XII.🔥

1.3K 204 22
                                    

Pagi-pagi sekali, Naruto tampak lebih sibuk dari biasanya. Mengecek beberapa proposal, melihat e-mail masuk, belum lagi tugas-tugas dari kampus yang mesti diselesaikan. Di lain sisi, lelaki itu tengah bersusulan dengan waktu. Jadi tak banyak luang yang dia punya kecuali berupaya agar segalanya berlangsung sesuai rencana.

"Naruto, ponselmu terus berbunyi. Angkatlah dulu, siapa tahu hal penting." Shikamaru menginterupsi karena melihat Naru masih jua mengabaikan panggilan telepon tersebut. 

"Ya, Neji."

"Aku menelepon berulang kali, tapi kau baru menjawabnya."

"Pekerjaanku di sini masih banyak. Kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan, kututup telelponnya."

"Oh, kau sangat tidak sopan. Kaupikir aku hanya bermain? Seminggu lagi operasi ibu, lusa kau harus segera pulang. Ibu terus menanyakanmu, apalagi kau jarang menghubunginya. Anak macam apa kau ini? Apa kau tidak takut jika aku benar-benar menggantikan posisimu, hah?"

"Neji, diamlah. Mulutmu seperti petasan, bising sekali."

"Sialan! Aku tidak mau tahu, pokoknya lusa kau harus sudah pulang. Tunjukkan baktimu kepada ibu."

"Sampaikan salamku untuk ibu." Naru menyudahi pembicaraannya. Ia menaruh dengan kasar ponsel miliknya ke laci meja, kemudian berkata, "Dia  membuatku pusing. Apa semua Hyuuga memang seperti itu?" ia menghela napas berat. Sementara Shikamaru, tak berhenti menertawakan dirinya. "Kau ingin menambah pusingku juga, Shika? Tahu pintu keluar 'kan?"

"Wajar bila sikap Neji seperti itu. Dia menawarkan cara mudah, tapi kau memilih yang sulit. Kita semua terlibat bahkan ibumu. Keberadaanmu di sini menjadikan ibu Kushina sebagai korban. Beliau dalam kondisi belum stabil, pasti membutuhkanmu di sampingnya. Setidaknya kau bisa menjadi penyemangat. Neji bilang ibu Kushina masih sering melamun dan terus berpikir apakah operasi itu berhasil atau tidak." wajah serius Naru menghentikan tawanya, kemudian ia menceritakan kebenaran yang ada.

"Sebelum bertindak, aku sudah meminta izin. Ibu menyetujui dan tidak mempermasalahkan apa pun. Lusa kita kembali, di sini biar Tenten yang urus." titah Naru dan lelaki berambut top knot itu pun mendengkus malas.

"Lalu, kapan kau berkunjung ke kediaman Hyuuga?" Waktumu hanya tersisa besok." Shikamaru menyalakan pematik dan membakar batang nikotin itu. "Rumit jika kau pergi begitu saja, setidaknya beri kepastian untuk hubungan kalian."  Timpalnya lagi setelah mengisap rokoknya agak lama.

"Kita temui Tuan Hiashi ke perusahaan. Hinata belum bisa diajak bekerjasama dalam perihal ini."

"Kau yakin secara diam-diam? Takutnya malah diusir. Tanpa Hinata, bagaimana caramu meyakinkan ayahnya yang menurut informasi berwatak keras? Mustahil pacarmu berbohong." Shikamaru begitu asyik meresapi setiap isapan rokoknya dan Naru mengamatinya dalam pandangan amat serius.

"Pengecut bila bersembunyi di balik badan Hinata. Sedari awal aku yang menginginkan putrinya, jadi harusnya aku lebih berjuang." sahutnya yakin dan Shikamaru merespons dengan mengedikkan kedua bahunya.

"Silakan atur rencanamu, aku hanya membantu." Shikamaru menekan puntung rokoknya ke asbak sebelum bertanya, "Kau siap menghadapi rentetan petasan dari mulut Neji? Bukankah dia selalu cerewet bila kalian bertemu?" cibir lelaki itu seraya tersenyum remeh, sengaja menggoda Naru.

"Kau juga tahu wataknya 'kan? Dia malah lebih ribut daripada ibu. Tapi aku bersyukur memiliki teman seperti dia juga dirimu, Shika. Pada posisi ini, beribu ucapan terima kasih pun tak akan cukup."

"Kalau begitu, berikan satu apartemen mewah dan satu resort khusus untukku." sela Shikamaru cepat. dan Naru spontan tertawa di tempatnya. "Aku tidak kekurangan apa pun, Naruto. Kami berdua bukan cuma seorang teman tapi juga anggota di perusahaanmu. Lagi pula yang kami lakukan ada angkanya. Jadi berhenti bersikap dramatis, seolah-olah kau yang paling beruntung. Padahal kami berupaya menjalankan tugas." sanggahnya dengan beberapa alasan, berlanjut dia mengambil ulang sebatang nikotin.

"Termasuk mengambil kuliah sastra? Aku tahu kau sangat membenci bidang itu, tapi tetap menyetujui permainanku." Naru menautkan jari-jari, kemudian mendaratkannya di atas meja.

"Anggaplah aku tidak sengaja menerimanya. Bila dipikir-pikir lagi, tak salah diikuti. Temari sangat suka menonton pertunjukan teater. Selama ini aku pergi bersamanya, menyaksikan, diam dan terkadang tertidur sampai acara usai. Mungkin lain kesempatan, kami dapat berdiskusi." Shikamaru mengambil ponsel di sakunya, lalu mengamati sebuah potret dari perempuan cantik berambut pirang.

"Kau merindukannya?"

"Bukan pertanyaan yang pantas untuk didengar." dia menjawab ketus, sehingga Naru langsung terbahak dibuatnya. "Hampir satu semester kita berada di Universitas ini, enam bulan." Shikamaru kembali menohok dan Naru belum pula kehilangan rasa humor akibat tingkah lelaki itu.

"Nikahi saja dia."

"Aku sedang berusaha. Sayangnya dia bukan tipe wanita terikat. Dia mandiri dan senang kebebasan. Interpretasi, dia punya banyak setiap kali aku melamarnya."

"Jadi berapa banyak?" Kedua bola mata Naru terbelalak, dia amat antusias ketika mendengar pengakuan sahabatnya.

"Puluhan barangkali."

"Selalu ditolak?" Shikamaru mengangguk singkat seraya menyimpan ponselnya kembali. "Tak kusangka mukamu bagaikan tembok, Shika." ejek Naru, lagi dan lagi dia menertawai temannya.

"Aku jauh lebih beruntung daripada dirimu, Naruto. Tanpa drama besar, aku bisa dengan mudah membawanya untuk tinggal bersamaku. Bagi Temari, menikah merupakan simbol. Yang terpenting adalah bagaimana cara menikmati kebersamaan agar dalam setiap detik kau melupakan rasa bosan. Dia bilang begitu sebelum kami memutuskan untuk bersama."

"Bisa dimengerti. Satu kejelasan, kau sungguh beruntung karena wanita secantik dia mau denganmu. Ayolah, kau membosankan. Bekerja dan tidur, itulah motto hidupmu." keduanya serempak tergelak akibat humor Naru. Perbincangan pun terhenti, saat mereka kembali melanjutkan pekerjaan yang belum beres.

-----

"Hinata, ada apa? Tidak biasanya kau lemah begini. Latihan baru dimulai, tapi kau sudah cape." kata Hotaru ketika menyaksikan Hinata terengah-engah. Perempuan itu kini menepi dan duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan.  Keduanya bermain badminton sekarang, bentuk pelatihan rutin.

"Kita sudahi saja, aku lelah Hotaru. Entah kenapa, tapi aku bosan dengan kegiatan ini." ucapnya santai, lalu mereguk kencang air mineral dari botol di genggamannya. Di lain pihak, pengumuman tersebut menyebabkan Hotaru merasa heran, alis-alisnya saling bertaut.

"Bergurau di siang bolong? Tidak lucu, Hinata. Kau sangat menyukai olahraga ini. Tiba-tiba kau bilang... astaga!"

"Aku sangat serius, Hotaru. Ujian semester pun semakin dekat." Hinata menghela napas ringan, kemudian menyimpan botol minuman ke dalam ranselnya.

"Jadi pertandingan kita? Kau membuangnya mentah-mentah? Lantas untuk apa latihan selama ini?" Hotaru agak histeris, kala dia mendapati betapa tenangnya Hinata melangkah untuk meninggalkan lapangan.

"Empat bulan lagi, kupikir ulang setelah ujian semester berakhir. Ayo pulang!"

"Kau tidak bohong 'kan? Berarti pertandingan kita tetap berjalan?" tanyanya ulang seraya mengikuti Hinata dan perempuan itu justru kelihatan tak peduli.


Bersambung...

Seduction ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang