[2] Tuan Hujan

39 10 8
                                    

Mataku fokus mengutak-atik benda persegi yang ada di hadapanku. Mengetik dan terus mengetik, kusibukkan diriku untuk sejenak melupakan apa yang sudah sepantasnya dilupakan.

Namun, sebegitu keras aku mencoba melupakannya, sekeras itu pula otakku memaksaku ingat. Karena setiap aku mencoba melupakan, setiap itu pula aku akan mengingatnya.

Kurebahkan diri di atas kasur palembang yang tergeletak tepat di belakangku. Kasur yang selalu menemani masa suntukku mengerjakan tugas-tugas di atas meja kecil persegi setinggi lutut itu.

Kurehatkan sejenak pikiranku dari tugas tak berakhir itu. Kupejamkan mataku sejenak, gelap. Tak satu pun terlihat, tetapi bayangan samarnya perlahan datang menyapa.

Sudah kuduga ini akan terjadi, memang sudah kebiasaannya mendominasi isi pikiranku, memang sudah kebiasaannya menyakitiku dengan perasaan rindu yang entah kapan akan terobati temu.

Kuambil ponsel yang berada di sebelah laptopku. Kuputar lagu secara acak dari daftar laguku.

Sial, terdengar suara hangat Tulus menyanyikan melodi Pamit-nya. Lagunya tersebut semakin memperkeruh suasana malam ini. Kubuka jendela, angin malam yang berhembus seolah melepaskan sedikit beban rindu ini.

Kembali kurebahkan diriku. Kututup lagi mataku. Dia kembali hadir, datang dalam bayangan samar lalu menjelma seperti nyata.

Sayup-sayup aku mendengar setetes air membasahi genting, lalu setetes lagi menyusul. Terus begitu hingga tak terhitung sudah berapa tetes air turun ke bumi ini.

Aku benci situasi ini. Situasi yang sedu sedan begini, rasanya memuakkan sekali. Rasanya ingin sekali berlari, berlari menghampirinya yang entah sedang berada di mana, memakinya dan terus berteriak, 'aku rindu! Aku rindu!' Sampai telinganya panas.

Namun, mustahil. Keberadaannya saja entah di mana. Makin kunikmati malam ini, makin kubiarkan hujan mengantarkan ingatan manis itu. Ingatan yang menyesakkan karena tahu rindu belum 'kan berakhir temu.

Setetes air membelai lembut pipiku, pertanda rindu sudah mengambil posisi penting di dalam hatiku.

Aku ingin menjadi sepertimu Tuan Hujan. Aku ingin menjadi sepertimu, datang membawa rasa, pergi tak membawa apa-apa.

Hujan adalah pertemuan awal kita. Dan pertemuan awal kita adalah hujan.

Dalam peluk rinai hujan, aku memacu sepedaku dalam kecepatan tinggi saat pulang sekolah tiba. Bukan takut pada hujan yang sebentar lagi akan turun menyapa, sama sekali bukan.

Memacu sepedaku begitu hanya mengekspresikan dan merayakan datangnya hujan-yang katanya merupakan simbol kepiluan. Bagiku hujan adalah berkat, rahmat dan hadiah dari semesta. Aku sungguh menentang kata pilu yang disematkan pada hujan.

Saat hujan turun, aku merasa semesta sedang hadir dan menyapaku, dalam dinginnya aku merasa hangat peluk semesta. Bunda pernah memberitahuku bahwa aku lahir saat hujan turun, dan aku merasa bahwa saat itu semesta menangis haru menyambut kedatanganku. Dan aku selalu merasa pantas untuk senang dan menyambut hadirnya.

Lalu aku terjatuh, terjatuh saat mengendarai sepeda berkecepatan tinggiku itu. Saat itu, merupakan kali pertamaku jatuh naik sepeda saat sedang bermain dengan hujan, seolah semesta sedang memeringatiku untuk jangan terlalu berlebihan dan gembira dalam menyambut sesuatu. Namun, bagaimana bisa semesta? Aku tidak bisa untuk tidak gembira.

Saat aku terjatuh dan meringis, tanpa ada satu pun orang yang lewat, ia datang. Ia datang dari belakang, begitu mengejutkan. Apakah ia hadiah semesta padaku? Mungkinkah terjatuh ini adalah cara semesta mempertemukanku dengannya? Haha, terlalu tinggi sekali khayalanku saat itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RELA [Novel | Unedited Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang