____Ingin sekali aku memutarbalikkan waktu, lalu mengulang semua kembali dari awal. Namun sayangnya, itu hanya wacana dalam imajinasiku saja. Aku tak tahu, apakah aku akan tetap seperti ini. Yah, walau aku berharap, akan ada saat dimana duniaku lebih indah dari ini.
Langit mulai berwarna oranye, dan awan yang terpantul cahaya matahari berwarna merah. Ah, tak disangka aku harus kembali pada realita secepat ini. Padahal, aku masih ingin melanjutkan mimpi tadi. Tapi ... Ya sudahlah.
"Pagi ..." aku bergumam pelan, melihat ke arah jendela dengan gorden yang melambai-lambai tertiup angin pagi. Sepertinya semalam aku lupa menutup jendela.
Buku-buku yang akan kubawa ke sekolah hari ini sudah kusiapkan semalam. Kulirik tempat sampah yang terisi penuh dengan sobekan kertas.
"Tak masalah! Masih ada banyak lagi!" ucapku riang.
Minggu ini adalah minggu terakhir aku bersekolah di SMP Astrella. Sudah tiga tahun lamanya sekolah ini menjadi tempat bagiku untuk belajar. Sebagai satu-satunya anggota dari organisasi kedua yang mampu menguasai sekolah selain OSIS, harusnya hari ini aku menyerahkan laporan akhir. Tapi, ya ... Kemarin kertas laporan itu sudah disobek-sobek oleh teman sekelas, jadi kubuang saja. Aku bisa ke perpustakaan nanti untuk print out ulang semua laporan-laporan itu.
Rumah tampak sepi, seperti biasa. Mama dan papa sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Walau sudah terbiasa, tetap saja rasanya hampa.
Setelah siap, buru-buru aku mengunci pintu, lalu berjalan ke sekolah. Kuharap terjadi hal baik hari ini. Setidaknya.
Sekolahku tak terlalu jauh, hanya sekitar enam ratus meter dari tempat kediamanku. Sebenarnya memang lebih enak menggunakan sepeda, tapi aku lebih suka berjalan.
Aku melihat kembali isi kotak pensilku, takut ada flashdisk yang tertinggal. Lengkap.
Bruk!
Kakiku tanpa sengaja tersandung batu. Aku mengelus-elus lututku.
"Ugh ... Salah sendiri, sih!" Aku meruntuki diriku sendiri karena tak melihat sekitar saat berjalan.
"Gitu aja jatuh, dasar." Itu suara milik Kaia.
"Diam! Mana tau! Ih!" sahutku sebal seraya melipat kedua tanganku di depan dada, berlagak kesal. Tidak. Aku memang kesal, tau!
"Makanya, kalau jalan itu lihat ke sekitar juga, jangan bengong!" timpal Aure.
Aku menggembungkan pipi, kesal, sungguh! Mereka terlalu suka menggodaku, huh. Aku kembali melanjutkan langkah, kali ini dengan hati-hati.
Aku menyibak gorden, dan membuka jendela di kelas yang masih sepi. Masih pukul enam lewat lima belas menit, jadi wajar saja. Lagipula jam masuk masih satu jam lagi. Aku duduk di bangku, lalu membuka laptop untuk mengecek laporan sekali lagi. Aku mengernyitkan dahi ketika data dari flashdisk yang baru kumasukkan tidak ada, rusak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimensions: Ether
FantasyIni cerita tentang kami. Cerita dimana logika lebih tidak bisa dimengerti oleh nalar daripada fantasi itu sendiri. Sudah 11 tahun dari umur Sia sejak kejadian aneh itu dimulai. Walau ia sendiri tak tahu, itu realita ataukah mimpi. Keanehan itu semak...