Kemarau telah tiba. Daun-daun berguguran. Mereka luruh dalam tanah yang akan menelan seluruh kekeringan hidup. Gumpalan-gumpalan tanah itu lantas menelan bulat-bulat dan hanya tinggal menunggu waktu, daun itu akan hidup kembali menjadi sosok yang baru. Bukan lagi selembar kehidupan, melainkan segumpal tanah yang membantu pohon—tempatnya bernaung dulu—untuk berpijak.
Itulah bait kehidupan yang kuresapi hari ini. Ya, hari ini, Hari Jumat, tanggal 19 April 2030. Tepat sepuluh tahun setelah kematian Ayah.
"Kita akan mengunjungi Ibu juga, kan?''
Tangannya lembut sekali mengusap nisan Ayah. Dan matanya, ya ampun, aku bahkan masih membeku setiap kali kelopak mata pria di sampingku ini menghunuskan pandangan.
"Tentu saja, mana mungkin kita melupakan Ibu? Sudah setahun setelah kunjungan terakhir kita. Ayo, ia pasti menunggu," ujarku yang seperti biasanya, membalas usapan jemarinya di nisan Ayah.
Ia tersenyum. Senyum yang berhasil meninabobokan kegelisahanku setiap hari. Setidaknya, itu adalah kesan pertamaku akan senyuman pria ini. Pria yang menjadi salah satu bagian dari fase paling bersejarah dalam kehidupanku.
Fase di mana aku mengerti, jiwa adalah bagian tubuh yang sama pentingnya dengan raga.
***
19 April 2020.
Pohon jati baru saja meranggas kala itu. Dedaunannya menghambat langkahku yang sudah berlari kesetanan menuju dengan kaus kucel setengah mati, ruap keringat yang tercampur asap motor, serta peluh keringat yang membanjiri mata. Semua kegilaan ini berakar pada satu hal.
Ayah sedang kritis. Dan waktuku menemuinya tinggal hitungan jam, ah mungkin menit jika aku harus mengingat belalai-belalai infus yang melekat di tubuhnya.
"Ayah!" Brak! Dalam satu kali ap chagi—tendangan taekwondo yang kupelajari semasa kuliah—pintu ICU terdobrak.
Tidak tahu sopan santun, memang. Apa boleh buat? Pikiranku sudah kalang kabut, tidak tahu lagi cara membedakan dokter dan suster. Semua yang berpakaian putih tak kuhiraukan lagi. Ekor mataku berlari-lari mencari bangsal Ayah. Persetan dengan beberapa dokter yang berjaga bangkit menatapku dengan penuh amarah, melotot pada pintu ICU yang baru saja terdobrak.
"Ayahku di mana?" teriakku dengan napas tersengal-sengal. "Ah, tidak! Maksudku Bapak Arif! Di manakah beliau? Apa saya masih bisa melihatnya?"
Kerutan penuh amarah dari dokter-dokter jaga mengendur. Mereka semua menarik napas, lalu menarik tanganku menuju salah satu bangsal. Aroma farmasi terhirup kental di sepanjang sisi. Begitupun dengan denging EKG. Nyaring bukan main tiap kali grafik-grafik kehidupan itu naik turun. Bermain-main dengan nyawa Ayah yang mungkin, juga sedang timbul tenggelam.
"Ayah!" Tubuhku langsung menghambur turun, memeluk erat jemarinya yang hanya mampu bergerak kaku.
"Aza?" panggilnya lemah.
Aku mengangguk. Bibirku tiba-tiba kelu, meskipun saat berlari tadi, otakku menyimpan banyak sekali hal yang ingin kuucapkan sekarang. Aku hanya ingin berterima kasih, bersyukur, entah apapun itu, yang kuinginkan hanyalah Ayah tahu bila anak perempuannya ini, Azalea, sama sekali tidak menyesal menjadi putrinya selama ini. Apa aku terlalu dramatis?
"A..Ayah..." Genggamannya melemah. Aku tersentak! Sudah bukan waktunya memikirkan hal yang ingin dikatakan!
"Aza..." Aku mengangguk. Beliau selalu memanggilku seperti itu, lembut dan mengayomi.

KAMU SEDANG MEMBACA
S t i g m a
General Fiction"Kebencianmu tak mengutuk apapun. Lidahmu tak mengubah apapun. Karena seperti yang kamu katakan, masyarakat bagaikan ombak. Bersedia digulung kemanapun, bahkan kepada kebenaran sekalipun." /stig·ma/ n ciri negatif yang menempel pada pribadi seseoran...