✐ PROLOG

2.2K 217 38
                                    

Suasana di sekitar taman tampak di penuhi anak-anak yang tengah bermain. Terkecuali seorang anak lelaki yang di gandeng oleh ayahnya. Jiwanya sangat ingin bermain sesuka hati di sana, tetapi ayahnya tidak mengizinkan. Pria itu akhirnya hanya memangku anak lelaki semata wayangnya di bangku taman.

"Ji, jika Jisung besar nanti, jangan ikuti ucapan aneh dari yang Jisung dengar." Jisung atau si anak lelaki itu mendongakkan kepala untuk melihat ayahnya.

"Aneh seperti apa ayah?"

"Seperti menyakiti orang lain. Meski orang lain tidak menyukai Jisung, Jisung jangan pernah meminta suara yang Jisung dengar untuk membalaskan sakit hati kamu. Jisung mengerti?" Jisung, putra tunggal dari lelaki bermarga Han ini mengangguk pelan. Meski ia tak sepenuhnya mengerti maksud ucapan tersebut.

"Anak pintar. Satu lagi, jika Jisung tidak ingin mendengar ucapan aneh saat menyentuh sesuatu, Jisung jangan melepas sarung tangan ini." Jisung memandangi tangannya yang terbalut sarung tangan.

"Eung! Jisung gak mau lepasin sarung tangan ini, ayah." Jisung bersandar ke tubuh ayahnya. Meski keinginannya untuk bermain cukup besar, tapi entah mengapa bersama ayahnya lebih dari cukup untuk menggantikan keinginannya.

Jisung memutar posisi duduknya menjadi berhadapan dengan ayahnya. Ia memeluk leher sang ayah dan berbisik, "ayah, bunda kapan pulang? Jisung ingin bertemu bunda." Lelaki itu lantas memeluk anaknya cukup erat.

"Suatu saat Jisung akan bertemu dengan bunda."

"Benar ayah?"

"Tentu, bunda Jisung pasti rindu dengan Jisung." Jisung jadi tersenyum mendengar ucapan sekaligus harapan untuknya bertemu sang bunda.


*****

Malam ini suasana terasa tenang. Jelas saja, waktu telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Kebanyakan orang-orang telah berkelana ke dunia mimpi, begitupun Jisung. Namun, rasa haus di tenggorokannya membuat ia terbangun.

Kaki mungilnya melangkah turun dari ranjang, ia berjalan menuju pintu untuk keluar kamarnya. Baru sampai di depan pintu, Jisung mendengar suara gaduh dari luar kamarnya. Perlahan Jisung membuka pintu untuk melihat apa yang terjadi di rumahnya.

Bola matanya membulat saat melihat ayahnya sudah terbaring dengan kepala yang berlumuran darah. Seseorang yang tidak terlihat wajahnya dari tempat Jisung berada, tampak belum puas karena melihat ayah Jisung masih bernyawa. Jisung ingin berlari menemui ayahnya sekarang.

Namun, 'tetaplah disini Jisung. Tutuplah aku dan kau akan aman.'

"A-ayah, aku ingin menolong ayah." Lirih Jisung yang kini perlahan menangis dalam diamnya.

'Ayahmu bilang, kau harus tetap disini. Aku akan melindungimu.'

"Ayah.." tangisan Jisung semakin deras saat seseorang yang bersama ayah Jisung akan segera mengakhiri nyawa ayahnya bagai malaikat maut.

'Jika kau sayang ayahmu, turuti permintaan terakhirnya. Ayahmu ingin kau menutupku sekarang, dan bersembunyilah. Ayahmu menyayangimu.'

Blam!

Pintu kamar Jisung tertutup dengan sendirinya, dan bahkan pintu itu terkunci. Tangis Jisung pecah saat terakhir ia melihat ayahnya yang tidak bisa ia selamatkan.

Tok! Tok! Tok!

"Han Jisung? Kau di dalam rupanya. Keluarlah anak manis, atau aku akan mendobrak pintu ini." Tenggorokan Jisung terasa tercekat. Ia sangat takut mendengar suara seseorang di luar sana.

'Pergilah Jisung. Pergi lewat jendela kamarmu.' Meski dengan hati tak menentu, perlahan Jisung melepaskan pegangan tangannya dari gagang pintu. Ia segera berlari menuju jendela kamarnya. Membuka perlahan jendela itu dan memanjatnya.

'Berlarilah dengan cepat Jisung. Aku juga tidak akan membiarkan lelaki itu menangkapmu.' Jisung mengangguk paham dengan suara yang ia dengar, dengan segera Jisung berlari setelah berhasil melompat dari jendela.

Kaki mungilnya berlari sekuat tenaganya, hujan deras pun turut menemani pelarian Jisung. Hingga ia terjatuh berkali-kali akibat jalanan yang menjadi sedikit licin. Kelelahan mencari tempat persembunyian, Jisung jatuh tak sadarkan diri di depan sebuah rumah

*****

"Mamaaa! Cepat kemariii!" Sebuah teriakan mengusik telinga terdengar. Seorang perempuan terlihat terburu keluar dari rumah karena mendengar teriakan anak lelakinya.

"Astaga Chan-ah. Ada apa?" Yang dipanggil Chan menunjuk ke arah seorang anak yang tergeletak di depan rumah mereka.

"Chan-ah, panggil papamu cepat." Bangchan si anak lelaki itu segera menuruti ucapan mamanya. Ia berlari ke dalam rumah untuk memanggil papanya.

"Ada apa ma?"

"Tolong bawa dia kedalam pa." Papa Bangchan sedikit terkejut, namun dengan cekatan ia membawa anak lelaki yang tergeletak di depan rumah mereka kedalam rumah.

Hampir dua jam berlalu, barulah anak lelaki yang tidak lain adalah Jisung sadarkan diri. Ia memandang ke sekeliling ruangan yang ada di hadapannya.

"Aku dimana.." lirihnya bingung. Jisung segera bangun dan terduduk di atas ranjang yang ia tiduri. Matanya mengedar ke seluruh penjuru kamar, ia tidak mengenali ruangan ini.

'Kau berada di kamar tuanku. Tidur saja lagi, aku yakin kau masih kelelahan.'

"Tapi aku harus melihat ayahku."

'Ayahmu?'

"Ya, maaf aku harus pergi." Jisung beranjak turun dari ranjang. Berjalan dengan cepat menuju pintu kamar. Namun, belum sampai ia keluar dari kamarnya seorang anak lelaki yang tampak lebih tua darinya datang menghampiri.

"Ah kau sudah sadar ternyata. Ayo ikut aku." Tangan mungil Jisung ditarik oleh anak itu menuju ruang makan di rumahnya.

"Astaga Chan-ah, mengapa kau ajak dia kesini? Mama baru akan mengantar makanan untuknya." Bangchan acuh pada ucapan mamanya, ia justru mendudukkan Jisung tidak jauh darinya.

"Dia akan kabur ma, tidak tau terimakasih." Jisung menundukkan kepalanya, memang benar ia akan pergi, tapi setelah berpamitan pada siapapun yang menolongnya tentu saja.

"Tsk kau ini. Nak, siapa namamu? Dan dimana kau tinggal?" Jisung mengangkat wajahnya untuk melihat orang-orang di sekitarnya.

"A-ayah.. aku mau ayah, ayahku.. aku harus pulang." Jisung yang telah menangis hanya bisa terus mengusap matanya yang berair.

"Aku akan mengantarmu bertemu ayahmu, tapi kau harus makan terlebih dulu." Isak tangis Jisung mereda. Seorang anak lelaki lain berbisik ke telinga ayahnya. Membuat kepala keluarga disana mengerti keadaan Jisung.

"Ayah.. dia berdarah. Jisung meninggalkannya karena takut, Jisung harus pulang."

"Baik, aku akan mengantarmu pulang."

Akhirnya Jisung kembali ke rumahnya dengan di antar oleh lelaki baik yang menolongnya. Saat tiba disana, keadaan rumah Jisung sangat bersih. Dan disana tidak ditemukan siapapun bahkan ayahnya.

"Jisung, ayahmu tidak ada disini. Kemungkinan ayahmu baik-baik saja." Ya, Jisungpun berharap hal yang sama.


✐ END OF PROLOG.


Note :
Percobaan saja.
Siapa tau ada yang tertarik untuk membacanya.

Next or delete?

VOICES [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang