Tiga

121 13 3
                                    

Mereka menuju sebrang kanan kantor polisi yaitu sebuah rumah tua kecil yang dari luarnya tampak sedikit miring.
Parjono membuka ganggang pintu itu lalu menepis sarang laba-laba yang bergelantungan di petakan pintu masuk itu.

"Mau apa ke rumah tak terawat ini?" tanya Algaf.

"Tutup mulutmu anak muda, keluarkan sentermu dan ikuti aku," jawab Parjono.

Mereka masuk ke rumah yang mana lantainya adalah ubin kayu petak-petak yang beberapa bagian sudah keropos akibat binatang pemakan kayu, hawanya sangat lembab karena telah lama tak ditinggali, beberapa binatang seperti tikus,kecoa, juga laba-laba sudah membuat sarang di sana, mereka berjalan ke arah dapur.
Parjono tiba-tiba menghentikan langkahnya tepat di salah satu petakan ubin sehingga dada Algaf mengenai kepala bagian belakang Parjono saking besarnya perbedaan tinggi mereka.

"Aduh..." ujar Parjono sambil memegang kepala belakangnya begitu kepalanya tersentuh ke dada Algaf.

"Maaf kau tak memberi aba-aba," ujar Algaf.

"Kita masuk lewat sini," cetus Parjono.

Algaf melihat suasana gelap sekelilingnya dengan senternya, hanya ada beberapa peralatan dapur yang terlihat berdebu di sekitarnya.

"Kau punya kekuatan teleportasi di tempat aneh?!" tanya Algaf.

"Oh my God," sambungnya lagi sebelum Parjono sempat menjawab.

"Eh ngawur kebanyakan halusinasi dasar bocah, di bawah ubin ini ada gorong-gorong yang terhubung dengan salah satu ruangan kantor polisi."

Parjono langsung menyuruh Algaf menyingkir dari petakan ubin yang sedang mereka pijak, Parjono merogoh tas selempang yang ia kenakan di perutnya lalu keluarlah obeng kecil berwarna kuning yang ujungnya pipih.
Ia menyingkir pula dari ubin dan mencongkel tiap sudut ubin lalu terbukalah petakan cukup besar itu menjadi lobang petak yang tampak gelap dari atasnya.

"Disini ad aliran pipa dan setelah turun pipa kita lewat gorong-gorong yang bau dan becek, silahkan masuk," ucap Parjono sembari memegang ubin coklat berbentuk petak yang baru saja ia tanggalkan dari lantai.

"Kau dulu baru aku menyusul," jawab Algaf.

"Kau duluan atau kita pulang?" balas Parjono.

Algaf pun perlahan turun dari sana, ia perlahan menuruni pipa besar bawah lantai itu dengan senter diantara jepitan mulutnya.
Lalu disusul oleh Parjono, pipa yang mereka turuni memberikan kesan lekat tapi juga kasar di tangan mereka berdua pasalnya pipa itu dipenuhi lumut, dihiasi jamur dan tentunya ditambahi bumbu pasir tanah yang melekat di luaran pipa yang mereka pegang.
Sampailah mereka ke paling ujung pipa itu.
Algaf yang sampai langsung mengibas tangannya dan mengelapnya di celana, gumpalan lumut hijau yang terasa lengket memenuhi telapak tangan Algaf.

"Iuhhh..."

Algaf lalu menghadap ke atas setelah mengelap tangannya yang kotor, dilihatnya Parjono sebentar lagi sampai ke tempatnya berada.
Saat turun Algaf langsung meninggikan suara pada Parjono.

"Kenapa kau tak menawariku plastik itu paman?!" ujar Algaf kesal karena melihat plastik putih yang terbalut pada kedua tangan Parjono.

"Aku kan bawa empat, mau kuberi padamu tapi kau sudah turun duluan jadi aku pakai sendiri," jawabnya santai.

Mereka pun berjalan sekitar 200 meter ke arah barat lalu menemukan tumpukan sampah di depan mereka kira-kira tingginya sepinggang Parjono, bau semerbak tumpukan itu menusuk kedua lubang hidung mereka.

"Jangan bilang kita harus melewati ini," tandas Algaf.

"Hei kau ini mau balas dendam kan, ini saja tidak mampu? Lebih baik kau pulang tidur!" tegas Parjono.

The Master KillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang