Hujan dan suasana nan dingin sebagai saksi bisu atas perbuatan mereka di beberapa saat yang lalu. Baju dan celana berserakan di lantai, sedangkan sejoli itu kini berbaring sembari berpelukan. Hanya sebuah jaket yang menutupi sebagian tubuh mereka. Entah apa yang merasuki keduanya, hingga nekat bercinta di ruang ganti klub renang.
Hinata betah memandang wajahnya, ia tersenyum cantik selagi masih mengagumi pesona lelaki itu. Naru tertidur ketika sebelumnya mereka sempat berbincang-bincang sejenak. "Kau milikku, iya 'kan? Ini pertama kalinya terjadi dan aku bahagia," lirih Hinata kala dia membelai lembut pipi Naru. "Manis sekali, aku tidak menyangka ternyata kau pria romantis." senyumnya melebar ketika ia kembali mengulang momen-momen erotis yang mereka nikmati bersama.
Kira-kira dua jam yang lalu, di mana kegiatan panas itu bermula. Situasi yang mendukung menyebabkan keduanya terserang gairah tinggi untuk bisa semakin dekat dan terus mendekat. Nafsu secara halus merayu dan mengajak ingin dituruti, hingga ciuman panas pun terjadi sebagai pembuka.
Mata Hinata terpejam begitu tangan Naru menjamah dadanya, namun ia tak dapat melepas suara-suara aneh yang mestinya keluar, akibat Naru memberi serangan intens dengan terus memagut bibirnya secara berulang. Samar-samar gumaman terdengar, saat ia merasakan geli sekaligus nikmat di waktu yang sama. Ciuman terlepas dan Hinata langsung memperhatikan bagaimana jari-jari Naru bergerak perlahan untuk menyentuh setiap inci dadanya.
"Sebentar, bergeserlah ke sini agar kau merasa lebih nyaman," ujar Naru seraya mengarahkan Hinata untuk kembali bersandar pada dinding. Ia menggunakan jaketnya sebagai alas duduk. Berlanjut dia merenggangkan kaki-kaki Hinata dan tatkala perempuan itu coba mencerna tindakannya, Naru telah lebih dulu membuatnya bergetar. Sebentuk euforia baru, sulit diungkap dengan kata-kata. Jemarinya meremas kuat rambut-rambut Naru dan ia seakan menahan kepala lelaki itu agar tetap berada di sana selama yang ia mau.
Naru mengambil seluruh esensi yang membanjiri milik Hinata, perempuan itu dibuat tak berdaya karena serangannya barusan. Setelah ia mendongak, menyaksikan ekspresi Hinata yang menurutnya sangat sensual. Hal tersebut lagi-lagi mendorong Naru untuk melanjutkan kegiatan mereka.
Untuk kesekian kalinya, Hinata amat terkejut akan gerakan Naru yang tiba-tiba. Perlahan lelaki itu mulai memasuki milik Hinata demi menuntaskan aktivitas bercumbu yang kian memanas. Perihnya mengakibatkan Hinata mengaduh kecil, sedangkan Naru refleks menengadah. Ia berkata, "Terlalu ketat Hinata, ini sedikit sulit. Cobalah untuk rileks, hem? Kau bisa 'kan? Aku janji akan lebih berhati-hati." timpalnya lagi, kemudian sejenak ia memagut mesra bibir Hinata. Selagi perempuan itu terbuai dalam tenang, Naru pun menyelesaikan bagiannya. Dapat ia rasakan, ketika Hinata ingin mengeluh dan dia dengan sigap membujuk secara gentle.
Gejolak sejoli itu usai saat masing-masing hakikat cinta turut terurai. Hinata jatuh dalam kenikmatan bersama lelaki keinginannya. Deru napas mereka bersusulan di sisi sepi yang dingin. Rinai hujan belaka yang masih terdengar, disertai langit terang laras. Hari berangsur-angsur gelap, bersama menipisnya bulir-bulir air.
-----
"Belum puas mengagumi diriku?" katanya dengan mata terpejam. Sedangkan Hinata, ia spontan menarik jari-jarinya dan langsung menunduk malu. "Kenapa jadi diam? Bukannya tadi kau begitu menyukai mukaku ini? Kau boleh memegangnya kapan pun kau mau, atau membelai sampai puas. Karena aku senang dengan sikapmu yang intim itu. Aku jadi tahu kalau kau sangat mencintaiku, benar 'kan?""Aku tidak bilang demikian," sanggah Hinata cepat. Namun rona merah yang timbul di pipinya mengungkap hal yang berbeda.
"Jahat sekali. Ayolah... mengaku saja. Jangan pikir aku tidak mendengarnya, Hinata. Aku milikmu, iya? Dan berarti kau hanya milikku. Tidak perlu bertanya, karena itu adalah sebuah kepastian." ucapan Naru tersebut menyebabkan perasaan Hinata berbunga-bunga. "Aku bisa melihatnya, bagaimana bisa pipimu merona seperti itu? Kau seperti semangka yang menggiurkan, benar-benar cantik dan segar."
"Berhenti menggodaku." Hinata merengek, kemudian memukul dada Naru pelan. Sedangkan lelaki itu malah tertawa ringan sejenak, sebelum dia mengusap-usap puncak kepala Hinata.
"Aku ingin sekali mendengarnya. Bisakah kau katakan dengan ucapan yang manis juga tulus bahwa kau mencintaiku?" tanya Naru seraya dia memperhatikan Hinata lekat-lekat dengan senyum memesona.
"Tidak mau."
"Kau sengaja mau menyiksaku ya? Apa susahnya cuma bilang dua atau tiga kata pendek yang bahkan tak menghabiskan satu tarikan napas. Please!"
"Pembuktianku lebih dari yang kau harapkan. Apa bagusnya ungkapan cinta? Aku lebih suka menunjukkannya langsung kepadamu. Apa belum cukup?"
"Ehm... ternyata begitu." Naru mengangguk-angguk, lalu melipat bibirnya hingga memperlihatkan kedua lesung pipi yang samar. "Jadi bila nanti kau kabur dariku, bagaimana? Apa harus membuatmu hamil terlebih dulu agar kau tetap bersamaku? Tidak buruk kurasa. Kau pasti bertambah cantik dan seksi, ibu-ibu muda yang menggemaskan. Untung saja sudah kulakukan sebelum terpikir seperti ini. Ya, semoga ada little Naru di sini." ia terus mengoceh tanpa henti, disaat yang sama Hinata justru menduga agak sulit dalam menebak lelaki di sampingnya ini. Selama Hinata mengenal dan meresapi kedekatan di antara mereka, Naru kerap terlihat sebagai lelaki yang tenang. Bahkan tak jarang Hinata menunggu kalimat romantis ala-ala muda-mudi kasmaran, tapi tak jua ia terima.
"Mana mungkin aku hamil. Masa-masa suburku baru saja berakhir," ujar Hinata berpura-pura santai. Apalagi di dalam hati ia bebas meracau. Dia masih juga menggodaku? Oh Tuhan, aku tidak bisa jamin tidak akan pingsan setelahnya."
"Perkiraanku jarang meleset. Kita tunggu saja, apakah nanti kau akan mengejar-ngejarku, meminta pertanggungjawaban padaku? Kalau iya, maka dengan senang hati dan tanpa paksaan aku langsung menyanggupinya. Tapi aku ragu, barangkali sebaliknya." kernyit di kening Hinata muncul, ketika ia merasa kata-kata naru semakin rumit untuk dipahami.
"Aku tidak berencana kabur dari hal apa pun. Harusnya aku yang punya ketakutan seperti itu, bukan dirimu." ujar Hinata menyelidiki, demi menjawab asumsi liar di benaknya.
"Fakta, Hinata. Kau tidak memberi izin bertmu dengan ayahmu hingga sekarang. Padahal hanya itu yang kuminta darimu. Mungkin bila bertatap muka, ayahmu dapat menilai berbeda dan mau menerimaku."
"Kau tidak mengenal ayah. Jika dia sudah menyukai sesuatu, apa pun itu. Selanjutnya yang benar hanya argumen ayah dan dia juga yang memenangkan perdebatan. Kau harus sabar, aku yakin pada waktunya nanti... pertemuan itu pasti terjadi di suasana tepat."
"Baik, ayo kuantar kau pulang. Jam 10 nanti petugas keamanan akan mengecek ruangan ini. Bergegaslah, bersihkan dirimu." titah Naru datar, ekspresi lelaki itu berubah. Ia tampak kecewa karena kembali mendengar kalimat serupa dari Hinata. Sementara perempuan itu, ia mendesah pelan sebelum beranjak dengan hati-hati untuk segera mengemasi diri.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Seduction ✓
RomanceNaru tiada henti memikirkan perempuan itu, sosoknya berhasil memengaruhi, menjadikan hidupnya dipenuhi angan-angan dan bermimpi. Tentu ingin segera terbebas, namun dia sungguh sulit untuk dilupakan. Berbagai cara pun dicoba agar bisa berjauhan denga...