05. Pencuri Cinta Pertama

126 21 0
                                    

Kejadiannya sudah cukup lama. Saat SMP kelas 3 menjelang ujian nasional, Haidar mengikuti bimbel. Di luar sedang hujan deras dan terpaksa ia harus menunggu sampai reda agar bisa pulang.

Dari arah pintu masuk, ia melihat seorang anak laki-laki yang berlari terburu-buru. Ia terlihat basah karena kehujanan dengan rambut berantakan. Pasti telat, pikir Haidar.

Mendengus tak peduli, ia kembali menatap langit yang sedang bersedih di luar sesekali bermain handphone.

Setelah 1 jam hujan deras, Haidar memutuskan untuk pulang walau masih sedikit gerimis. Ia  langsung berjalan keluar dan mengeluarkan payung yang selalu ia bawa ke mana pun.

Saat hendak menapakkan kakinya di anak tangga yang pertama, tak disangka bahwa ia akan terpeleset jika tak ada tangan yang menahannya. Kacamata Haidar terjatuh dan pecah membuat penglihatannya buram, tak dapat melihat siapa yang menolongnya.

“Gapapa? Hati-hati,” tanya orang itu.

“Iya, gapapa. Makasih, ya,” jawab Haidar pada seseorang yang menolongnya, namun matanya mencari kacamatanya ke sana dan ke mari walau buram.

Melihat Haidar kebingungan seperti mencari sesuatu, ia kembali bertanya, “nyari apa?”

“Anu... itu... kacamata,” jawab Haidar menyipitkan matanya.

“Sebentar, aku bantu cari.”

Melihat kacamata yang dicari sedari tadi berada di anak tangga paling bawah dengan kondisi yang pecah, ia langsung mengambilnya.

“Umm... ini, kacamatanya patah. Maaf,” katanya mengembalikan kacamata Haidar.

Bagaimana pun jika ia tidak sekencang tadi menahan Haidar, pasti kacamatanya tidak akan terlempar jauh. Berbeda dengan Haidar, justru ia bingung mengapa orang di hadapannya ini meminta maaf atas kacamatanya yang tak sengaja terlempar dan pecah?

“Aku ganti, ya? Sekarang bisa? Aku temenin cari kacamata,” tawarnya.

“Eh? Gak usah. Serius, gapapa. Kan, gak sengaja,” tolak Haidar.

“Duh, aku gak enak. Kamu gak keliatan gitu kalo gak pake kacamata. Mending sekalian aja aku ganti hari ini. Ya?”

Haidar merasa tak enak untuk menolak walau sebenarnya tidak harus diganti. Ia masih bisa membelinya sendiri.

“Kalo kamu diem, berarti mau, ya?” Tanyanya lagi terdengar sedikit memaksa di telinga Haidar, ”aku bukan orang jahat, kok, tenang aja,” lanjutnya.

Haidar tahu. Yang menolongnya ini adalah laki-laki yang tadi datang terlambat karena kehujanan. Di dalam hati kecilnya ia percaya kalau orang ini adalah orang baik dan tanpa ragu ia menganggukkan kepalanya menyetujui ajakan tadi.

Orang itu tersenyum karena berhasil membujuk Haidar. Langsung saja ia menarik tangan Haidar dan membawanya ke parkiran motor.

“Aku tau toko kacamata deket sini, jadi gak perlu pake helm. Aku juga cuma bawa 1, maaf,” katanya.

“Gapapa, kok,” sahut Haidar tersenyum simpul.

Di toko kacamata, orang baik hati itu sibuk sekali membantu Haidar memilih kacamata. Ia ingin memastikan bahwa kacamata yang akan dipakai Haidar nanti nyaman dan kuat. Haidar hanya menurut dan membiarkan.

Sesekali ia memakaikan kacamatanya pada Haidar dan hal itu membuat Haidar agak sedikit tertegun, darahnya agak berdesir. Ia merasa agak aneh dengan dirinya sendiri. Perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Setelah memeriksa mata, ternyata minus dan silinder Haidar sedikit bertambah. Mereka pun menunggu di toko kacamata sampai kacamatanya selesai. Mereka membicarakan banyak hal dan mata Haidar yang tak henti menatap orang di hadapannya. Senyumnya indah, pikirnya.

Setelah kacamata yang ditunggu selesai, langsung saja orang itu membayarnya dan memakaikannya pada Haidar.

“Nah, sekarang udah keliatan jelas, kan?” Tanyanya tersenyum.

Haidar yang merasa diperhatikan dan diberi senyum seperti itu membuang pandangannya, kini pasti wajahnya terlihat sangat merah.

“U-udah. Makasih, ya,” jawab Haidar.

“Eh, iya. Ngomong-ngomong aku gak bisa anter pulang. Helmnya cuma ada 1, takut ditangkep polisi. Maaf, ya.”

“Gapapa, gak perlu juga. Kamu udah repot-repot gantiin kacamataku, masa harus nganterin pulang juga? Aku bisa naik kendaraan umum, kok.”

Kemudian hening. Merasa sudah selesai dengan urusan kacamata ini, Haidar hanya tinggal menunggu kendaraan umum yang lewat. Sementara orang baik ini masih setia menemani Haidar sampai ia mendapatkan kendaraan umum, namun bingung ingin membuka percakapan apa lagi.

“Eh, kita belum kenalan. Sampai lupa padahal udah ngobrol panjang lebar,” katanya. Haidar menoleh dan melihat ia mengulurkan tangan.

“Mark. Kamu?”

Saat hendak membalas uluran tangannya, sudut mata Haidar melihat kendaraan umum yang sejak tadi ia tunggu.

“Eh, itu kendaraan umumku udah dateng. Maaf, ya. Aku duluan. Makasih sekali lagi,” kata Haidar terburu-buru. Mendadak lupa dengan perkenalan tadi, ia kemudian pergi meninggalkan Mark sendiri dengan tangannya yang masih terulur.

“Mungkin lain kali ketemu lagi di tempat bimbel,” gumam Mark pelan memandang kepergian Haidar.

Sementara Haidar kini sedang menstabilkan debaran jantungnya. Berharap bisa bertemu lagi di tempat bimbel.

Sesampainya di rumah, Haidar kini mengerti apa yang ia rasakan tadi setelah menonton salah satu video di YouTube tentang tanda-tanda jatuh cinta.

Mark si baik hati yang punya senyuman indah telah menjadi tersangka pencuri cinta pertamanya.

Arah Sang Cinta dan BalasannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang