X.🔥

1.4K 208 50
                                    

Ada bejana berisi air, dengan selembar handuk putih di dalamnya. Benda-benda tersebut terletak di atas nakas. Pasalnya Hinata sempat mengompres dahi Naru menggunakan air dingin. Beruntung tindakannya itu tidak sia-sia, Naru bisa terlelap dan suhu tubuhnya pun berangsur-angsur turun. Tapi suasana sepi tanpa teman bicara, membuat Hinata malah terserang kantuk. Berujung ia pun berbaring di samping Naru dan ikut tertidur.

Hanya detak jarum jam yang terdengar. Hari semakin siang, boleh jadi rasa lapar mendorong Naru untuk bangun dari istirahatnya. Lelaki itu merintih kesakitan sembari memegangi pelipisnya. Tentu tak mudah untuk sepenuhnya pulih, apalagi bila nyeri di kepala. Netra safir Naru melirik ke samping. Keberadaan Hinata menghangatkan hati sekaligus menenangkan pikiran, ia tersenyum lemah.

Cukup lama ia menahan pandang ke wajah Hinata. Jari-jarinya bergerak perlahan, membelai rambut perempuan itu hingga ke pipi. Senyum tak berdaya tadi mengembang kala Hinata mulai membuka kelopak matanya.

"Syukurlah, panasnya sudah berkurang," kata Hinata setelah ia menyentuh dahi Naru dengan punggung telapak tangannya. "Dulu ibuku sering memasak sup dan menyeduh teh herbal untuk kami. Aku dan Hanabi maksudku, kalau di antara kami ada yang terkena flu atau demam. Sebentar ya, kupikir juga manjur untukmu. Biar kucoba membuatnya, untung aku masih ingat resepnya." Hinata memaparkan panjang lebar niatnya, ia menyingkap selimut dan bersiap turun dari kasur.

"Aku tidak lapar." Naru menjawab cepat dan lelaki itu cukup sigap menahan lengan Hinata.

"Bukan masalah kau lapar atau tidak. Ini menyangkut kondisimu yang sedang sakit. Kau tidak suka berurusan dengan dokter maupun rumah sakit, maka jalan satu-satunya kau harus mendapat perawatan khusus di rumah." Timpal Hinata tegas, tampaknya ia memang sengaja sedikit memaksakan kehendaknya kepada Naru.

"Aku tidak mau makanan apa-apa, yang kuinginkan cuma Hinata." tiba-tiba saja Naru mencium mesra perempuan itu dan bergerak spontan untuk mengungkung tubuhnya. "Bolehkah jika aku melakukannya sekarang?"

"Kau belum pulih, mukamu masih merah dan badanmu pun terasa hangat." jawab Hinata terus terang seraya menatap heran sekaligus cemas kepada Naru.

"Kalau begitu kita tidak perlu menundanya." kata-kata yang ia ucapkan terdengar tenang. Sedangkan Hinata, perempuan itu refleks mendesah halus ketika tangan Naru telah bebas menjamah dadanya di balik kemeja. Hinata gelisah, tubuhnya menggeliat kegelian dan Naru kukuh meperhatikan dalam diam. Seolah-olah tengah menikmati pemandangan erotis nan elok yang amat disukai olehnya. "Entah sadar atau tidak, kau selalu berhasil menggodaku," bisik Naru di telinga Hinata. Bariton seraknya menyebabkan bulu-bulu roma perempuan itu menegak secara serempak.

Desahannya terlepas ulang, namun kini terdengar berat dan panjang. Pijatan lembut Naru di sekitar dadanya menghasilkan getar-getar menyenangkan. Lidah lelaki itu terasa hangat baginya hingga ia cukup malu mengakui bahwa sentuhan Naru kali ini dapat membuatnya hilang kendali.

Ranjang berderit, erangan syahdu silih bersahutan ketika Naru berupaya mengambil seluruh esensi yang mereka nantikan. Hinata merangkul punggung lelaki itu dan terkadang ia meneriaki namanya. Beragam rasa tercipta setiap kali tubuhnya dijamah sang lelaki pujaan. Tenteram dan sukacita,  sebentuk aksioma tak terbantahkan.

Menit-menit terlewati, Naru menekan lebih dalam penyatuan mereka. Ia bahkan mengerang keras saat hakikat telah berada di ujung, kemudian terurai membebaskan diri. Keduanya terengah-engah seraya saling bertukar pandang.

"Kau seperti terbakar, lalu menyiramku dengan api." sambil memegangi pipi lelaki itu, Hinata berkata lirih.

"Api cinta?"

"Gombal!" Hinata menyerukan dengan manja, bibirnya mengulas senyum tanpa beban. Sekejap ia terlihat mengagumi bola mata Naru yang memikat, kemudian mengalungkan kedua tangan ke lehernya dan ia begitu menggebu-gebu untuk mencium lelaki itu lagi.

-----


Percintaan memang akan selalu menjadi perihal istimewa. Semasih dijalani pula saat telah berakhir dan menjadi bagian dari memori indah, yang tersimpan di benak jiwa bernyawa.

Hinata bersandar di pundaknya, terus memperhatikan wajah serius itu dengan penuh damba. "Sedang apa?" tanyanya setelah melirik singkat ke layar laptop.

"Mengirim tugas-tugasku kepada dosen. Dua hari tidak masuk, banyak yang harus dikerjakan."

"Sudah membaik?"

"Ya."

"Berarti besok bisa ke kampus?"

"Tentu."

"Masih mau menjemputku tidak?"

"Tidak." Naru mendengkus ketika ia salah menjawab. "Maaf, aku sedang fokus ke berkas-berkas itu. Pasti kujemput dan kau harus menunggu seperti biasanya." Hinata hanya diam mengamati, tak lama ia mendesah pelan sebelum mengangguk lambat. "Ada apa dengan wajahmu? Kenapa murung?"

"Dua hari keburuntunganku terbuang sia-sia. Padahal aku sempat berpikir lain, menghabiskan waktu bersamamu selama tujuh hari tanpa kehadiran Tenten. Tapi sekarang rencana itu tidak mungkin terjadi." Keluh Hinata seadanya, kini ia kerap menyampaikan isi hatinya secara terbuka.

"Semuanya salahku. Begini saja, bakal kuganti dengan kencan spesial dan terbaik dari yang pernah ada. Bagaimana?"

"Tidak! Aku tidak mau. Kedengaran seperti kau ingin mengatakan salam perpisahan padaku." Hinata terlihat cemas, ada ketakutan di mata kelabunya.

"Kau terlalu khawatir, memangnya siapa yang pergi? Aku tidak akan ke mana-mana," bujuk Naru demi menenangkan perempuan itu. Sedangkan Hinata, ia tak merespons dan justru diam memperhatikan Naru. Barangkali kecemasan kian besar menghantuinya. "Hei, jangan cuma melamun. Ayo, katakan sesuatu! Bukankah ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Bawa aku pergi bersamamu. Ke mana saja, asalkan jauh dari tempat ini. Aku tidak ingin menikah dengan Chojuro, aku juga tidak suka melihat Tenten. Apakah salah? Aku tidak membencinya, tapi dia... dia adalah tunanganmu. Aku takut suatu hati nanti kalian menikah, lalu kau benar-benar meninggalkanku." matanya berkaca-kaca, satu persatu dugaan buruk mulai menghunjam benaknya dan spontan menjelma sebagai duri tajam menusuk hati.

Naru meletakkan laptop ke atas meja. Ia membawa Hinata ke dalam pelukannya sebelum berkata, "Pertemukan aku dengan ayahmu, sudah pernah kubilang sebelumnya 'kan?"

"Ayah pasti sangat marah, dia bisa saja memukulmu."

"Kau bercanda?" Naru tertawa ringan, namun bukan bermaksud meremehkan. Ia memahami apa yang diutarakan oleh Hinata. Wanitanya itu memiliki rasa takut yang berlebihan. "Katakan pada ayahmu kalau aku ingin sekali bertemu dan selanjutnya serahkan padaku. Kau mengerti?"

"Lalu Tenten bagaimana? Beberapa hari lagi dia kembali."

"Biarkan segalanya berjalan tetap sama. Semuanya antara kau dan aku. Hanya itu yang perlu kau pikirkan, bukan orang lain." Naru membelai rambutnya, kemudian mengecup lama puncak kepala perempuan itu.

"Ehm..." Hinata mengangguk dan mengeratkan dekapannya pada punggung Naru.

"Sudah hampir sore, kau ingin kuantar pulang sekarang? Ini bahkan melewati jam pulang kampus." tutur Naru berterus terang, lalu Hinata  spontan menengadah hanya untuk menggeleng.

"Izinkan aku di sini, hanya beberapa menit lagi." katanya merengek. Sedangkan Naru, lelaki itu tersenyum sebagai jawaban iya darinya.

Bersambung...

Seduction ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang