PROLOG

64 10 4
                                    

Ten Reasons Why She's Gone.

M I S T E R I - F I K S I  R E M A J A
N O V E L
Original story by :
N U R O H I M A

Follow me on my new social media :
Instagram - helloimaaaofficial
Dreame - imaofficial
Wattpad - helloimaaaofficial

S E L A M A T  M E M B A C A

***

"Anjing!"

Tubuh gadis itu tersungkur ke lantai, tepat setelah punggungnya menabrak dinding dengan keras. Desir nyeri yang menjalar dari bahu hingga tulang ekornya terasa begitu menyakitkan. Tabrakan antara bagian belakang tubuh gadis itu dengan semen dingin di belakangnya tersebut berhasil membuat dadanya ikut sesak. Kepalanya tiba - tiba menjadi pening, pemandangan di sekitarnya berubah kabur.

Namun penderitaannya tidak berhenti sampai di sana.

Laki - laki dengan tubuh besar dan tato yang memenuhi lengan kanannya itu, Baron namanya, bergerak menjambak rambut panjang sang gadis yang mulai kehilangan tenaga, hingga wajahnya mendongak, mempertemukan netra cokelat yang sayu dan bengkak pada pandangan bengis milik Baron. "Lu udah berani ngelawan sekarang, hm?"

"Ampun, Bang," ujarnya lirih. "Gue nggak ada maksud-"

"Bacot!" Baron mendorong kepala gadis bernama Vanya itu dengan kasar. Ia kemudian berkacak pinggang dan meludah di sembarang tempat. Tatapan marah itu tak sedikitpun luntur dari wajahnya yang memang sudah kusut karena sisa alkohol semalam. "Lu pikir gue nampung lu di sini karena gue ini orang baik?"

Semakin tinggi suara Baron, semakin gemetar pula tubuh Vanya. Ia masih terduduk di sana, merasakan sisa - sisa kesakitan di tubuhnya yang menyisakan lara. Matanya mulai memanas dan air di pelupuk matanya yang sudah membiru, tak tertahankan lagi. Ia bahkan kesulitan untuk melihat kedua kaki Baron karena mata kanannya benar - benar bengkak dan perih.

"Kalo lu mau tetap ada di sini, ya lu harus bisa cari duit buat gue!" lanjut Baron tanpa sedikitpun merasa kasihan pada lawan bicaranya. Ia hanya berbalik badan dan menyilang kedua tangannya di dada. "Sekarang lu pergi, lu ke jalan, lu ngemis ke orang - orang dengan kondisi lu yang sekarang. Gua jamin lu bakal dapat duit banyak, Nya!"

"I ... iya, Bang," balas Vanya seadanya.

"Gua gamau tahu, sore nanti, lu harus kasih gue banyak uang atau lu bakal gua gebukin lagi kaya sekarang." Baron menoleh sedikit ke belakang, memberikan delikan sinis yang mengintimidasi sebelum akhirnya kembali berjalan keluar meninggalkan gudang sembari berseru, "Awas aja lu, Nya!"

Vanya mendongak, memastikan bahwa laki - laki yang memimpin di rumah penampungan khusus anak terlantar atau anak jalanan tersebut benar - benar sudah pergi meninggalkan gudang. Gadis dengan rambut hitam panjangnya itu dapat bernapas lega untuk sesaat. Ia telah dipukuli dan disika sejak beberapa menit yang lalu, tidak ada ruang baginya untuk sekadar menghirup oksigen saja. Matanya membengkak karena ini bukan pertama kalinya ia dipukuli. Ini adalah hari ketiga gadis itu menerima perlakuan kasar serta kekerasan fisik dari Baron karena alasan yang sama;Vanya tidak mendapatkan uang di jalanan.

Anggap saja keputusannya meninggalkan panti asuhan adalah sebuah pilihan yang buruk--bahkan lebih buruk dari apapun. Ia meninggalkan kandang harimau hanya untuk masuk ke dalam kandang singa. Sungguh nasib yang ironi. Namun bagi Vanya, disiksa terasa lebih baik daripada menerima pelecehan seksual di panti asuhan.

Tidak tidak, Vanya belum sempat disetubuhi oleh si brengsek kepala panti asuhan itu. Ia sungguh masih suci, berkat keberaniannya mengendap - endap di malam hari, menaiki pagar pembatas dan melompat dari ketinggian yang cukup membahayakan dirinya. Katakan bahwa Vanya memang nekat, karena jika tidak seperti itu, dia akan menjadi budak seks seperti yang lain di rumah yang katanya berguna untuk menjaga anak - anak tersebut.

Menjaga apanya, persetan dengan itu semua.

Vanya kemudian berpegangan pada kursi kayu di dekatnya agar bisa bangkit dan melanjutkan pekerjaannya. Ia harus mencari dan mendapatkan uang. Tidak peduli bagaimana caranya, dengan menunggu belas kasihan orang lain atau meminta secara paksa, yang dibutuhkannya sekarang adalah uang yang dapat menyelamatkannya dari si brengsek Baron.

Ia kemudian berjalan tertatih meninggalkan rumah berukuran besar tersebut. Siang itu, suasana rumah cukup sepi karena anak - anak yang tinggal di sana tentu sedang melakukan tugas mereka. Tugas yang sama yang diberikan Baron untuk Vanya;mencari uang.

Dengan mata yang terasa semakin perih dan memerah, Vanya mencoba menyusuri jalanan. Ia menadahkan tangan dan memelas di depan siapapun yang lewat, berharap seseorang dengan hati dermawannya merasa kasihan dan mau memberinya uang. Namun, kehidupan di Jakarta memang keras. Kita tidak dengan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan di kota itu.

Sampai akhirnya langkah Vannya terhenti karena kepalanya berdenyut nyeri. Ah, ia lupa. Sejak kemarin, gadis bertubuh kurus itu sama sekali tidak mendapatkan uang. Jangankan untuk memberi setoran, ia bahkan tidak bisa makan. Kepalanya mulai berputar karena kelaparan.

Dan di saat - saat kritis itulah, seseorang tiba - tiba saja mendekat dan memerhatikan wajah Vanya dengan saksama. Vanya terlalu lemah untuk mengusir sosok pria berpakaian rapih di hadapannya itu, jadi ia membiarkannya saja. Sembari merasakan kepalanya yang terus berputar hebat, Vanya mendengar pria itu akhirnya bersuara, "Valerie?"

"Siapa katanya?" batin Vannya.

"Kamu Valerie, 'kan?" Vannya menoleh, mengerutkan dahinya dengan heran. Ia mencoba melihat wajah sang pria yang tampak jauh lebih tua darinya itu dengan hati - hati. "Anakku, Valerie, akhirnya papah nemuin kamu, Nak!"

Tepat sebelum pria itu hendak memeluk Vanya, gadis itu kehilangan kesadarannya. Tubuh Vanya limbung tepat ke arah pria dengan kemeja dan jas hitamnya yang mewah. Dan dalam keadaan tidak sadar itu, Vanya mendengar sebuah suara samar - samar berkata, "Ayo kita pulang ke rumah, Valerie."

"Apa? Pulang ke rumah? Apakah aku sungguh memiliki tempat yang bisa kusebut rumah?"

***

Ten Reasons Why She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang