BAB #1 : Pertemuan

34 8 1
                                    

Ten Reasons Why She's Gone.

M I S T E R I - F I K S I R E M A J A
N O V E L
Original story by :
N U R O H I M A

Follow me on my new social media :
Instagram - helloimaaaofficial
Dreame - imaofficial
Wattpad - helloimaaaofficial

S E L A M A T M E M B A C A

***

Suara samar – samar yang menyusup masuk ke indera pendengaran Vanya, membuat gadis itu sedikit terusik dari tidurnya. Perlahan tapi pasti, kedua mata gadis berusia 16 tahun itu mulai terbuka. Netra cokelatnya menatap langit – langit kamar yang putih dan bersih.

Tunggu, kamar siapa ini?!

Vanya bangkit dengan tiba – tiba karena menyadari bahwa ini bukanlah kamarnya – oh ayolah, gadis itu bahkan tidak memiliki kamarnya sendiri – dan tentu saja, Vanya tidak seharusnya berada di sini.

Gadis itu lebih terkejut lagi saat mengetahui dirinya tidak sendirian di dalam kamar. Ada sepasang suami istri yang duduk tertidur pada sebuah sofa panjang berwarna biru langit di sudut ruangan. Dengan panik, Vanya pun berusaha bergerak menuruni ranjang yang super empuk dengan seprai yang berwarna senada dengan sofa dan warna dinding di kamar itu. Untuk pertama kalinya gadis itu duduk – dan bahkan sempat tertidur – di atas kasur mahal yang membuat nyaman.

Sejujurnya, Vanya tidak ingin meninggalkan semua kenyamanan itu. Namun ia sadar, bahwa tempatnya bukanlah di sana.

"Valerie?"

Lagi, nama yang asing itu disebut. Namun anehnya, meski nama itu bukanlah miliknya, tiba – tiba saja Vanya menghentikkan langkahnya. Ia merasa jantungnya akan segera lepas dari tempatnya sekarang juga saat mendengar sebuah langkah kaki menghampirinya. Tidak, itu bukan sebuah langkah kaki, melainkan dua langkah kaki, atau yang artinya, kedua pria dan wanita yang tertidur di sofa tadi sudah bangun dan sedang mendekatinya.

Sebuah tangan menarik bahu kiri Vanya dan membalikkannya. Tidak ada sepatah katapun yang terdengar di sana, sampai akhirnya gadis dengan pakaiannya yang tampak lusuh dan dipenuhi warna acak sisa cat yang tumpah merendah, kemudian bersujud, "Saya tidak mencuri apapun, Bu. Saya juga tidak tahu kenapa saya ada di sini, tapi – tapi saya mohon, jangan bawa saya ke kantor polisi, Bu."

Kalimat yang terdengar begitu cepat itu, lancar diucapkan oleh Vanya. Mungkin karena ia sudah terlalu sering tertangkap basah saat mencuri atau karena itulah satu – satunya kalimat yang terbesit di kepalanya, jika ia ketahuan melakukan kesalahan di jalanan.

Namun alih – alih marah, wanita bertubuh kurus dengan pakaian tidurnya yang berwarna cokelat muda itu memegangi kedua bahu Vanya dan membawanya berdiri kembali. Mata hitam sayu milik wanita bernama Wina itu menatap dalam – dalam netra cokelat lawan bicaranya. Membuat Vanya hanya semakin gugup dan salah tingkah dengan sikap yang ditunjukkan wanita di hadapannya.

"Valerie, ini mama."

"Mama?"

Tanpa berpikir panjang, Vanya melontarkan kalimat itu. Ia bahkan menggelengkan kepalanya kuat – kuat dan melanjutkan, "Tapi aku nggak punya mama."

Dan di saat itulah, tangis pecah dari kedua mata Wina. Ia terisak dan suaminya, Andika, bergerak cepat untuk merengkuh tubuh kecil nan kurus milik wanita di depannya.

Vanya yang sama sekali tidak mengetahui situasinya pun hanya diam, memerhatikan kedua orang di hadapannya dengan bingung. Pikiran seperti, apa yang salah dengannya atau apa yang keliru dari ucapannya pun melintas cepat di kepalanya. Namun tetap saja, semua pertanyaan itu tidak dapat terjawab,

sampai akhirnya ... Wina dan Andika membawa gadis bernama Vanya itu ke rumah sakit.

****

"Diagnosa kami adalah Valerie mengalami amnesia disosiatif. Hal ini bisa disebabkan oleh trauma pada kepalanya atau hal – hal lain yang belum bisa kita ketahui lebih lanjut."

VAnya yang duduk di antara Bu Wina – yang mengaku sebagai ibunya– dan Pak Andika – yang mengaku sebagai ayahnya – pun hanya dapat mengerutkan dahinya dalam – dalam karena keheranan dengan kalimat yang keluar dari mulut sang dokter.

Amnesia apanya?

"Lalu apa yang harus kami lakukan, Dok?" tanya Wina.

Vanya menoleh, memerhatikan raut wajah Wina yang tampak cemas dan sedih.

"Saya akan memberikan jadwal terapi untuk Valerie, tapi ibu dan bapak dapat membantunya mengingat hal – hal kecil yang mungkin Valerie sukai di rumah," kata sang dokter. Membuat Vanya mengalihkan pandangan ke arahnya dan menatapnya dengan heran, lagi. "Kami sudah mengobati mata Valerie dan beberapa luka luar yang didapatnya, tapi untuk pemeriksaan lebih lanjut terkait luka dalam yang menyebabkan hilangnya ingatan Valerie, tetap harus dilakukan ya, Bu, Pak."

"Apa anak saya dapat sembuh dan kembali mengingat semuanya?" tambah Andika.

"Kemungkinannya lima puluh persen, tergantung dari seberapa parah kondisi trauma yang dialaminya dan reaksi otak terhadap ingatan – ingatannya di masa lalu."

Bukannya membuat keadaan menjadi lebih baik, Vanya justru mendapati Wina dan Andika semakin sedih. Garis – garis mata mereka tampak turun dan sorot mata kecewa itu tak terbendung di sana.

Meski bukan orang tua Vanya yang asli, tapi gadis itu bisa merasakan kesedihan yang dalam dari kedua orang di sisinya itu. Ia pun memukul pelan meja sang dokter dan membuat semua orang terkesiap. Tanpa rasa takut sedikitpun, Vanya tiba – tiba berujar, "Dokter jangan asal buat kesimpulan begitu, dong."

Membuat Wina, Andika bahkan sang dokter langsung saling bertukar pandang dengan bingung. Mereka kemudian kembali mengalihkan pandangan mereka ke arah Vanya yang berada di tengah – tengah mereka.

"Saya tidak bisa mengingat apapun tentang Valerie, karena saya bukan Valerie. Saya ini Vanya, Dok," terangnya, mencoba memberi tahu hal yang sebenarnya. "Nama saya itu Vanya Ananda. Jadi wajar kalau saya nggak tahu apa – apa soal Valerie."

Ada keheningan yang terjadi di sana, mungkin sekitar beberapa detik, sampai akhirnya sang dokter yang bertubuh kurus itu pun membuka suaranya. "Seperti yang saya katakan, pemeriksaan lebih lanjut terkait masalah atau trauma yang terjadi di kepalanya, tetap harus dilakukan. Bisa kita lihat, bahwa hal yang diingat oleh Valerie justru adalah hal yang terjadi di masa – masa sekarang." Belum sempat Vanya membantah hal tersebut, sang dokter sudah lebih dahulu menyodorkan secarik kertas kepada Andika dan berkata, "Ini adalah resep obat untuk Valerie. Semoga Valerie dapat kembali mengingat semuanya ya, Pak, Bu."

Dan lagi, belum sempat Vanya memarahi dokter di hadapannya, tangan Wina sudah lebih dulu menarik lengan kanannya dan menariknya keluar. Mereka berjalan beriringan menuju bagian apotek tanpa mengucapkan apa – apa. Vanya terjebak dalam keheningan yang canggung dan hal tersebut benar – benar membuatnya tidak nyaman.

Sehingga akhirnya, saat obat selesai diambil, Vanya pun berinisiatif untuk memberitahukan segalanya. Tentang Vanya dan kehidupan kerasnya di jalan. "Pak, Bu, ada sesuatu yang saya mau omongin sama kalian," ujarnya memulai.

Wina dan Andika saling bertukar pandang sebelum akhirnya kembali pada gadis muda yang mereka anggap sebagai anaknya. "Ada apa, Valerie?" tanya Wina.

"Sebenarnya ...,"

Belum sempat Vanya melanjutkan kata – katanya, mata cokelatnya yang masih bengkak mendadak menemukan sosok Baron di pintu masuk rumah sakit. Ia sontak mendadak panik dan membalikkan badannya agar tidak bertemu pandang dengan pria mengerikan itu.

"Ada apa, Valerie?' Wina mengulang pertanyaannya. "Apa sesuatu yang mau kamu bicarain itu?"

Berpikir, Vanya mencoba berpikir. Jika ia mengatakan hal yang sebenarnya sekarang, itu artinya dia akan kembali kepada kehidupan keras yang selalu membuatnya merasa bisa mati kapan saja. Namun hidup sebagai orang lain, sebagai Valerie, juga bukan satu – satunya pilihan yang tepat.

"Sebenarnya saya ...,"

Ten Reasons Why She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang