Dua

141 12 0
                                    

(Latar waktu 3 tahun yang lalu)

Sejuknya angin menerpa wajah Algaf yang kala itu tengah duduk di sebuah kursi dacey putih yang sedang menghadap hamparan laut biru. Deburan ombak berpadu desiran angin yang sangat kentara terasa, ia memejam mata sebelum sesaat kemudian ia mengambil cangkir putih kecil yang ada di atas meja di depannya. Ia menyeruput pelan segelas cangkir putih kecil di depannya, lidahnya merasa tergigit oleh kentalnya espresso,  kesan pahit tertinggal di indera pengecapnya. Dengan anggun di keramaian ia meletakan kembali gelas tadi ke atas meja kecoklatan yang tampak licin yang diatasnya juga terdapat sebuah kotak yang Algaf bawa lalu membalikkan pandangannya ke arah lautan biru yang diatasnya terdapat beberapa kapal tengah berlayar di waktu pagi menjelang siang itu.

"Are you Algaf?"

Seorang pria paruh baya yang tubuhnya cukup gendut menghampirinya, pria itu mengenakan kaos rajut berwarna merah bermotif kotak juga mengenakan celana kain hitam serta topi lepet di atas kepalanya, pria yang terlihat sederhana itu menarik kursi putih yang tersedia di depan Algaf lalu duduk di sana.

"I'm Gilbert."

Lelaki itu mengulurkan tangan pada Algaf, dengan senyuman tipis Algaf menyambut tangan tersebut, mendorong tangan ke arah bawah lalu melepaskannya.

"Hello Mr. Gilbert, Please guide me," ujar Algaf.

Lelaki yang bernama Gilbert itu ternyata adalah seorang pelukis internasional yang sisa hidupnya ia habiskan melanglang buana dengan seperangkat alat lukisnya.

Gilbert telah menandatangani kontrak dengan perusahaan ayah Algaf untuk membimbing Algaf selama setahun di Amerika dan hari ini mereka bertemu di sebuah cafe di Amerika yang terletak di tepi laut tempat sekarang mereka berada.
Selain belajar nonformal, Algaf juga masuk ke sekolah swasta yang mempelajari tentang seni, bisa dibilang di sekolah itu tidak terbatas akan jadwal tapi Algaf berencana menetap di Amerika selama dua atau tiga tahun dan sekolah di sana untuk menimba ilmu di usianya yang 17 tahun.
Dari kecil anak itu memang menyukai seni lukis.

"Nice to meet you, see you next time."

Gilbert pergi dari hadapan Algaf, Algaf menutup kotak agak besar berisi alat-alat lukisnya lalu hendak berdiri dari kursinya tetapi suatu kalimat dari arah belakang telinganya mencegah Algaf untuk beranjak.

"Yes, there is a wheel mark on his arm" (ya, ada tanda roda di lengannya).

Algaf yang sudah setengah berdiri kembali menjatuhkan tubuhnya di kursi.
Ia kembali mengambil gelas di atas meja lalu meminumnya, isi di gelas itu adalah angin karena espresso di gelas sudah sejak lama habis.
Ia pura-pura meminum cangkir dengan memutar kepalanya ke belakang, dilihatnya sekilas bahwa yang tadi bicara adalah dua orang berseragam polisi.

"Oh my God, complicated case" (ya tuhan, kasus yang rumit).

"Come on, we still have work to do,"(Ayo, kita masih punya pekerjaan yang harus dilakukan), ujar salah satunya sembari meminum cangkir di depannya dengan cepat.

"Let's go," balas yang satunya lagi sebelum mereka pergi dari sana.

Algaf kembali menatap laut, cahaya kekuningan mulai memancar dari ujung sana. Setiap melihat bentuk roda, setiap mendengar kata roda, sesak dihatinya mulai bangkit, memori di kepalanya mulai timbul.
Matanya sedikit berkaca tapi dengan cepat ia menarik nafas panjang untuk menahannya.

"Aku akan pulang, aku akan belajar bela diri malam ini dan mencaritahu kematian ibu, setidaknya dengan begitu aku baru bisa tenang," batin Algaf yang mulai meninggalkan tempat duduk putih yang dari siang ia duduki.

The Master KillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang