Panah asmara kadang kala tak tepat waktu dan tempat untuk mengincar pula mengenai sasaran. Entah meleset atau memang sebuah kesengajaan, siapa yang tahu? Bukankah perkara perjumpaan dengan jodoh kerap datang tanpa dapat ditebak. Boleh jadi di mana dan pada siapa saja, sukar ditolak jika si kepingan rusuk telah bertemu dengan kerangkanya.
Setiap hari dihabiskan Naru dengan banyak kegiatan yang sekiranya dapat mengalihkan pikiran. Berusaha yakin akan sanggup menepis wajah eloknya dari memori. Tapi ruang dan waktu secara terbuka memberi jalan bagi mereka untuk bertemu. Terjebak, hati dan jiwa terperangkap dalam posisi berlainan. Satu kenyataan getir bahwa sebuah hubungan sedari awal telah mengikat masing-masing dari mereka. Berujung mimpi pun kian pesimis buat diraih.
Pertemuan pertama mereka bermula tanpa terencana. Sore itu Hinata tengah berada di halte yang terletak di seberang kampus Universitas Tokyo. Dia berdiri tegak sembari menenteng tas tangan. Semilir angin lembut menyebabkan rambut hitamnya menari-nari, menyentuh pipi merona sewarna buah peach. Kemungkinan dia menunggu seseorang di sana, sesekali iris kelabunya melirik ke kanan, mencari wujud yang dimaksud.
Semburan cerah si mentari petang menyapa. Kehadirannya begitu tiba-tiba, seolah ia ada sebagai penyambut figur lelaki gagah yang ketepatan berhenti di depan halte, memarkirkan motor sport miliknya tanpa turun dari si kuda besi tersebut. Bak gerakan slow motion, ketika dia menarik perlahan helmnya ke atas, secara bersamaan iris safir birunya bersirobok dengan netra kelabu Hinata. Mereka sama-sama terdiam, terbuai akan betapa dahsyat pesona si tatapan.
Euforia singkat berakhir saat bunyi klakson mobil terdengar. Suara berisiknya membangunkan mereka secara berbarengan. Tiada dapat memahami, jika pandangan sekian merupakan penghubung kuat di antara mereka berdua.
-----
Naru adalah mahasiswa semester akhir di fakultas sastra. Lelaki berusia 28 tahun, sangat menyukai novel juga musik. Ketampanannya pasti menjadi buah bibir seisi kampus, terutama di kalangan mahasiswi. Bahkan dosen-dosen wanita turut menjadikan dirinya sebagai topik perbincangan asyik. Tak jarang waktu senggang mereka lewati hanya untuk mengupas tuntas soal si tampan yang terkenal romantis. Sebutan khusus baginya, dia dapatkan atas kemenangan rutin yang diperoleh di setiap ajang pementasan puisi nasional, melibatkan beberapa Perguruan Tinggi sepenjuru Tokyo.
Sayang seribu sayang, si lelaki tampan berambut pirang sudah lama menjalin hubungan dengan salah satu mahasiswi yang juga populer di kampus. Dia adalah gadis oriental berkebangsaan China. Tidak hanya cantik, tinggi atau mahir bela diri, lebih dari itu dia punya segala yang diinginkan oleh seorang wanita. Kecerdasannya membuat dia terpilih sebagai duta perwakilan kampus. Wang Tenten, perempuan berambut cokelat dan bermata indah, dialah tunangan si laki-laki tampan nan romantis, Mikanaru Uzumaki.
Bergulir waktu, bergantinya bulan, tiada menyurutkan rasa di hati. Serupa dengan Naru, Hinata juga memiliki persoalan sama. Dia terpikat dengan tatapan hangat si safir biru. Namun jalinan cinta yang terikat dengan sang kekasih, menahan kuat gerak nalurinya.
-----
"Tenten, pacarmu sudah datang," pemuda beralis tebal menuturkan pelan. Disusul senyuman manis yang terlintas di bibir si gadis oriental. Matanya menatap lurus ke depan, tertuju khusus pada sang kekasih yang sekarang menunggu di atas motor sport.
"Sampai nanti, Lee. Cari semua referensi tadi, lalu kirimkan padaku. Sisanya biar aku yang menyelesaikan," sahut Tenten seraya memasukkan satu-persatu bukunya ke dalam tas.
"Kamu tahu 'kan, aku selalu bisa diandalkan. Hei, Nar ... jaga teman baikku ya," seruan penuh semangat saat Lee melambaikan tangannya pada Naru yang sedang tersenyum tipis ke arahnya.
"Kuliahmu sudah selesai?" tanya Tenten begitu dia berdiri di sebelah motor.
"Ya, makanya aku langsung menemuimu. Jadwal latihan 'kan hari ini? Ayo, naik!"
Mesin berderam, Naru menekan pengatur gas seraya menaikkan roda gigi. Motor siap melesat konstan dengan kecepatan normal. Tak ada yang menyadari bahwa di seberang jalan, tepatnya di balik pohon besar, Hinata berdiri bagai patung di situ, bersembunyi selagi dia mengamati gelagat Naru dari kejauhan. Tangannya meremas pelan buku tebal yang dia pegang. Sorot matanya memancarkan kemarahan, bahkan setelah motor Naru hilang dari penglihatan.
-----
-----
-----
Pagi yang cerah dan cukup tenang. Hinata duduk bersantai di kantin, sambil menikmati sebotol sari buah. Situasinya masih sepi, belum banyak mahasiswa yang tiba di kampus.
"Selamat pagi! Boleh aku duduk?"
"Silakan saja."
"Di mana pacarmu? Biasanya kalian selalu berdua."
"Seperti yang kamu lihat, enggak ada orang lain. Lagi pula dia dosen dan kami tidak pernah akrab di kampus," jawab Hinata seadanya.
"Mau makan apa? Belum sarapan 'kan? Biar kuambilkan sekalian untukmu." sengaja dia mengalihkan pembicaraan ke topik sederhana. "Kenapa? Takut ada yang melihatmu? Kamu akan mengatakan hal itu, padahal dalam perhitunganku, ini yang ke tiga kalinya kamu menungguku di sini."
"Siapa bilang? Kamu salah paham, aku tidak menunggu siapa-siapa kok."
"Ehm, berarti aku salah orang."
"Jangan!" Hinata spontan menahan lengan Naru agar tak beranjak dari tempatnya.
"Karena kamu memaksa, aku akan tetap di sini. "Katakan apa pesananmu, aku sudah lapar."
"Tapi aku sedang tidak ingin makan."
"Makan sedikit, apa saja boleh. Nanti kamu sakit."
"Sudah kubilang tidak mau. Kenapa kamu suka sekali mendesakku?" ada nada kekesalan di kata-katanya, tapi ekspresi yang Hinata tunjukkan menjadi hiburan kecil bagi Naru, dia tertawa.
"Enggak mau makan atau kamu takut dia marah?" Naru mendekatkan wajahnya sampai menyebabkan Hinata tersentak, memundurkan kepalanya ke belakang. "Tunggu di sini, aku segera kembali." pandangan Hinata mengikuti langkah Naru menuju etalase kantin, lalu balik lagi ke meja. "Aku tahu kamu benci dipaksa dan aku juga benci dibantah, makanlah!Sepiring yakisoba tidak akan langsung membuatmu gendut."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Seduction ✓
RomanceNaru tiada henti memikirkan perempuan itu, sosoknya berhasil memengaruhi, menjadikan hidupnya dipenuhi angan-angan dan bermimpi. Tentu ingin segera terbebas, namun dia sungguh sulit untuk dilupakan. Berbagai cara pun dicoba agar bisa berjauhan denga...