15. Harap yang tersampai

16 5 1
                                    


Takdirmu indah, Tuhan. Meski bahagia ini sebentar, aku tak apa, asalkan semuanya bertahan hingga waktu berhenti untukku.

***

"Senja gak kuat, Ma. Senja capek, Senja takut."

"Ada apa? Apa yang terjadi sama kamu? Beritahu Mama."

Senja tak menyahuti, ia kian terisak. Bahu gadis itu bergetar hebat.

"Jangan buat penyesalan Mama kian bertambah, Senja," tegas Saras. Tangannya terulur memegang kedua bahu gadis itu.

"Mama di sini! beri tau Mama?!" Saras terbawa emosi, tanpa sengaja meninggikan nada suaranya.

"Biarkan dia menenangkan diri, Saras. Kamu tak usah mendesak," bela Kenan saat melihat getar ketakutan dari Senja.

Saras menghamburkan diri ke sofa, menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit rumah.

Dia membiarkan Senja tetap memeluk lututnya, Saras rasa pelukan Senja kian mengerat.

Mereka bungkam, membiarkan isak tangis Senja mengisi ruangan luas itu.

Sedangkan Senja menahan bibirnya agar tidak mengerang kesakitan saat merasakan kepalanya berdenyut hebat.

Gadis itu memanfaatkan kaki Saras untuk menyalurkan rasa sakit yang menyerangnya.

'Jangan sekarang, jangan!'

Senja tidak tahan, ia melepas kaki mamanya. Berganti memegangi kepala yang terasa ingin pecah.

Kenan juga tidak menyadari keadaan Senja karena menunduk sambil memijat pelipisnya.

"Mama," panggil Senja dengan suara lirih.

"Kamu kenapa, Senja?!" Saras terpekik saat anaknya tergeletak di lantai setelah memanggilnya.

"To--tolong, Ken! Anakku kenapa?" teriak Saras, histeris melihat wajah pucat sang putri.

Kenan bergegas ke kamarnya mengambil kunci mobil, saat kembali ke lantai bawah, laki-laki itu menyerahkan cardigan hitam polos kepada Saras yang saat ini hanya memakai baju tidur.

***

Baru tiga hari keluar dari rumah sakit ini, dan hari ini keduanya kembali merasakan perasaan khawatir.

Sudah lima belas menit berlalu, Saras tak bisa diam sama sekali. Berjalan mondar-mandir di hadapan Kenan, membuat kepala laki-laki itu pusing.

"Saras, tidakkah bisa menunggu dengan duduk?" tegurnya pada wanita itu.

Baru saja Saras ingin menjawab, seorang perawat dan dokter memasuki IGD, tempat Senja ditangani.

Hal itu membuat kekhawatiran Saras kian menjadi, wanita itu mendekat ke arah pintu, berusaha melihat apa yang terjadi dengan anaknya di dalam sana lewat kaca.

Selang berapa menit dua orang dokter keluar dari ruangan itu, dokter yang pertama kali menangani Senja tadi berpamitan, mempersilahkan dokter bernama Alina untuk berbicara kepada orang tua Senja.

"Jadi ada apa dengan anak saya, Dokter?" tanya Saras.

"Jadi anak anda belum memberi tahu keadaannya?  Beberapa hari lalu saya juga menangani anak Bapak dan Ibu.

"Anak Ibu mengidap kanker otak glioblastma, Bu," lanjut dokter itu membuat Saras lemas.

"Pasien akan kami pindahkan ke ruang rawat khusus pasien kanker remaja, kami pasti akan berupaya sebaik mungkin untuk menangani putri Bapak dan Ibu," papar dokter Alina.

"Silahkan, Dok. Lakukan apapun untuk anak saya tetap hidup," sahut Kenan cepat.

Dokter itu mengangguk, "itu pasti, Pak."

Dokter Alina kembali masuk ke ruangan itu, selang berapa lama bankar Senja didorong oleh beberapa orang perawat untuk dipindahkan.

Kenan dan Saras mengikuti arah bankar itu dengan perasaan tidak percaya. Saras sibuk dengan fikirannya, tentang bagaimana perkataannya melukai Senja hari itu, hari yang sama dengan fakta yang didapati Senja tentang penyakitnya.

***

Hamparan langit biru kini telah berganti malam dengan lautan bintang.

Senja mengamati pemandangan dari luar sana dengan bisu, memahami seperti ini rasanya hidup tanpa harapan.

"Senja gak punya masa depan, ya?" tanyanya kepada diri sendiri. Ia tidak ingin ditemui Saras ataupun Kenan, harapannya tentang hidup dalam keluarga harmonis lenyap begitu saja.

Kenapa hari ini Senja kembali disadarkan dengan kenyataan yang sebenarnya, mimpi buruk itu nyata.

Mimpi-mimpinya berhamburan, gadis itu benar-benar hilang harapan.

Senja masih ingin bersama menikmati masa remaja-nya dengan teman-teman di sekolah.

Belum lagi fakta bahwa harapannya untuk bertahan hidup sangat singkat.
Fikirannya terus saja menyuruh Senja untuk jatuh lebih dalam dalam keputus asa-an.

"Senja." Panggilan lembut dari balik punggungnya membuat Senja menoleh.

Seorang perawat berlansung pipi tengah tersenyum manis padanya.

"Iya, Sus. Kenapa?" Senja mengusap kasar air mata di pipi. Berusaha menunjukkan senyum pada perawat itu, tapi gagal.
Kristal bening itu malah makin menjadi.

"Kamu makan dulu, ya. Atau mau ditemani oleh mamamu?" tanya perawat itu dibalas gelengan oleh Senja.

"Suruh mama pulang saja, Sus. Biar mama istirahat."

To be Continue

-DevithaaNdhaa🐥

Senja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang