Hinata terdiam. Hari ini adalah hari pengumuman murid akademi yang lolos pelatihan. Namanya tidak ada di kertas pengumuman. Hanya ada dua yang lolos kali ini.
" Gagal lagi." Gumamnya. Ia melihat poster di sebelahnya. Wajah Sakusa terpampang di sana bersama dengan pilot yang lain. Tahun lalu, ia memasuki akademi yang sama dengan Sakusa, saat itu Sakusa sudah lolos pelatihan hanya dalam waktu kurang dari satu tahun. Jika ditanya iri atau tidak, tentu saja iri. Itu adalah cita-citanya sejak dulu. Namun tentu saja ia tidak berkecil hati. Ia hanya perlu berusaha lagi.
Sakusa berlari dari ujung lorong. Semua orang menatap padanya. Namun ia tidak peduli itu. Matanya hanya tertuju pada Hinata yang menatap kertas pengumuman di dinding.
" Bukankah itu Sakusa si pilot itu?" Bisik-bisik mereka. " Mengapa ia ada di sini."
Sakusa berhenti di samping Hinata. Napasnya terengah. Ia menatap cemas. Hinata lalu menoleh dan menghadap Sakusa. Mendongak dan tersenyum manis.
" Sakusa-san." Sakusa kemudian menghambur peluk ke Hinata.
" Dia siapanya Sakusa."
" Wah, akrab sekali, aku iri."
Bisik-bisik terdengar di sekitar mereka. Hinata meringis karena pelukannya terlalu kuat dan mengelus punggung Sakusa lembut. Ia melepaskan pelukannya.
" Tidak di sini Sakusa-san." Hinata masih menggenggam lembut tangan Sakusa. Sakusa mengerti. Ia menarik tangan Hinata dan membawanya pergi dari situ.
.....
" Shouyou-kun? Kau di sini? Dimana Sakusa?" Atsumu, teman pilot Sakusa muncul dari pintu ruangan lain. Aura ceria menguar dari wajahnya. Ia mengambil apel di meja dan menggigitnya santai.
" Dia sedang membuat minuman." Hinata menjawab tenang. Sebenarnya Atsumu adalah sebagian dari sekian orang yang membuat Hinata iri. Ia seangkatan dengan Sakusa. Lolos dalam kurun waktu yang sama. Bahkan mereka berada di tim pelatihan yang sama. Yang artinya, memiliki waktu bersama Sakusa lebih banyak.
Atsumu menarik kursi di hadapan Hinata. Kemudian duduk menyender. Kepalanya ditengadahkan. Seperti memikirkan sesuatu.
" Shou-"
" Shouyou, ini minuman hangatnya." Suara ceria Sakusa mendekat, ia menyembul dari dapur. Membawa dua cangkir coklat panas di tangannya. Kemudian memandang Atsumu.
" Kamu kenapa di sini. Miya." Wajahnya berubah masam. Hinata terkekeh melihat perubahan wajah Sakusa. Sakusa memberikan secangkir coklat itu kepada Hinata yang bergumam manis terima kasih. Sakusa pun duduk di samping Hinata dan merangkulnya sambil menyesap minuman buatannya.
Atsumu berdecak sebal. " Omi-kun, kapan kau bersikap baik padaku seperti kau bersikap baik pada Shouyou-kun." Atsumu bersedekap dan memalingkan wajahnya sembari mengunyah apelnya.
" Mimpi saja, kau bukan Shouyou." Jawab Sakusa ketus. Hinata tertawa geli melihat interaksi mereka. Hinata tiba-tiba teringat, sepertinya Atsumu ingin berkata sesuatu.
" Atsumu-san. Kau tadi mau berbicara apa?" Hinata bertanya gamblang. Atsumu agak kaget. Ia tersedak apel.
" Uhuk." Hinata kemudian sigap memberikan cangkir minuman yang belum sempat ia sesap. Ia bangkit menuju Atsumu dan mengusap-usap punggungnya.
Sakusa melotot. Hinata yang tahu, tersenyum melas sambil mengutarakan maksudnya lewat isyarat. Sakusa memalingkan wajahnya dan menyesap minumannya lagi. Ia cemburu.
" Pelan-pelan kalau makan, Atsumu-san." Hinata menepuk halus punggung Atsumu dan memastikan ia baik-baik saja.
" Cuma ditanya aja kagetnya sebegitunya. Aku jadi curiga." Sakusa mengomentari. Hinata memperingati lewat tatapannya. Atsumu pun meminum minuman yang diberikan Hinata.
" Nggak. Omi-kun suudzon!" Atsumu memerah wajahnya. Efek tersedak mungkin.
" Aku sebenarnya cuma mau nanya sama Shouyou-kun. Apakah dia mau nonton show di teater besok malem minggu." Lanjutnya.
" Nggak boleh. Shouyou harus bersamaku." Sakusa menjawab tegas. Hinata kikuk. Ia bingung harus memilih siapa. Karena sebenarnya ia juga berencana akan menghadiri show sendiri karena Sakusa tidak mau diajak.
" Emm... Bagaimana kalau kita bertiga?" Tengah Hinata. Jadi adil, kan. Pikirnya.
" Ok. Asal Hinata bersamaku itu ok." Sakusa bangkit, menarik tangan Hinata yang masih bertengger di pundak Atsumu dan membawanya ke kamar Sakusa.
" Omi-kun posesif sekali. Pasti sayang banget ya." Atsumu meringis kecil.
.....
Malam minggu tiba. Baik Atsumu, Hinata dan Sakusa sekarang sudah siap menuju teater. Mereka berkumpul di dorm tempat tinggal Atsumu dan Sakusa. Dorm mereka sudah sepi, ditinggal teman-teman lain ngapel pacarnya masing-masing. Kini waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Waktunya mereka berangkat.
" Eratkan syalmu, Shou. Kalau demam gimana? Hm?" Sakusa menghadap Hinata dan membenarkan syal yang dipakai Hinata. Mereka berdua menunggu Atsumu di luar. Atsumu masih mengecek keadaan dorm sebelum ditinggal.
" Iya kak. Makasih." Cerah sekali. Sakusa terpana. Ia mencium bibir Hinata.
" Jangan manis-manis dong. Aku nanti ga tahan nih."
" Ga tahan apa hayo. Ayo, berangkat" Sela Atsumu. Ia selesai mengunci dan melewati pasangan kasmaran itu.
Sakusa berdecak kesal karena momen sakralnya diganggu dan menendang kaki Atsumu. Atsumu mengaduh. Hinata terbahak. Malam yang begitu indah. Setidaknya begitu pikir Hinata saat itu.
.....
Sampai suatu tragedi menimpa. Jalan menuju teater itu sebenarnya masih agak gelap, dan mereka melewati suatu konstruksi bangunan yang minim cahaya. Angin malam yang agak kencang meniup sebuah benda dan menyenggol balok yang kurang terpasang aman di ketinggian, membuatnya terjatuh. Sakusa dan Atsumu yang masih bertengkar tak menyadari itu. Hinata yang menyadarinya. Hinata mendorong mereka berdua hingga tersungkur ke depan. Belum sempat Hinata menghindar, Hinata tertimpa balok tersebut. Menimbulkan jeritan memilukan.
" Hinata!!!!" Sakusa yang sempat tersungkur bangkit dan tergopoh-gopoh menuju Hinata. Hinata mengaduh. Kakinya tertindih dan mati rasa. Balok itu berat. Atsumu menyusul Sakusa. Mereka kemudian memindahkan balok tersebut yang menindih kaki Hinata.
" Kita bawa ke klinik." Sakusa menggendong Hinata. Atsumu mengiyakan. Keselamatan Hinata lebih penting daripada show malam ini.
.....
Hinata duduk termangu. Ia sangat benci dengan suasana rumah sakit. Rumah sakit adalah tempat direnggutnya nyawa adik dan ibunya dulu. Hanya ada kesedihan di sini. Sekarang ialah yang menempati salah satu kasurnya.
Kakinya dinyatakan cacat oleh dokter karena peristiwa malam itu. Balok itu menimpa bagian penting di lututnya. Sebagian lututnya remuk. Kakinya tidak bisa sembuh. Ia bahkan belum bisa berjalan normal. Masih dibantu penyangga, kadang untuk turun pun harus dibantu Sakusa atau Atsumu yang datang menjenguk.
Mereka berdua setia menemani Hinata sampai Hinata dapat keluar dari rumah sakit. Takdir seakan mengutuk perasaan mereka, merasa sangat bersalah karena tidak menjaga Hinata dengan benar. Meskipun Hinata tidak pernah sama sekali menyalahkan mereka. Hinata lapang menerimanya.
Hinata menatap ke luar jendela. Matanya sayu, kehilangan semangat. Asanya pupus. Sudah pasti sekarang ia tidak dapat menghadiri ujian-ujian pelatihan lagi. Kemudian setelahnya, Hinata memutuskan untuk mundur dari segala hal tentang pelatihan.
Janji pertama terbang dengan Sakusa ia ingkari. Janji pertama hancur. Bersamaan dengan sayapnya, telah dipatahkan.