nanti gantian aku

331 62 23
                                    

❣•••❣

Satu bulan yang ditunggu akhirnya datang, hari di mana Guntur akan mengumandangkan janji suci bersama mantan pacarnya, calon istrinya.

Janu hadir bersama dengan kedua orang tuanya, Bapak dan Bunda secara pribadi mengundang mereka tanpa sepengetahuan Janu lebih dulu. Ya, meski datangnya tidak secara bersamaan, karena Janu berangkat lebih dulu dan harus terkejut dengan kehadiran Ayah sama Mamah di tempat yang sama.

"Aku heran, sejak kapan Bapak sama Ayah kayak temen lagi reunian gitu. Kok bisa ngobrol bareng."

Janu mengerutkan kening heran, lalu kembali menaruh perhatian pada Bian yang kini duduk di sebelahnya. Sedang menunggu acara sakral itu di mulai.

Bian pun sekilas melirik ke arah Bapak dan Ayah Janu, lalu kembali pada sang kekasih yang masih menunggu respon. Meskipun cukup heran, namun reaksi Bian tidak terlalu berlebihan seperti Janu.

"Biasanya kan emang suka gitu kalo orang tua, mah. Ada aja yang diobrolin. Bagus malah kalo mereka bisa temenan." Bian menyeruput satu teguk air mineral gelas di atas meja bundar yang saat ini jadi tempat mereka duduk.

Kalau ditelaah lagi, apa yang Bian katakan benar juga. Pikiran Janu mendadak berkelana kemana-mana, tersipu sendiri kala membayangkan waktu di mana Bapak akhirnya merestui hubungan antara dirinya dan sang pacar datang. Dan ia bisa dengan leluasa bertemu dengan Bian, mengajak Bian kencan setiap hari, mengunjungi Bian setiap waktu, dan melakukan segal hal yang selama ini terbatas akibat sifat posesif dari Bapak terhadap anak bungsunya.

"Kamu kenapa senyum-senyum gitu?"

Lamunan indah itu harus pecah kala Bian menegurnya, dan Janu kemudian dengan cengiran tengil mendaratkan kedua tangannya pada pundak Bian. Lalu dagunya pun beristirahat di sana.

"Hehehehe, nanti kalo udah dapet restu Bapak, aku mau ngajak kamu main ke rumah. Tiap hari."

Bian meliriknya dengan iritasi, meski tidak keberatan dengan ide tersebut, namun dari bagaimana mimik wajah Janu terlukis membuat Bian berpikir dua kali. Dan berprasangka lain.

"Ngapain aku harus ke rumah kamu tiap hari. Aku kan harus kerja, aku kuliah juga."

Mendengar itu kontan membuat semangat Janu kontan jatuh. Bibirnya mencebik sedih dan pacarnya yang duduk disebelahnya itu hampir gagal menyembunyikan tawa.

"Kamu tega."

Hanin dan Hamid yang memang duduk berada di meja yang sama dengan pasangan kekasih itu menggeleng maklum. Meski sedikitnya cukup gemas akan tingkah Janu yang memang sesuai umurnya. Sebab terkadang remaja itu terlihat atau bersikap lebih dewasa dari usianya.

"Pacarmu gampangan ngambek, cari yang lain aja." Hamid menginterupsi pasangan muda yang belum resmi tersebut.

"Gak usah ikut campur!" Janu memekik dalam bisikannya.

"Hushh, jangan berantem. Acaranya udah dimulai."

Janu masih mempertahankan wajah dongkolnya. Sedangkan pasangan Hanin dan Hamid tertawa bahagia.

❣•••❣

Pengantin wanitanya berjalan ke altar, sedangkan Guntur telah menunggu di depan pastur dengan wajah gugup yang cukup kentara. Beruntungnya, seluruh undangan pun merasakan tensi tegang yang sama.

Bian akan mengakui tanpa perlu banyak basa-basi, bahwa calon kakak iparnya benar-benar bagaikan seorang ratu siang itu. Begitu cantik dengan riasan ringan pada wajahnya yang pada dasarnya memang telah terpahat mendekati sempurna. Ia merasa bersyukur dan beruntung untuk Guntur, karena akhirnya sang kakak menemukan orang yang tepat.

Bian tahu wanita yang saat ini mengambil giliran mengucap janji suci di depan sana adalah sebuah keputusan yang sang kakak ambil dengan sangat baik. Mereka tampak sempurna bersama.

Ia tidak perlu khawatir. Karena Guntur kini punya orang lain yang akan merawatnya dengan baik, setidaknya akan jadi orang pertama yang akan memukul kepalanya ketika terlalu sering bergadang. Mengambil alih pekerjaannya.

Dua pasangan yang telah mengucapkan janji suci itu kini saling bertukar cincin, hanya sebagai simbol akan ikatan tak kasat mata yang sekarang telah terhubung satu sama lain. Bian bisa melihat kakaknya menitikkan air mata yang begitu jarang menampakkan wujud.

Guntur selalu mengatakan menangis adalah hal terakhir yang ia lakukan sebagai laki-laki. Didikan Bapak membuat sang kakak menjadi sosok tangguh baik untuk dirinya sendiri, keluarga, dan untuk Bian.

Bian pun melihat Bunda juga Bapak telah menangis di tempat. Barangkali merasa bangga anak tertua mereka kini benar-benar telah dewasa. Atau malah bersedih karena tugas mereka sebagai orang tua telah selesai. Lebih tepatnya, terharu. Momen itu sungguh mengharukan.

Bian merasakan sebuah tangan mengelus pundaknya. Dan saat kepalanya menoleh, Janu dengan senyum paling menenangkan dan pandangan paling teduh yang pernah ia lihat, menyapa dalam diam.

"Sini, peluk."

Janu membuka kedua tangannya dan Bian tidak perlu berpikir dua kali untuk dirinya pun akhirnya menyambut pelukan yang tersedia untuk dirinya tersebut. Bian menangis di dalam dekapan tersebut. Menenggelamkan wajahnya pada pundak bebas sang pacar yang kini dipinjamkan padanya.

Yang lebih muda menepuk pelan punggung Bian, menenggelamkan diri dari bising di sekitar mereka yang turut merasakan haru bahagia untuk pengantin di depan sana. Mereka berada pada dunia mereka sendiri.

"Mas Guntur, bahagia, kan, ya?"

Janu mengangguk, kini tangannya yang tadi singgah di punggung berpindah pada belakang kepala Bian. Mengelus surai hitamnya begitu lembut penuh kasih sayang.

"Iya, pastinya."

Tentu saja, bahkan saat ini terlihat Guntur masih belum bisa menghentikan tangis harunya. Janu terkekeh pelan.

"Nanti aku yang gantian bikin kamu nangis bahagia gini. Sama aku berdiri di depan sana."

Itu cuma janji main-main yang diucapkan seorang remaja. Namun, tidak ada yang tahu apakah hal tersebut hanya sekedar janji belaka atau Janu benar-benar akan mewujudkannya menjadi kenyataan.

❣•••❣

❣•••❣

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
the little things called love | jeongbin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang