Sakusa tengkurap sambil berpangku tangan menghadap Hinata cemberut. Ia sebal dengan Hinata yang tidak mau digendong dirinya yang merupakan kekasihnya. Padahal tempat mereka piknik saat ini ada di atas bukit yang sama sekali tidak mudah medannya.
Ya, Hinata telah keluar dari rumah sakit sebulan yang lalu. Ia sudah pulih. Meskipun tidak kembali seperti semula.
Hinata yang melihatnya tersenyum. " Omi-san, aku tidak mau terus-terusan direpotkan olehmu. Aku mau belajar mandiri."
" Aku sangat rela direpotkanmu seumur hidup, Shou! Aku kekasihmu." Sakusa kemudian terlentang. " Semuanya harus aku! Jangan si bau Miya." Lanjutnya.
Hinata terbahak.
Sakusa kemudian sendu. Ia meletakkan kepalanya di pangkuan Hinata. Hinata mengelus lembut rambutnya.
" Lalu apa yang akan kau putuskan sekarang?" Sakusa memejamkan matanya. Ia tidak mau melihat air wajah Hinata. Namun genggaman tangan erat ia pegang.
Hinata menghembuskan napasnya keras. " Aku akan menjadi teknisi. Lagipula sebenarnya kemampuanku bagus di bidang itu daripada menerbangkan pesawat. Para petinggi juga menyarankan seperti itu saat aku mengundurkan diri kemarin."
Hinata mengusap lembut pipi Sakusa. " Lagipula, aku justru akan sering bertemu denganmu di sana nanti daripada saat aku pelatihan." Sakusa membuka matanya. Ia bangkit sedikit, meraih leher Hinata untuk sedikit menunduk, dan melumat bibirnya. " Aku akan sering seperti ini, di sana nanti." Seringainya nakal.
" Omi-san mesum." Hinata tersipu.
Mereka berdua menatap langit cerah. Berharap pada takdir nanti. Setidaknya mereka bersama. Itu sudah lebih dari cukup.
.....
Sirine berbunyi berulang-ulang. Menandakan misi darurat harus segera dilaksanakan. Tadi malam kode telah dipecahkan. Mereka dibangunkan untuk menyusun strategi membalas lawan perang. Hinata membantu para pilot penerbang untuk memakaikan pakaian perang mereka. Sibuk berlalu lalang mempersiapkan semua kemungkinan.
Kini Hinata membantu Sakusa berbenah. Matanya memerah. Hinata menahan tangisnya. Kekasihnya ikut dalam formasi penyerangan kali ini. Ia akan pergi. Tangannya gemetar saat memakaikan Sakusa rompi. Sakusa meraih tangan Hinata dan mengecupnya.
Hinata sesenggukan. Lengan baju ia gunakan untuk menghapus air mata. Baru seminggu ia ditugaskan di sini. Menghabiskan waktu bersama Sakusa di sini. Baru kemarin ia mengucap doa untuk tetap terus bersama. Sudah dipisahkan oleh tugas negara.
Sakusa menangkup wajah Hinata dan mengecup bibirnya. Agak lama. Melumatnya sebentar, kemudian dilepaskan dengan sedikit tidak rela. Wajahnya tersenyum sendu menatap Hinata. Tidak rela meninggalkan Hinata.
" Aku akan selamat, OK?" Sakusa meyakinkan Hinata. Ia mencubit hidungnya.
" Kamu cantik saat menangis." Sakusa tertawa kecil. Hinata memukulnya pelan.
" Namun kamu akan lebih cantik saat tersenyum." Lanjutnya. " Tersenyum untukku, OK?" Ujarnya lembut.
Hinata mengangguk pelan. Ia menghambur ke pelukan Sakusa. Mendekap erat. Saling merasakan detak jantung yang seakan meledak.
" Omi-kun. Sudah saatnya." Atsumu muncul di belakang mereka. Ia sudah menenteng helmnya.
" Aku pergi dulu, Shouyou. Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa makan. Kalau butuh bantuan langsung bilang pada Komori. Ia pasti akan membantu. Jangan memaksakan diri. OK?" Wejangnya.
" Aku mencintaimu. Omi-san. Jaga dirimu untukku. Aku akan di sini menjaga diriku untukmu. Aku doakan yang terbaik untukmu dan untuk kita berdua." Hinata berujar parau. Menatap Sakusa dengan mata sembab.
" Always." Ujar Sakusa, ia sekali lagi mencium Hinata. Kemudian berlalu bersama Atsumu ke landasan. Bergabung bersama pilot-pilot lain.
Hinata menangkupkan tangannya di dada. Merapalkan doa-doa keselamatan untuk kekasihnya. Dari kejauhan ia hanya dapat melihat kecil Sakusa. Semakin kecil dibawa pesawat yang lepas landas. Dan menghilang di ujung cakrawala.