[1] Berhenti Memelukku, Lamunan

68 16 8
                                    

Saat ini ia biarkanku sendiri dalam perasaan yang tak pernah kering untuknya, dan ia biarkan aku hidup hanya dari sumber mata airnya itu.

Ia tidak pernah kembali sejak hari itu. Hujan telah membawanya pergi dan menghilang, aku hanya bisa bersemoga hujan pula yang 'kan mengantarkannya datang.

Aku tahu, setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan, dan aku jelas tahu itu. Katanya itu cara Tuhan melindungi kita dari orang yang salah, tapi kenapa aku berpikir malah saat ini Tuhan sedang salah?

Aku memandang nanar gelas kaca yang ada di hadapanku, meremasnya kencang hingga tanganku bergetar. Aku kecewa.

Semua terasa hanya halusinasi saat aku mencoba mengulang lagi kisah lalu bersamanya dulu.

Saat tubuh bermandikan air hujan, berlari-larian ke arah genangan air, berteriak begitu girangnya. Semua yang terjadi seolah tak akan berakhir.

Bahkan saat ini hujan turun, menambah beban kerinduan. Seluruh tubuhku rasanya begitu hampa dan layu, seakan tak akan ada lagi pengganti hadirnya ia.

Hanya ia sumber mata airku, hanya dia pelepas dahaga kehampaan ini, cuma dia. Dia adalah candu yang kucintai.

"Ra?" Suara Maesya memecah lamunanku. "Lara? Kamu ada masalah?" tanyanya lagi.

Wajahnya tampak resah, dengan tangan yang masih berada di depan wajahku

"Kamu ada masalah apa gimana?" tanyanya ulang dengan nada yang terdengar seperti khawatir.

"Enggak kok, Sya. Cuma agak kecapean aja, soalnya semalaman begadang." Aku beralibi, karena sulit untuk menjelaskan padanya apa yang sedang terjadi.

"Ra? Kamu tau 'gak, si Rahman dia nembak aku, loh!" Dengan ekspresi wajah yang begitu menggebu ia menceritakan apa yang terjadi padanya kepadaku. Aku bebas dari tanda tanyanya.

Tak kalah antusias aku bertanya padanya, "Terus gimana?!"

"Entahlah, Ra. Aku tolak d-"

"Hah! Gak mungkin, kamu becanda 'kan? Dua tahun loh kamu mencintai dia dalam diam." Ia tampak tertunduk, lalu tersenyum kecut. Aku sedikit merasa bersalah setelah berucap kata itu tadi.

"M-maaf, Sya," ujarku tertunduk.

Ia tersenyum, meyakinkanku bahwa yang kulakukan tadi tidaklah salah. Aku balas senyumnya, pertanda aku lega atas kemaklumannya itu.

Setelah diam beberapa lama, sebab aku tidak berani bertanya lebih lanjut, akhirnya ia pun angkat suara, "Ra, tapi ada banyak hal yang gak bisa dipaksakan. Mungkin aku cuma ditakdirkan sebatas suka aja sama dia. Aku takut, Ra."

Ia menatap ke arah luar, melihat tiap orang yang berlalu-lalang. Aku melihat sosok yang kini tengah berpura-pura tegar. Aku melihat lukisanku di wajahnya itu. Aku dan Maesya tengah berada di dalam perasaan yang sama.

"Kamu takut apa, Sya?"

"Aku sama dia beda, Ra. Aku takut nanti hubungan itu berjalan lebih dalam, kita tidak bisa memilih siapa yang harus berkorban, lebih baik aku simpan aja rasa ini, aku juga enggak mau buat dia berkorban cuma untuk aku, manusia tempatnya khilaf. Itu ketakutanku, Ra." Pandangannya kembali ke luar, ke orang-orang yang berlewatan.

Aku terdiam, dia benar. Ia terlarut dalam lamunannya, aku melihat air mata yang dipaksa untuk tidak keluar. Bagaimana tidak, dua tahun ia simpan perasaan itu, perasaan yang hanya berani ia ungkap lewat tatap, yang ia sorakkan dalam batinnya saja.

Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana, karena memang sulit menghadapi cinta beda ini. Lebih baik aku diam, daripada mengantarkan dia pada sesal yang lebih serius.

RELA [Novel | Unedited Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang