4. Halangan Bahagia (?)

26 7 5
                                    


"Waktu terburuk bagiku adalah, waktu di mana mimpi yang sudah kubangun dari lama, harus hancur hanya karena sebuah fakta."

***

Perlahan rasa silau menghampiri, yang kulihat pertama kali langit-langit  ruangan bercat putih dengan aroma obat yang khas, tak salah lagi ini rumah sakit.

Hembusan nafas terasa lelah, kenapa semuanya terjadi? Ada apa? Dan kenapa aku bisa ada di sini. Terbaring lemah dengan jarum infus di tangan kiriku.

Aku ingat terakhir kali berada di toilet, membersihkan darah di hidung, aku limbung lalu Liza datang dengan wajah panik. Setelahnya, aku tidak tau lagi.

Suara decitan menyita atensi, mengedarkan pandangan ke arah pintu yang terletak di sebelah kanan bankar.

Seorang wanita memakai jas putih tersenyum hangat padaku. Dokter bernama tag 'Alina' itu kukira Sudah berumur kepala empat. Langkahnya mendekat, mengecek botol infus.

"Sudah baikan?" tanyanya, masih menatapku dengan senyum ramahnya.

"Sudah, Dok. Kenapa saya bisa ada di sini?" tanyaku to the point, karena  penasaran dengan apa yang terjadi padaku sebenarnya.

Ia menatapku denga senyum getir. "Huft, saya harus menjelaskan sesuatu kepadamu," tukasnya.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Dok?"

Ia mendudukkan diri di kursi yang mungkin biasanya digunakan untuk orang yang menunggui pasien.

"Apa beberapa Minggu ini kamu ada keluhan?" Dia menatapku serius, sisi hangatnya membuat tenang.

"Iya, Dok. Beberapa minggu terakhir ini, saya selalu merasa pusing tiba-tiba."

Aku menjelaskan semua yang terjadi tanpa terlewat, ia menyimakku dengan seksama. Ekspresinya berubah sedikit terkejut saat aku bercerita, tapi ia begitu mahir mengubahnya kembali.

"Boleh saya meminta kontak orang tuamu? Saya rasa ini tidak bisa hanya kita berdua yang membicarakan," ucapnya.

Aku ragu, apa akan ada respon yang baik dari mama dan papa? Bukannya mereka sibuk, aku sungguh tidak ingin berharap lebih pada mereka.

"Apa tidak bisa katakan pada saya saja, Dok?"

Ia menggeleng dengan tersenyum, aku rasa di sini dia bukan hanya menampilkan sikap sebagai seorang dokter, tapi aku melihat senyum keibuan darinya.

Senyum yang jarang tampak dari wajah mama. Aku jadi berandai-andai jika saat ini yang di hadapanku adalah mama. Pasti aku tidak akan berlama-lama di tempat ini, sungguh tidak nyaman.

"Sebaiknya kamu melakukan tes lanjutan, untuk mengetahui kondisi kamu lebih lanjut dan mendapat penanganan yang tepat," kata dokter Alina.

Rasa ragu menyusupi hatiku, apakah ada hal yang serius?

"Makanya saya membutuhkan kontak orangtuamu, untuk berbicara tentang kondisimu pada mereka." Dokter paruh baya itu menjeda, membawa tanganku ke dalam genggamannya.

Lagi-lagi yang kudapati adalah sebuah tatapan yang menenangkan, entah aku yang terlalu kurang perhatian, atau memang dokter ini yang sangat mahir menenangkan.

"Mau, ya, Senja?" tanyanya lagi menatapku dengan binar yang sulit untuk ditolak.

Mataku terpaku pada iris hitam itu, begitu teduh. Lengkungan bulan sabit dari bibirnya seolah menghipnotisku untuk menerima. Tanpa sadar aku mengangguk, menyetujui untuk tahu lebih jauh lagi.

Mungkin saja yang akan kutemui adalah sebuah fakta yang tak akan membuat semua baik-baik saja. Mungkin saja, akan datang lagi badai yang membuatku tumbang dengan segera.

Setelah menyetujui pemeriksaan lebih lanjut, aku ditemani oleh Liza di dalam ruang rawat. Dokter Alina mengatakan hasil laboratorium akan ia sampaikan padaku saja karena pihak sekolah tadi benar-benar ada hal yang sangat-sangat darurat yang tidak bisa dibatalkan.

Aku bersyukur ada Liza di sini, gadis itu sedari tadi tak beranjak sedikitpun dari sini. Ia sangat khawatir sepertinya.

"Za, lebih baik kamu pulang dulu. Aku gapapa kok," ujarku pada Liza. Aku merasa tak enak hati pada gadis itu, karena menemaniku di sini ia jadi ketinggalan pembelajaran hari ini.

Meski dia berkata tidak masalah, tetap saja aku merasa tidak enak, dan merepotkannya.

"Enggak, Ja. Aku mau nungguin kamu di sini pokoknya," kekeuh Liza. Dia memang sangat keras kepala.

***

"Permisi," ucap dokter Alina memasuki ruang rawatku. Di tangannya terdapat sebuah amplop putih, sepertinya hasil laboratorium.

"Bagaimana, Senja? Apa orang tuamu masih belum bisa dihubungi?" Ia mengambil posisi di dekat kepalaku.

"Belum, Dok. Orang tua saya sedang berada di luar kota saat ini," jelasku padanya. Dia mengangguk, mulai membuka amplop itu kemudian membacanya dengan wajah serius.

Sedangkan Liza mengetukkan jari-jarinya ke kasur, tidak sabar ingin mengetahui juga hasilnya. Aku sendiri merasa gugup, gelisah, takut. Semuanya mengganggu.

"Jadi temen saya kenapa, Dok?" tanya Liza tak sabaran. Ia harap-harap cemas menunggu kalimat yang akan diucapkan dokter Alina.

"kamu terkena kangker otak Glioblastoma, Senja. Kanker jenis ini sebagian besar berasal dari sel glial, juga bersifat  sangat agresif.

"Pihak medis harus segera melakukan penanganan yang serius pada kamu, Senja. Hal ini sebaiknya diketahui oleh pihak keluarga."

Ucapan dokter Alina seperti dua logam yang beradu kuat di dekat telingaku, kenyataan itu seolah ingin membuatku benar-benar menyerah.

'Kanker otak ganas'

Aku tidak dapat menunjukkan ekspresi apapun ketika mengetahui hal ini, wajahku pias, tak ada bayang yang bisa kutangkap.

Liza mendekapku dengan erat, derai air matanya bahkan membasahi bahuku.

Bibirku terkatup rapat, sedang mataku tak bisa diajak berkompromi, menjatuhkan bulir-bulir kristal bening.

"Senja, kamu jangan dulu patah arang, ya. Yang perlu kamu lakukan, jangan kalah. Kamu akan jadi pemenangnya nanti," kata dokter Alina. Ia ikut mendekapku.

Percayalah, rasanya mimpi-mimpiku selama ini berhamburan seiring fakta ini terkuak.

Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang