bayinya bian

608 84 17
                                    

❣•••❣



Janu itu adalah siswa dengan kemampuan otak rata-rata, tidak terlalu pintar, juga bukan yang terlalu bodoh. Pelajaran masih mudah diterima, selama yang menjelaskan lugas dan penyampaian materi menarik. Tapi beda cerita dengan matematika, mau semenarik apapun gurunya menjelaskan, Janu hanya paham di awal saja. Ketika sudah mengerjakan tugas, pusingnya akan luar biasa.

Seperti sekarang ini.

Meskipun bukan matematika yang dihadapi, tetapi akuntasi, mata jurusan yang ia ambil di sekolah tersebut. Matematika sudah dipelajari pada jam sebelumnya, dan itu menyisakan pening sebab dari sepuluh soal, hanya satu nomor yang terjawab. Itupun berkat penjelasan bertele-tele dari salah satu temannya yang pintar. Pintar tapi pelit ilmu.

Ditambah lagi sekarang, dengan tugas akuntansi yang banyaknya bukan main. Yang harus membuat seluruh siklus akuntansi, mulai dari mencatat transaksi, hingga membuat laporan keuangan. Dengan bonus, membuat analisis metode akuntansi FIFO, LIFO, dan AVERAGE berdasarkan persediaan barang perusahaan manufaktur yang ia kerjakan.

Sungguh, pusingnya tidak dapat ditolerir. Dan Janu mengakui ia sering berakhir menjadi orang linglung setelah mengerjakan tugas yang tidak manusiawi tersebut, yaitu menghitung jumlah uang ghaib.

"Aku gak paham, apa motivasi guru bikin jadwal produktif akuntansi habis matematika. Mau bunuh dua kali apa gimana."

Janu saat ini tengah mendinginkan kepalanya setelah seharian berkutat pada laporan yang belum selesai. Yaitu dengan cara mengadu akan kejamnya tugas akhir pada Bian yang selalu siap mendengarkan, meski sesekali terkekeh gemas akan bagaimana lucunya cara Janu mengekpresikan rasa kesal yang ia punya untuk para guru, maupun pelajaran yang ia ambil.

"Kamu bisa tanya temen, gak mungkin kan satu kelas gak bisa semua." Bian menyahut setelah dengan penuh kasih sayang mengusak surai gelap Janu agar pacarnya itu dapat merasa lebih baik.

"Masalahnya, mereka yang pinter itu pada songong semua. Apalagi, di kelas aku, kebanyakan anak cewek. Mereka pelit banget, pokoknya ngerasa superior aja kalo udah bisa selesai duluan. Ambis semua, kita yang minoritas, cuma geleng-geleng kepala."

Janu itu sekolah di SMK yang entah bagaimana bisa berakhir dengan lebih banyak pelajar siswi daripada siswa. Bahkan di angkatannya, hanya terdapat lima belas siswa laki-laki keseluruhan. Dan yang paling banyak ada di jurusannya, akuntasi.

"Eiii, padahal kan sama-sama nuntut ilmu. Kenapa malah lomba-lomba gitu sih."

Janu cemberut, mengingat betapa kejamnya siksa sekolah --meskipun sedikit ia lebihkan-- yang membuatnya terkadang berpikir salah jurusan. Padahal sudah hampir lulus.

Kalau begini, Bian ingat masa SMA nya yang telah berakhir dua tahun lalu. Memang, tidak dapat dipungkiri masa itu adalah masa yang cukup sulit, ia harus belajar dengan giat agar dapat nilai yang memuaskan. Tetapi, Bian dulu tidak terbebani dengan hal itu.

Terlalu tenggelam pada pikirannya sendiri, suara tinggi nan melengking milik Hanin menyita perhatian keduanya. Terlebih Janu sebab Banana Smoothie kesukaannya akhirnya hadir dan siap untuk mendinginkan kepala serta kerongkongannya. 

"PESANAAANN DATAAANGGG!!"

Bian hanya terkekeh sembari geleng-geleng kepala, pasti sekarang Hamid sedang komat-kamit kesal karena seruan gelegar yang Hanin buat, cukup untuk menakuti para pengunjung kafe.

"Mukamu jelek kali sih, Jan. Kusut gitu, cuci muka sana." Komentar Hanin setelah meletakkan segelas panjang berisi minuman manis dan segar tersebut dihadapan Janu.

"Bi, kamu kapan terakhir kali ngasih Mbak Hanin bonus? Makin cerewet dah perasaan."

Hanin yang mendengar itu tanpa pikir panjang segera menarik telinga Janu hingga sang empu memekik kesakitan, tak jadi menjamah smoothie kesayangannya.

"Akkkk!! Mbakkk, sakiitt!!"

"Salah sendiri."

"Lepass, duh, Mbak! Bisa copot telingaku!!"

Dengan kikik penuh kepuasan, Hanin akhirnya melepaskan daging yang ia tarik tersebut. Yang kini merah padam bagai diselimuti darah. Janu makin mengerucutkan bibir jengkel. Matanya melirik sadis ke arah gadis keturunan Batak tersebut.

"Balas dendam, soalnya kamu kemaren lempar sendal Mbak di jalan. Mampussshh!"

Sebelum Janu berhasil membalas, Hanin lebih dulu beranjak pergi dengan berlari. Tingkah keduanya tak ubah bagai kucing dan tikus yang pasti akan selalu bertengkar saat bertemu. Dan Bian akan terpingkal ketika melihat atau menghadapi dua manusia itu saling melempar kenakalan.

"Bi, liat, kuping aku sakiitt..." Janu menunjukkan telinganya yang memerah, menarik tangan Bian agar mengelus titik itu berharap sakitnya reda --meski tidak seberapa--.

"Kalian tuh kenapa sih berantem mulu tiap ketemu."

"Mbak Hanin emang jail, aku diem padahal."

"Ck, bisa-bisanya."

"Ini elus dulu, masih sakit.

Janu kembali mengarahkan tangan Bian pada telinganya, bersandar pada sentuhan lembut tersebut sembari tersenyum sumringah. Janu tengah dalam mode manja, dan tidak bisa dipungkiri, itu sangat menggemaskan hingga Bian tak punya kuasa untuk menolak.

"Kamu kalo lagi manja begini, bikin aku sadar dan kaget dengan kenyataan kalo kamu tuh lebih muda dari aku," celetuk Bian.

Janu yang semula mengusak-ngusak kepalanya pada tangan Bian dengan nyaman itu akhirnya membuka pelupuknya, bertemu dengan netra petang milik sang pacar yang selalu menyorot teduh. Seolah-olah di situlah tempat paling aman untuknya mengadu pada setiap kegelisahan.

"Kaya bayi," imbuhnya.

Yang lebih muda mengusak hidungnya tersipu. "Emang aku kalo gak lagi mode manja gini keliatan keren, ya? Kalo gitu, lamun panggil aku mas aja. Biar makin nggak sadar."

"Mas Janu?"

Janu mengangguk cepat. "Hooh."

Bian menyengir lebar, sebelum akhirnya elusan pada daun telinga sang pacar berubah menjadi cubitan gemas yang teramat sadis hingga menghasilkan pekikan tragis.

"Aaaakkk!! Aduh!! Adudududduuuhhh!!"

"Ngelunjak, dasar."





❣•••❣



❣•••❣

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


the little things called love | jeongbin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang