14

19 5 4
                                    

Dengan langkah gontai, Senja menuruni tangga. Cukup terkejut melihat kedua orang tuanya berada di rumah hari ini.

Kenan dan Saras tengah duduk di ruang keluarga, bahkan rasanya Senja ingin berdecih keras saat ruangan itu disebut ruang keluarga.

Saat Kenan menatap ke arah tangga, Senja mengalihkan pandangannya. Menganggap hanya dirinya yang ada di rumah, memang seperti itu biasanya 'kan?

Senja pergi ke arah dapur, tak luput dari perhatian Kenan dan Saras. Sedari tadi mereka diam bukan karena menyimak berita di televisi, melainkan sibuk dengan fikiran masing-masing.

"Tidak usah mengajak Senja bicara, Saras. Kamu hanya akan melukai hatinya," ucap Kenan sengit.

Saras menghembuskan napas kasar, "selalu saja aku yang salah, Ken. Kamu tidak pandai berkaca, ya?" balas Saras tak kalah sinis.

Mulut Kenan sangat pedas seperti ibu-ibu komplek rumahnya. Hal itu juga yang terkadang membuat mereka berseteru terus-menerus.

Kenan dengan mulut pedasnya, dan Saras dengan sifat tak mau kalahnya.

"Itu fakta, berhenti menyangkali kesalahanmu."

"Diam, Ken. Aku tidak ingin berdebat!" titah Saras mutlak. Kenan hanya mencibir, lalu memfokuskan atensinya pada televisi saat pemberitaan itu memunculkan teman lamanya yang juga seorang billionaire.

Diam-diam Senja menyimak obrolan mereka dari dapur, rumah yang sepi ini mendukungnya, lagi-lagi Senja berdecih.

Rumah yang katanya adalah istana justru bagai gudang senyap yang dingin bagi Senja.

Tidak ada waktu yang mereka habiskan untuk bersama. Bicara sesempatnya, dan itu lebih sering digunakan untuk bertengkar.

Benar-benar duplikat neraka.

"Mbak, maaf ya Senja gak jadi ngambilin kue-nya tadi," kata Senja pada asisten rumah tangganya yang baru muncul dari paviliun rumahnya.

"Iya, gak apa-apa. Mbak balik kebelakang lagi ya," pamit Mbak Ayu pada gadis itu.

Senja mengernyit, memang apa yang akan dilakukan asisten rumah tangganya.

"Lho, tadi Mbak mau ngapain?"

"Mau masakkin makan siang buat kamu, ternyata sudah ada." Mbak Ayu terkekeh. "Mungkin ibuk yang masak, Sen."

Senja tertegun, memandangi makanan yang ada di piringnya. "Mbak serius belum masak makan siang?"

Mbak Ayu menangguk yakin, tadi dia sibuk membereskan rumah. Biasanya memang Senja yang menunggunya memasak setelah pulang sekolah.

"Ya udah, Mbak ke belakang aja. Istirahat dulu," tukas Senja menghadiahi Mbak Ayu dengan senyum hangatnya.

"Iya, Mbak ke belakang dulu."

Begitu mbak Ayu hilang di balik pintu, Senja kembali menatap makanan yang ia makan tadi.

Gadis itu mengangkat bahu, berusaha tidak terlalu berharap pada perubahan sang mama yang cukup drastis.

Selesai makan, Senja berjalan perlahan ke arah Kenan dan Saras yang masih setia menyimak berita.

Mungkin ini memang awal yang baik untuk mereka bertiga 'kan?

Semoga saja begitu.

Senja mendudukkan diri di sofa yang sama dengan Saras. Membuat perhatian keduanya mengarah pada posisi Senja.

Senja yang menyender hanya tersenyum tipis, memilih berpura-pura memainkan ponsel.

Moment yang harusnya berharga ini malah menjadi canggung. Kembali lagi kepada fakta bahwa selama ini mereka jarang bahkan bisa dibilang tidak pernah lagi sejak Senja kian beranjak remaja.

Saras mengikis jarak, membuat perasaan Senja kian menghangat. Tanpa Senja duga sang mama mengambil tangan kirinya yang bebas.

Wanita itu menatapi bekas jahitan itu, Saras menengadah, menangkap basah Senja yang memandangnya dengan gugup.

Tatapan teduh itu yang Senja rindukan dari sang mama, rasanya ia ingin menghambur ke dalam dekapan Saras saat itu juga.

"Senja, Mama rasa ini belum terlambat untuk menyatakan penyesalan. Mama sadar dengan sikap buruk Mama selama ini, Nak.

"Mama benar-benar minta maaf karena tidak bisa mengendalikan emosi. Mama tidak tahu harus mengungkapkan penyesalan ini seperti apa lagi, Mama boleh meminta kesempatan untuk menjadi ibu yang baik 'kan, Nak?"

Apa Senja bermimpi? Saras kini tengah menggenggam tangannya, menatap Senja penuh kehangatan.

Bukan jawaban yang Senja berikan, tapi pertanyaan yang membuat Saras kian merasa bersalah.

"Apa Senja boleh peluk Mama?"

Saras bergeming cukup lama hingga Senja bersimpuh di hadapan Saras. Menumpukan kepala di kedua lutut wanita itu.

"Sen-senja rasa ini cuma mimpi," ucap Senja terisak.

Gadis itu rasa ini hanya karena ia terlalu berharap akan mendapat kasih sayang sang mama karena penyakitnya yang terus berkembang setiap waktu.

"Kamu tidak bermimpi, Sayang. Mama benar di sini," tutur Saras meyakinkan.

Kenan bungkam, membiarkan keduanya saling mengungkapkan perasaannya.

Senja ganti memeluk lutut Saras dengan erat, berusaha mengusir sesak untuk bicara.

"Ma ... tolong Senja. Senja gak mau mati karena penyakit ini. Senja ingin lebih lama dengan Mama seperti ini."

Kenan memandang putrinya yang masih terisak di kaki Saras. Sementara tangan wanita itu bergetar mengangkat wajah Senja agar menghadap ke Saras sepenuhnya.

"A--apa yang kamu bilang tadi, Senja?" tanyanya dengan nada bergetar.

***

To be Continue

-DevithaaNdhaa-

Huhu, jedag-jedug, Bree😖
Tinggal hitungan jam😂

Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang