupakan seseorang yang sedang ketakutan.
"Cup cup ... Anak manis, jangan nangis, ya, diliatin sama yang lain tuh," ucap Zien. Namun, bukannya diam, tangisannya justru semakin kencang. "Eh? Apa ucapanku salah?"
"Mau pulang, hiks," isak anak itu.
Zien dan Arc saling berpandangan. "Pulang?"
"Hiks, mau ke rumah, hiks, huaa!" anak itu kembali menangis.
Arc mengangkat anak itu, dan membawanya ke dalam gendongannya. "Ihh, gemas aku sama kamu!" Arc mencubit pipi anak itu.
"Sakit!" anak itu mengerucutkan bibirnya kesal. "Pulang!"
Zien dan Arc tertawa melihat tingkah anak tak dikenal yang bisa dibilang 'nyasar' di tempat mereka.
Tiba-tiba, anak berambut silver itu terpaku melihat busur milik Zien. Matanya berbinar-binar. Zien yang melihat itu langsung memerhatikan busur di tangannya, lalu kembali melihat anak itu.
"Kamu mau ini?" tanya Zien seraya menunjukkan busurnya. Anak itu mengangguk dengan semangat.
"Eits, belum boleh!" tolak Arc. Anak itu seketika cemberut. "Pulang!"
Arc melirik ke arah Zien. Meminta persetujuan darinya.
"Kuserahkan padamu," kata Zien.
Arc membuka portal menuju dimensi tiga, tempat tinggal anak itu. Lalu, ia menyuruhnya untuk memasuki portal.
"Masuklah! Kau akan segera pulang," suruhnya. Anak itu menurut. Ia memasuki portal, lalu perlahan menghilang. "Sampai jumpa!" seru Arc.
Keadaan menjadi hening beberapa saat. Lalu, Zien tersadar dan membereskan alat-alat yang digunakan untuk latihan tadi. Mereka berjalan menuju tempat penyimpanan.
Tiba-tiba, Zien dan Arc teringat sesuatu.
"Kita belum tau namanya!" seru mereka berbarengan.
Mereka belum menanyakan namanya. Zien dan Arc sejak awal melabelinya dengan nama 'anak itu'. Entah darimana ia berasal, siapa dia, atau bagaimana dia bisa masuk ke dalam arena latihan mereka. Itu masih menjadi hal yang membuat mereka penasaran, bahkan hingga saat ini. Sayangnya, baik Zien ataupun Arc tak pernah bertemu dengan anak itu lagi. Entah memang kejadian saat itu hanya imajinasi mereka, atau kebetulan belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimensions: Ether
FantasyIni cerita tentang kami. Cerita dimana logika lebih tidak bisa dimengerti oleh nalar daripada fantasi itu sendiri. Sudah 11 tahun dari umur Sia sejak kejadian aneh itu dimulai. Walau ia sendiri tak tahu, itu realita ataukah mimpi. Keanehan itu semak...