PROLOG

949 54 10
                                    

Brooklyn, New York, Amerika Serikat

Tepat pukul 15.00 di sebuah gereja kecil. Dengan pakaian sederhananya, wanita itu memilih untuk menikahi kekasihnya walaupun keadaannya sangat buruk dan waktu yang sangat mendesak, sebab beberapa menit lagi ayah kekasihnya yang seorang mafia kelas kakap akan menangkap mereka.

Kala itu borough bernama Brooklyn sedang diguyur hujan yang kian menderas.

Mereka berdampingan menghadap kepada Tuhan untuk meminta restu-Nya, walaupun mustahil untuk direstui. Tidak perduli perlakuan mereka yang tentu saja tahu itu adalah kesalahan besar. Mereka berdua yang akan menanggung dosanya.

Genggaman tangan mereka gemetar namun sangat erat, penglihatannya semakin buram sebab air mata. Tidak ada seorangpun di sana selain mereka berdua, hanya ada suara isakan tangis kekasihnya yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu maksud tangisan itu, bahagia kah? Atau kesedihan sebab memikirkan bagaimana cinta mereka akan bertahan.

Keringat dinginnya tak berhenti bercucuran kala dirinya sendiri gugup untuk mengucapkan keinginan dan janjinya. Bagaimanapun cinta mereka akan berakhir, ikatan pernikahan adalah hal yang paling mereka inginkan. Jika saja cinta mereka akan berakhir beberapa menit lagi, setidaknya cinta mereka memiliki bukti dan ikatan yang kuat.

Derasnya hujan tidak membuat isakan kekasihnya tenggelam, suara isakan itu seolah memasuki telinganya.
"Wanita yang berdampingan denganku ini adalah istriku...mulai saat ini!"

Ia menatap kekasihnya untuk beberapa detik. Cinta yang membuatnya berjuang, bahkan jika harus merenggut nyawa salah satunya, ia akan bersedia.

"Dalam suka cita, duka, kesulitan, sakit, menua..." Wanita itu menelan ludahnya kasar, seakan kesulitan untuk melanjutkan apa yang akan diucapkannya. Ia menutup matanya perlahan meloloskan air mata di pelupuknya.

"ataupun hal lain yang akan datang, aku tidak akan pernah melepaskan tangan istriku yang kugenggam saat ini." Ungkapnya penuh ketulusan.

Kini mereka saling menatap. Wanitanya mungkin memiliki impian pernikahan yang meriah dan dihadiri teman-temannya, namun apa yang bisa ia berikan saat ini hanyalah cinta yang sangat tulus. Hatinya sudah pasti dipenuhi dengan tujuan dan janji untuk membahagiakan wanita yang baru saja menjadi istrinya. Hujan akan menjadi saksi atas pernikahan mereka.

Tangannya terangkat menyentuh bibir yang mencoba tersenyum tulus padanya. Ia menghilangkan jejak air mata istrinya, kemudian tersenyum.

"Jangan khawatir, aku sudah banyak berjanji padamu dan pasti aku memiliki keinginan untuk memenuhi janjiku. Aku sangat mencintaimu." Ia mengelus pipi istrinya, mengecup keningnya.

Namun saat itu, pintu gereja terbuka sangat keras beberapa pria berjas hitam memasuki ruangan itu.  Hingga muncullah wajah pria yang menjadi alasan mengapa kisah cinta mereka sangat rumit. Ia sadar, kejadian ini pasti akan terjadi tapi yang sanggup ia lakukan hanyalah menikahi kekasihnya tanpa restu pria itu.

"Bisakah aku menyebutmu penghianat? Kau adalah anak teman baikku Lalisa, tapi putriku tidak berhak kau jadikan istri! Aku tidak peduli dengan fakta dia mencintaimu, yang aku inginkan hanyalah kau terbunuh di hadapannya. Haha!"

"Aku memang sudah cukup tua dan wajar mendapatkan menantu, tapi aku tidak menginginkanmu!" Lanjutnya.


"Aaagrrh."

Darah yang mengalir dari pelipisnya bukan apa-apa, Lisa tidak ingin menyerahkan istrinya begitu saja. Hingga balok besar menghantam kepalanya sangat keras, tubuhnya terhuyung dan matanya masih setia menatap wajah istrinya.

"Honeyyyy...hikss kumohon lepaskan aku! Daddy."

Tubuhnya berusaha menghindar saat besi akan mengenai pundaknya. Beberapa pria itu akan menghabisi nyawanya dengan mudah jika ia tak melawan. Lisa kau adalah petarung yang hebat, 6 pria ini tidak sebanding dengan dirimu!

Last of Our LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang