3. Bagian Hilang

26 6 16
                                    

"Nggak bisa gitu dong, De. Kita udah kenal kayak gimana sih?" tanyaku, melipat kedua tangan di depan dada.

"Ya udah. Nggak usah ngambek gitu, malu sama umur.

"Sebagai gantinya kamu harus jadi pacarku. Gimana? Mau nggak?" tanyanya, menaik turunkan alis dengan senyum yang membuat matanya menyipit, seperti biasa.

Imbalan macam apa itu, kalo bukan anak baru udah kubejek-bejek mukanya.

"Ais, Deo. Jangan ngawur ya, aku gak sesabar yang kamu pikirin," tegasku lalu, meninggalkan Deo di koridor yang mulai  ramai dilalui oleh siswa-siswi sekolah.

"Apa-apan sih anak itu?" gerutuku sepanjang koridor.

Ketika tiba di depan kelas, aku mengurungkan niat, ternyata hanya ada beberapa anak laki-laki di sana.

Kuputuskan duduk di luar sambil menunggu Liza yang katanya sudah di depan gerbang.

Tatapanku tak sengaja mengarah ke arah Deo yang kembali mendekat.

Heran sama pemikiran si anak baru itu, kalau saja dia bukan anak baru, sudah kubuang ke sungai Amazon.

Permintaannya seperti kuis dadakan yang diadakan oleh guru matematikaku. Membuat pusing dan berkeinginan menendangnya jauh-jauh.

Memang nasi goreng sepuluh ribu aku gak mampu bayar sampai harus jadi pacaranya segala? Lagian itu kan dia yang memaksa, aku sudah ingin membayar 'kan?

"Deo, kalo kamu masih mau Senja anggep temen, jangan kayak gini lagi," peringatku saat pemuda itu berjarak satu meter dariku.

Aku tak pernah main-main dalam berucap, apalagi sampai menyangkut perasaan seperti ini.

Sama sekali belum terfikir untuk pacar-pacaran. Memikirkan mama dan papa saja sudah membuat otakku hampir melepuh.

Setelah bertengkar dengan segala ucapan pedas yang saling terlontar,  mereka bisa kembali mengerjakan pekerjaan, seolah tak ada yang terjadi.

Apa dunia orang dewasa se-aneh itu?

Sedangkan Deo tampaknya tak mengindahkan peringatan tadi. Buktinya cowok itu masih menatap ke arahku dengan santainya, sesekali membenarkan tatanan rambutnya.

Baru kali ini aku bertemu anak modelan dia, ganteng sih tapi agak gesrek.

Saat sedang santainya mendumal ria, aku merasakan sesuatu yang keluar dari hidungku. Tetesan itu mengenai rok abu-abuku, darah.

Dengan cepat aku berlari menuju toilet wanita, menghiraukan panggilan Deo di balik punggungku yang teredam karena jarak antara kami.

***

Saking kencangnya  menghindar, aku tidak sengaja menabrak siswa-siswi yang sedang berlalu-lalang.

Kuraih knop pintu, membukanya lalu masuk ke dalam. Membiarkan darah yang mengalir di hidungku menetes ke dalam wastafel.

Lagi-lagi pusing mendera kepala. Tubuhku mendadak lemas hingga terduduk di lantai.

Tangannku berusaha mencari pegangan untuk membantuku berdiri, tapi kakiku rasanya sangat lemas.

Sekelebat ingatan tentang pertengkaran mama dan papa yang selalu menyeretku di dalamnya terputar seperti kaset rusak.

Memunculkan kekuatan dari hatiku, aku harus bisa, aku harus tetap kuat untuk memperbaiki semua.

Mama dan papa tak boleh ribut lagi, aku harus bisa bangkit dari sini. Jika begini saja aku tidak bisa, bagaimana aku akan membuat mereka kembali bahagia?

Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang