VI.🔥

1.4K 226 35
                                    

Kelabu mulai menutupi langit-langit di kampus. Sudah dua puluh menit permainan bola basket berakhir dan tim Naru berhasil memenangkan pertandingan dengan perbandingan skor yang tipis. Rinai hujan perlahan berjatuhan sehingga membuat udara di sekitar terasa dingin.

Suasana kampus kian sepi. Pasalnya, para mahasiswa tak menunggu waktu lama dalam berkemas atau menyegerakan diri untuk pulang, begitu turnamen bola basket selesai. Cuaca mendung menjadi alasan kuat bagi mereka.

Seolah tak mengacuhkan hujan, Hinata terlihat menatap lurus ke lapangan. Sedikit demi sedikit air mulai tergenang. Seraya menunggu Naru mengemasi barang-barang, ia mendengarkan music player dari ponsel miliknya. Ada sebentuk perasaan berbeda yang hadir saat ini. Entah kenapa ia benar-benar menikmati situasi tenang beserta suhu rendah yang kini menyelimuti. Barangkali kebersamaannya dengan Naru juga memberi pengaruh besar. Tanpa kehadiran Tenten di tengah-tengah mereka, Hinata dapat menikmati waktu yang mereka punya dengan hati tenang. Jika biasanya ia akan dilanda cemas dan gelisah, maka kali ini boleh dikatakan ia teramat lega.

Mata Hinata terpejam sebelum tarikan napas panjang ia perbuat. Kedua tangannya merentang, diikuti lengkung tajam di bibirnya. "Bila tidak keberatan, kita ke klub renang terlebih dulu, aku ingin mandi sebentar sebelum mengganti bajuku," ujar Naru tiba-tiba dan Hinata cukup terkejut karena kedatangannya secara diam-diam

"Kau mengagetkan aku," protes Hinata setelah dia memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Ayo!" Keduanya berjalan beriringan ke tempat yang mereka tuju sambil bergandengan tangan. Bahagia? Tentu. Hinata tak berhenti tersenyum dan sesekali dia melirik mesra lelaki tampan disampingnya.

-----

Di bawah rintik hujan masih tampak beberapa orang mahasiswa berlarian ke gerbang.

"Kita tidak bisa pulang jika hujannya belum juga berhenti. Mau aku panggilkan taksi?" tanya Naruto, begitu ia keluar dari ruang ganti.

"Di mana bajumu? Kenapa hanya memakai kaus?" Hinata malahan berbalik bertanya ketika dia melihat lelaki itu hanya mengenakan kaus tipis tak berlengan. "Pakai bajumu, disaat seperti ini tidak ada gunanya berlagak keren di depanku."

"Jahat sekali." Naru tertawa ringan, lalu menaruh ranselnya di sebelah Hinata. "Aku lupa membawa baju."

"Astaga, aku sungguh tak percaya. Ternyata orang sepertimu juga bisa ceroboh. Jadi bagaimana kau pulang?"

"Ah! Hampir saja aku lupa lagi. Kupesan taksi untukmu ya? Sudah hampir malam dan agaknya hujan belum terlihat akan berhenti. Takutnya orang-orang di rumah mencemaskanmu." ujar lelaki itu tenang, kemudian ia mengambil duduk di samping Hinata, menggantikan ransel yang sekarang ia pangku.

"Lalu kau?"

"Setelah hujan reda, aku langsung pulang." jawab Naru seadanya sembari mengamati raut kecewa di wajah Hinata. "Kenapa diam?"

"Kalau aku ingin tetap di sini menemanimu, apa kau menolak?" berujung Hinata mempertanyakan risalah yang mengganggu di hati. Sejujurnya yang diharapkan olehnya adalah bersama dengan lelaki itu. Sayang jika menyia-nyiakan kebebasan ini walau cuma sementara waktu. Setidaknya semua berjalan lancar selama Tenten belum kembali.

Naru mengusap-usap kasar rambutnya yang masih basah, lalu berkata, "Itu bukan pilihan pintar. Bertahan di sini untuk menemaniku sama saja kau membawa dirimu ke dalam masalah. Cuaca sangat dingin Hinata, belum lagi ayah atau adikmu yang mungkin sekarang sedang menunggu di rumah." sahut Naru tenang dan berikutnya ia menghela napas berat.

"Keringkan rambutmu, yang harus dikhawatirkan justru kau. Di mana handuknya? Berikan padaku, biar aku saja yang melakukannya." Hinata menengadahkan tangan sembari menunggu Naru menyerahkan handuk yang dia minta.

"Tidak ada, hanya satu dan sudah basah karena keringat. Sepertinya aku juga meninggalkannya di rumah." kedua alisnya naik sesaat, kemudian senyum kaku terulas di bibir lelaki itu.

Terdiam karena jengkel, Hinata kini kembali menatap ke depan. Betapa hujan menikmati perannya hari ini, terbukti dari kenyataan yang tampak di mata. Bukannya mereda, malahan turun semakin deras. "Lihat 'kan? Masih mau menyuruhku pulang sekarang?"

"Naik taksi tidak membuatmu terkena hujan Hinata. Apa kata ayahmu nanti bila dia tak melihatmu di rumah?" Naru berdiri, lalu menyandang ranselnya. "Kita harus pindah ke tempat yang lebih hangat." timpal Naru lagi dan Hinata refleks menuruti pergerakannya.

-----

"Pakai ini," tutur Naru seraya menutupi tubuh Hinata dengan jaket miliknya. Memutuskan berteduh di ruang ganti klub renang sampai hujan berhenti, keduanya duduk di lantai dan bersandar pada dinding paling sudut yang tertutup oleh loker.

"Kau lebih membutuhkannya daripada diriku." Hinata berniat melepas jaket itu kembali, namun tangan Naru sigap menahannya.

"Tugasku untuk menjagamu, jangan membantah. Aku tidak perlu itu sebagai penghangat. Karena dengan adanya Hinata bersamaku, apa pun suasananya pasti terasa nyaman." kata-kata yang ia ucapkan bagai sebuah rayuan. Hinata dibuat tersipu seketika, sehingga spontan menundukkan wajahnya. "Kau malu?"

"Tentu saja aku malu, kau sangat jarang memujiku. Tapi kali ini berbeda, sejak pagi tadi sampai sekarang sikapmu begitu manis." menuturkan dengan lantang dan penuh percaya diri. Sementara Naru tidak dapat menahan rasa geli yang sepintas menggelitik baginya.

"Kenapa kau senang dipuji? Atau, ehm... sepertinya semua wanita memang demikian ya? Kecuali Tenten menurutku." sambil memegangi dagunya, ia memandang ke atas langit-langit ruangan. Belum menyadari perubahan ekspresi pada Hinata, akibat satu kalimat yang barusan keluar dari mulutnya. "Ya, dia tidak membutuhkan bualan semacam itu. Lagi pula orang-orang cerdas cukup tahu dalam menilai."

"Bagiku terdengar kau sengaja membanggakan pacarmu. Tidak perlu mengingatkan tentang kehebatan kekasihmu yang cantik itu. Aku selalu sadar dan tahu diri tidak pernah pantas bila dibanding-bandingkan dengannya." Wajahnya memberengut, dia mengeluh sembari membuang muka ke sisi lain.

"Sensitif sekali." Naru tersenyum tipis dan kembali berkata, "Aku cuma mengungkap kenyataan, bukan bermaksud menjadi juri di antara kalian. Ada yang tidak kau mengerti Hinata, sebuah nilai pada manusia belum tentu bisa mempertahankan perasaan."

Hinata sontak menoleh dengan pandangan heran. Ia langsung menyahut, "Apa yang mau kau katakan?"

"Pada waktunya nanti, kau pasti tahu dan dapat memahami segalanya." Naru mengulang senyuman dan Hinata semakin kesal, tak puas akan jawaban yang ia terima.

"Terserah, aku sudah kehilangan minat untuk tahu maksudmu." tuturnya merajuk, kemudian ia membelakangi Naru.

"Apakah aku begitu menyebalkan sampai kau berpaling dariku? Seharian ini kau sering cemberut, di lapangan juga begitu. Untung saja aku tak lengah karena mencemaskanmu. Ada apa sebenarnya?" ia memeluk erat pinggang Hinata, lalu mendaratkan dagunya di pundak perempuan itu. "Aku mencintaimu. Tapi aku juga takut kehilanganmu, sangat takut." Naru mengakui isi hatinya, lantas di waktu yang sama Hinata seolah terbang melayang. Jantungnya berdebar kencang, gelenyar aneh merayap ke aliran darahnya sehingga menimbulkan kegugupan yang tinggi. Berakhir ia diam mematung tanpa sanggup bicara.

Bersambung...

Seduction ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang