III.🔥

1.8K 231 54
                                    

Berdiri di depan gerbang Universitas, seraya memeluk buku-buku besar di dadanya. Sesekali Hinata terlihat mendengkus, barangkali kebosanan mulai menyerang di tengah penantian. Waktu menunjukkan tepat pukul empat sore, suasana kampus pun hampir benar-benar sepi.

"Lama sekali. Aku sempat berniat pulang sendiri jika dalam semenit lagi kau belum juga datang," kata Hinata begitu motor sport Naru berhenti tepat di depannya. Laki-laki itu mematikan mesin, kemudian membuka helmnya.

"Aku tidak mungkin meninggalkan mereka begitu saja, sudah menjadi tugasku sebagai pelatih. Waktu pementasan semakin dekat dan anak-anak harus tampil memukau," sahut Naru panjang. Menjelaskan alasan yang menyebabkan dia terlambat.

"Kau yakin? Tapi sepertinya kau memang sangat menikmati momen bersama mereka. Bukankah gadis-gadis itu cantik?" tutur Hinata dengan tatapan sengit.

"Cemburu, ya? Lucu sekali. Mereka hanya mahasiswi baru, tidak ada apa-apanya dibandingkan denganmu." Naru tertawa kecil setelah berhasil membuat Hinata bermuka masam, laki-laki itu sengaja mengacak-acak rambutnya hingga sedikit berantakan.

"Aku bukan pacarmu, untuk apa cemburu?"

"Jangan bohong! Itu yang kulihat di matamu." astaga, senyumnya sungguh menggoda. Hinata dibuat deg-degan seketika. "Ayo, naik! Sini bukumu, tasku masih muat." kata Naru. Ia membuka lebar resleting tas ranselnya, lalu menengadahkan tangan. "Dari mana kau dapat novel ini?" Seperti punyaku.

"Memang milikmu, kau menabrakku dan menjatuhkannya pagi tadi."

"Ternyata kau yang kutabrak. Kenapa tidak bilang? Aku mencarinya ke mana-mana. Kupikir ketinggalan di rumah, tahu-tahu ada padamu," sahut Naruto seraya memasukkan buku-buku itu ke dalam tasnya.

"Aku sudah memanggilmu, tapi kau diam saja."

"Maaf. Karena terburu-buru, jadi tidak bisa fokus. Mungkin aku yang tidak mendengar suaramu. Ya sudah, cepat naik! Aku harus menemui Tenten lagi," imbuhnya sambil menyerahkan helm kepada Hinata, perempuan itu langsung memakainya. Diiringi wajah cemberut, ia naik ke atas motor sport. Sikap kekanak-kanakan yang ia tunjukkan menyebabkan Naru terkikik geli. "Pegangan yang kuat."

"Tidak mau," ketus Hinata.

"Kalau diberitahu yang benar jangan menyangkal," tutur Naru sembari menuntun kedua tangan Hinata ke pinggangnya. "Tidak boleh dilepas, dengar 'kan?"  timpal lelaki itu, namun Hinata enggan menanggapi. Berlanjut suara deram mesin mengudara dan motor Naru melaju dengan tempo yang tinggi.

-----

Mula-mula Hinata hanya berencana untuk menjawab rasa penasaran dalam dirinya. Namun lambat laun, tak disangka-sangka justru waktu yang mengubah niat tersebut. Gelora berganti menjadi suka, suka menjelma berupa kasih sayang dan sayang itu kini ingin menuntut lebih. Cinta, Hinata berharap bisa memiliki sosoknya untuk dia seorang.

Si perempuan bermata kelabu duduk bersandar di punggung ranjang. Ia menekuk sebelah kaki dan yang satunya dibiarkan lurus. Dari perilaku yang ia tampilkan, dapat terbaca bahwa ia tengah mengalami nelangsa pergolakan batin. Helaan napas panjang mengudara, ia mengambil posisi setengah berbaring sambil memejamkan mata. Baru sebentar, ia duduk kembali dan meraih ponsel android miliknya di atas nakas. Menggulir layar, mencari galeri penyimpanan foto. Bibirnya melengkung kala menemukan potret Naru di sana. "Aku benci padamu, kau menyebalkan." Hinata berbicara sendirian sambil mengetuk-ngetuk layar ponsel drngan jari telunjuknya.

"Kak, pacarmu datang." Hanabi mengumumkan secara tiba-tiba, sehingga spontan mengejutkan Hinata detik itu juga. Ia terperanjat kaku.

"Apa kau tak bisa bersikap sopan, Hanabi? Ketuk dulu pintunya, begitu kuberi izin masuk... baru kau boleh masuk dan ucapkan tujuanmu," ujar Hinata penuh penekanan, bermaksud mengkritik perilaku ceroboh adiknya.

"Nanti saja petuahnya, sekarang turunlah! Aku tidak mau disuruh menemani pria tua membosankan yang sayangnya menjadi kekasihmu," kata Hanabi santai dan gadis itu langsung berencana untuk turun. "Kak, jangan melamun lagi." timpal Hanabi dan Hinata langsung beringsut dari kasur.

-----

"Hai, sayang. Kau terlihat lesu, ada apa?"

"Lelah, tugas kuliahku sangat banyak," Hinata menjawab datar, lalu dia mendudukkan bokongnya. Tampak kehilangan minat, ia bersandar malas di punggung sofa. "Kenapa tidak menelepon? Biasa kau selalu menghubungiku jika ingin berkunjung."

"Kita akan segera bertunangan. Kurasa hal-hal formal semacam itu harus dibuang mulai sekarang. Aku juga sudah mendapatkan restu dari ayahmu." senyumnya menjadi memuakkan bagi Hinata. Entah sedari kapan, Hinata lupa menyadari.

"Chojuro, yang kumaksud di sini bukanlah tentang sikap formal atau nonformal. Tapi komunikasi itu diperlukan dalam situasi apa pun. Bagaimana jika saat kau datang, aku tidak ada di rumah?"

"Berarti harus kutunggu sampai kau datang, aku tidak keberatan." Chojuro tersenyum menyeringai. "Bagaimana kalau berjalan-jalan? Menikmati makan malam romantis, hanya kita berdua?" tawar Chojuro bersemangat. Sedangkan Hinata masih bersikap serupa, ia memijit-mijit pelipisnya, ogah menyambut baik ajakan si lelaki berambut abu-abu.

"Kau keberatan jika malam ini kita tetap di rumah? Jujur saja aku sedang..."

"Wah, ada menantu rupanya." Hiashi mengintrupsi di pintu masuk. Laki-laki paruh baya itu baru saja pulang ke rumah.

"Ayah?! Tumben Ayah sudah pulang, padahal masih jam delapan," sela Hinata yang sekarang mendadak pusing. Adanya ayah di saat seperti ini, jelas dapat mengancam posisinya. Berakhir secara terang-terangan perempuan itu mendengkus kasar.

"Mana sikap santunmu, Hinata? Apakah begitu caranya menyambut orang tua? Kau seperti tak menyukai kedatangan Ayah," protes Hiashi mengintimidasi. "Lalu kau membiarkan tamu tanpa menghidangkan minuman?"

"Ayah, Chojuro belum lama tiba. Aku bahkan..."

"Hinata, Ayah tidak pernah mengajarkanmu menjadi pembangkang. Buatkan teh untuk kami, Ayah ingin mengobrol sedikit dengan menantu sebelum kalian pergi," titah Hiashi, lalu beringsut duduk di depan Chojuro.

"Baik, Ayah," sahut Hinata singkat dan dia bergegas menuju dapur.

-----

"Tehmu pasti terasa kecut, sama dengan mukamu yang cemberut." ledek Hanabi karena mendapati wajah masam Hinata.

"Kecut atau manis tidaklah penting. Aku justru berharap agar dia segera pulang, tapi malahan ayah yang datang. Jelas-jelas aku tidak akan bisa menolak, ayah pasti memaksaku," keluh Hinata selagi dia menuang hati-hati air panas ke dalam teko.

"Kau lamban, Kak. Padahal sangat gampang menolak jika kau memang tak mau."

"Bicara tak semudah melakukan, Hanabi. Apalagi ayah tidak suka dibantah. Dia dapat berubah sangat keras ketika anak-anaknya tak mau menurut. Tapi bukan itu yang membuatku khawatir.."

"Jadi kenapa kau selalu memperlihatkan ekspresi murung bila berhubungan dengan pak tua itu? Aku benar-benar bingung, apa sebenarnya yang kau mau, Kak?"

"Dia masih muda, Hanabi. Berhentilah menyebutnya pak tua. Kau akan paham atas apa yang kulakukan pada waktunya nanti."

"Aku bosan dengan jawabanmu dan yang kutahu kau mencintai pria lain. Kalau jadi kau, aku akan berjuang demi perasaanku sendiri. Karena tak pernah ada orang tua yang tidak ikut senang atas kebahagiaan anak-anaknya." Hanabi mengimbuhkan dengan nada menuntut, kemudian gadis berambut cokelat itu meninggalkan Hinata yang detik itu juga menuai  karut di hatinya. Ia membisu seraya bersender lemah ke dinding dapur.


Bersambung...

Seduction ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang