Langit mulai menggelap, tapi Deo tak berniat meninggalkan tempat ini.Tadi setelah keluar dari ruangan Senja, cowok itu langsung pergi ke tempat ini.
Kilasan masa lalu terus saja membayanginya, sudah dua tahun berlalu, dan hari ini untuk pertama kalinya dia menginjakkan kaki kembali di rumah sakit.
Peristiwa buruk dua tahun silam meninggalkan bekas luka yang sangat dalam untuk Deo. Di salah satu ruang rumah sakit ini, Deo pernah melepaskan cintanya pergi.
Kehilangan yang membuat kehidupannya hancur berantakan.
Segala mimpinya menguap, bahkan untuk tetap membuka mata saja Deo sudah tidak punya alasan.
Ponsel Deo berdering, menyentaknya dari lamunan.
Tertera nama Hastin di layar ponselnya.
[Ya, kenapa?] tanya Deo tanpa berbasa-basi.
'Lu di mana, De? Gue deket rumah lu nih'
Pemuda itu menghembuskan napas kasar, lama-lama di tempat ini hanya akan membuatnya semakin hancur.
[Gue otw, tunggu aja di dalem.]
"Ada apa?" Tanpa basa-basi Deo langsung bertanya kepada Hastin saat sudah duduk di sofa.
"Santuy dong bro, lu liat gue ada di sini udah kaya liat hantu aja bawaanya ngusir gue terus," cerocos Hastin seperti lambe turah yang ada di sekolah.
"Kebanyakan cingcong lo nyet, cepetan mau ngomong apa?"
"Btw bokap Lo ga da di rumah 'kan?" tanya Hastin memastikan.
"Iya, kaya lo nggak tau aja, dia kan emang orang sibuk mana ada nyempetin balik ke rumah. Palingan lagi berduaan sama tante girang dih hotel," sinis Deo sambil bersidekap dada.
Entah lah, ada amarah yang bergejolak dalam dirinya ketika membahas sang ayah.
"Uh kasar bro, eh iya gue ada berita tentang Senja. Gue tau lo suka 'kan sama tu anak? hemm?" tanya Hastin dengan senyum mengejeknya, menaik turunkan alis.
"Berita apaan?"
"Jadi, Senja itu anak broken home, De. Orang tuanya kaya nganggap dia itu benalu," jelas Hastin.
Pemuda itu tau keadaan Senja karena dia berteman dengan Senja dari duduk di sekolah dasar.
"Hah, serius? Tapi yang gue liat dia anak yang ceria," bingung Deo.
"Nih bro, Babang Hastin kasih tau. Cewek yang kebanyakan ceria dan humoris itu aslinya punya banyak beban hidup, mereka gak mau dianggep caper dengan menampakkan masalahnya. Pahami sampe situ!
"Babang Hastin mau nginep di sini ya? Udah ngantuk, mau tidur, babay Deooo," pamit Hastin tanpa malu langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur king size Deo.
Sedangkan Deo masih bergulat dengan pemikiranya.
"Kalo bener kaya gitu, lo hebat, An. Nggak salah gue sayang sama lo," ujar Deo tersenyum simpul, setelah itu ikut merebahkan tubuhnya di sisi Hastin.
***
"Bagus! jam segini baru pulang. Mau jadi apa kamu hah?!," bentak mama Senja--- Saras---menatap Senja dengan jijik.
"Nyesel saya lahirin kamu."
Habis sudah kesabaran Senja. Ia lelah jika harus diinjak-injak harga dirinya oleh ibu sendiri.
"Mama kali yang nggak pernah ada waktu buat Senja. Mama yang ggak tau gimana keadaan anaknya, atau gimana pergaulannya.
"Ohh iya, kelakuan anak itu cerminan dari orang tuanya 'kan, Ma?"
"Ma? oh maaf, Mama gak sudi punya anak kayak Senja, ya?"
Setelah mengatakan itu, Senja langsung menaiki tangga dengan santai walaupun sebenarnya sesak terasa.
"DASAR ANAK NGGK TAU DIRI?!"
Senja hanya acuh tetap melanjutkan langkahnya menuju ke lantai dua.
Sesampainya di kamar, gadis itu langsung melemparkan tas. Berlari ke arah nakas yang terdapat foto keluarganya saat Senja masih dalam gendongan sang papa.
Keluarga yang tampak sempurna dan harmonis. Senyum yang terpatri di wajah sepasang orang dewasa itu tampak sangat bahagia.
Lalu kenapa saat ini sehancur ini? Kenapa semuanya kini menjadi mimpi buruk Senja?
Jemari lentik Senja meraih foto itu dengan isak tangis yang tak bia ditahan. Perkataan dokter Alina dan mamanya terus berputar diingatan Senja , bahkan seolah tepat di dekat telinga.
Dengan luapan emosi, Senja melempar foto itu ke cermin besar, menimbulkan suara pecahan yang cukup keras.
Senja rasa suara itu terdengar ke telinga mamanya, karena kamar Senja tidak kedap suara.
Memang Saras akan peduli? Tentu tidak!
Gadis itu memekik keras, mengeluarkan semua sesak yang menekan dada.
"Kenapa Senja gak bisa dapat kasih sayang kalian? Kenapa gak bisa?!" Gadis itu menjambaki rambutnya, tetap berteriak penuh rasa putus asa.
Harapannya saat tiba di rumah akan mendapati sikap hangat orang tua, membuatnya bisa melupa dengan kenyataan yang baru saja ia terima.
Nyatanya semua itu hanya harapan dan akan terus begitu. Tidak ada cinta papa, tidak ada kasih sayang mama. Senja sendiri, bahkan hingga waktunya habis pun akan tetap seperti itu.
Senja diam sesaat ketika matanya menatap ke arah serpihan kaca yang berserakan di dekat kakinya.
Tanpa fikir panjang tangan Senja terulur mengambil beling tajam itu.
Mengamati cukup lama, akalnya menginginkan serpihan beling itu akan berguna, tapi hatinya memberontak keras.
Ada alasan yang terus bermunculan kenapa ia harus memilih jalan ini, luka di hatinya akan berakhir, hidup Saras akan lebih baik tanpa-nya.
Lalu apa lagi alasan Senja untuk tetap di sini? Siapa yang akan memahami luka hatinya, tidak ada yang membutuhkan hadirnya.
Jika bisa saat ini, kenapa harus menunggu kematiannya lima belas bulan lagi?
'Lakukan Senja, mama dan papa pasti akan bahagia, kamu tak berarti apa-apa.' Ucapan itu seolah terdengar dekat di telinga, jelas berasal dari fikirannya sendiri.
Senja mendengus, rasanya benar-benar putus asa. Serpihan kaca itu ia sandingkan dengan pergelangan tangannya yang putih seperti bengkoang.
"Mamaku akan bahagia," kekehnya, tangan kanan-nya menekan sisi tajam kaca tepat pada letak nadi, membiarkan cairan merah kental itu mengalir pada lantai kamar.
Bahkan luka pada fisiknya tak terasa karena luka yang ada pada hatinya.
"Maafin Senja, Tuhan. Tolong beri mama dan papa kebahagiaan." Senja mulai lemas, punggungnya menopang pada dinding.
Matanya yang terasa berat, mengerjab lemah saat mendengar dobrakan pada pintu.
Senja tersenyum simpul, tak berniat memposisikan tangannya agar tidak lebih banyak mengeluarkan darah.
Begitu pintu coklat tua itu terbuka, Senja juga terlelap.
"Senja?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja [TAMAT]
Teen FictionSenja sosok wanita cantik dan kuat, yang bertekad Ingin menyatukan kembali keluarganya. Namun, Tuhan berkata lain, ia harus melawan penyakit yang baru ia ketahui saat ini. Hampir menyerah dengan keadaan, sampai dia bertemu dengan sesosok makhluk Tu...