Hari cerah bagi jiwa ceria. Begitulah yang dapat tergambar melalui pengamatan mata pada sosok perempuan manis berbaju merah tersebut. Hinata tampak berbeda dengan penampilannya kali ini, lebih energik, berani dan cantik. Seolah-olah keberadaannya bisa mengalirkan semangat baru nan tinggi bagi siapa pun yang melihat.
"Kak, mau kemana?" Hanabi menyapa begitu dia masuk ke kamar Hinata, seraya menyandang ransel di punggungnya.
"Kenapa tanya? Tentu saja ke kampus," jawab Hinata santai selagi dia memasukkan beberapa buku ke dalam tas.
Hanabi mengambil duduk di pinggir tempat tidur, gadis itu menaikkan sebelah kaki dengan posisi menyilang. Sementara kedua tangannya, dia gunakan untuk menekan kasur sebagai penyangga tubuh. "Kakak belum pernah dandan kalau ke kampus, biasanya juga asal-asalan. Ada acara PENSI ya?" tanya Hanabi lagi seakan sedang menyelidiki.
"Tidak ada acara apa pun, Hanabi. Pergilah sekolah, nanti kau terlambat bila ketinggalan bis."
"Bis sekolah menunggu di depan rumah, Kak. Aku tidak mungkin duduk di sini jika bisnya sudah datang," jawab Hanabi cuek sambil dengan saksama memperhatikan wajah Hinata. "Kak, kau pakai lipstik 'kan?" goda Hanabi bersama senyum lebar di bibirnya.
"Kupikir bukan masalah kalau hanya memolesnya sedikit. Lagi pula ini jenis lipstik berwarna natural, jadi tidak begitu kentara." setelah buku-buku yang diperlukan sudah siap, Hinata menyisir rapi rambut panjangnya, lalu mengikatnya tinggi seperti ekor kuda.
"Sempurna. Kakak memang sangat berbeda hari ini. Aku yakin pasti ada sesuatu yang kau rencanakan."
"Kau tidak dengar? Bisnya sudah tiba. Pergilah dan jangan lupa belajar yang rajin." Titah Hinata kala dia mendengar bunyi keras dari klakson yang menggema hingga ke kamarnya.
"Sampai nanti, Kak. Katakan salam perkenalan dariku kalau kau bertemu dengan pria tampan berambut pirang kemarin. Kurasa aku menyukainya," gurau Hanabi dan gadis itu berlari pelan meninggalkan Hinata. Tak mau mendengar ocehan yang barangkali dilontarkan oleh kakaknya.
"Awas ya nanti! Dasar bocah tengik!" seru Hinata yang pula justru tersipu karena ulah sang adik.
-----
"Tumben penampilanmu bagus," cetus Naru ketika Hinata menghampirinya di depan gerbang.
"Hanya itu?"
"Ehm..." dia bergumam karena tak memahami perkataan Hinata. Berujung netra birunya mengamati perempuan itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
"Begini, apa kau tidak bisa sedikit memujiku? Bahkan Hanabi saja mengakui kalau aku cantik," sahut Hinata menohok. Tatapannya menunjukkan kekesalan yang kental. "Aku heran, bagaimana bisa Tenten begitu sabar menjadi pacarmu. Kau jarang sekali mengucapkan kata-kata manis untuk seorang gadis."
"Naiklah! Kau menghabiskan tujuh menit saat mengoceh. Aku tidak ingin terburu-buru seperti kemarin." Suara mesin berderam, bersamaan dengan naiknya Hinata ke atas motor. "Aku lupa membawa helm untukmu, pegangan yang kuat, ya."
"Aku tahu." Hinata menjawab seadanya, kemudian merangkul erat pinggang Naru seraya menyandarkan kepala ke punggung lelaki itu.
"Kau tidak takut?"
"Takut apa?"
"Nanti tetanggamu ada yang melihat. Gadis yang telah bertunangan dengan seorang dosen, ketahuan memeluk pria lain di depan rumahnya."
"Tidak ada yang peduli akan hal itu di lingkungan ini. Aku bahkan jarang berpapasan dengan mereka. Tapi jujur aku malah menginginkannya," kata Hinata santai, lalu ia mendesah pelan. Agaknya ada sesuatu yang membuat ia kecewa.
"Ingin berpapasan?"
"Bukan." Hinata mencubit pelan pinggang Naru, hingga lelaki itu mengaduh kecil. "Aku mau semua orang tahu kalau kita punya hubungan spesial, termasuk ayah."
Mendengar pengakuan Hinata menyebabkan Naru terkekeh. "Tinggal bilang saja, gampang 'kan? Kau mau aku yang mengungkap semuanya di depan ayahmu?"
"Tidak. Aku belum siap menghadapi sikap ayah. Dia pasti marah besar, belum lagi aku sangat takut terjadi apa-apa padanya nanti. Bagaimana pun juga dia begitu simpati terhadap calon menantu kesayangannya itu." Papar Hinata santai, sementara Naru kini dihampiri rasa cemburu dan jengkel. Berakhir dia menekan handle gasnya dengan kuat. Tanpa aba-aba motor sport tersebut melaju kencang. Tentu Hinata dibuat kaget, dia bahkan sempat memekik sebelum kembali memeluk erat Naru.
-----
Di kantin kini dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi yang terlihat mengisi bangku-bangku di sana. Pasalnya sore nanti akan diadakan pertandingan persahabatan antar klub basket ternama dari beberapa Universitas di Tokyo.
"Hinata, kau ikut menonton 'kan? Sebentar lagi dimulai. Aku tidak sabar menyaksikan penampilan dia." Hotaru menuturkan dengan gembira, perempuan berambut cokelat tersebut begitu antusias untuk mengikuti pertandingan yang hanya dua kali dalam setahun dilangsungkan.
"Dia siapa? Ada yang kau sukai?"
"Ya, dia tampan, terkenal juga tipe pria yang romantis." Sambil mesem-mesem, Hotaru mengutarakan kekagumannya terhadap sosok itu.
"Siapa orangnya?"
"Naruto, memang siapa lagi pria memesona di kampus ini? Bahagia sekali andai bisa berkencan semalam dengannya." Hotaru menimpali tenang. Sedangkan Hinata, dia refleks menyemburkan jus kotak yang barusan diminum.
"Na-naru?!"
"Ehm... ya. Ada apa? Kenapa terkejut begitu?" tanya Hotaru bingung, kedua matanya melotot memperhatikan Hinata.
"Ti-tidak. Aku cuma heran. Ternyata kau menyukai pria itu." terdengar datar, Hinata menjawab malas.
"Untuk apa kaget? Semua orang juga tahu, banyak yang mengejar-ngejar dia dan berharap dapat menjadi kekasihnya. Sayang kita semua harus bersaing dengan gadis hebat seperti Tenten." Hotaru mendengkus kasar, lalu bertopang dagu.
"Menurutku Tenten tidak sebaik itu. Sudahlah, ayo! Bisa-bisa kita dapat tempat paling belakang." Ketus Hinata sebelum dia beranjak, wajahnya spontan berubah masam. Suasana hatinya buruk kala mendengar pujian yang ditujukan Hotaru bagi sosok Tenten.
-----
Bola berwarna labu itu terpantul-pantul saat tangan kokoh Naru mendribble menggunakan gaya. Sorak sorai pun silih bersahutan, mengiringi penampilan si lelaki berambut pirang. Teriakan serempak menggema begitu bola berhasil lolos melewati keranjang. Poin untuk tim Naru, seluruh penonton turut merasakan kegembiraan para pemain yang sekarang melompat kesenangan.
"Astaga! dia sungguh keren. Hinata, kau melihatnya 'kan? Setiap bola berada di tangannya pasti selalu masuk, tembakan jitu. Kau luar biasa, sayang." Hotaru kembali bersemangat meneriaki bentuk takjubnya. Berbeda dengan Hinata yang sekarang menatap nyalang temannya itu dalam diam.
"Hotaru, suaramu berisik. Telingaku bisa cedera mendengarnya," kata Hinata sewot sambil menutup kedua kupingnya.
"Hinata... setidaknya kau perlu memahami sedikit perasaanku. Kapan lagi aku bisa begini? Tampil di depan umum adahal momen yang paling ditunggu-tunggu oleh semua penggemar Naruto dan aku salah satunya. Kau juga boleh bergabung jika mau dan perlihatkan dukunganmu." Ujar Hotaru sembari bertepuk tangan. Baru saja Naru mendapatkan ulang poin bagi timnya. "Ya Tuhan... dia melirik ke arah kita, Hinata." senyumnya melebar dan dia melepas flying kiss-nya kepada Naru.
Tanpa seorang pun tahu, Hinata semakin panas karena ulah temannya sendiri. Sulit bagi perempuan itu untuk meredam rasa cemburu. Berujung berkali-kali dia berdecak kesal, kemudian mengalihkan pandangan ke tempat lain.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Seduction ✓
RomanceNaru tiada henti memikirkan perempuan itu, sosoknya berhasil memengaruhi, menjadikan hidupnya dipenuhi angan-angan dan bermimpi. Tentu ingin segera terbebas, namun dia sungguh sulit untuk dilupakan. Berbagai cara pun dicoba agar bisa berjauhan denga...