40 | Ruyap

349 82 129
                                    




"Semoga inginku adalah anganmu."

***




Enam tahun yang lalu . . .

Wira menginjak puntung rokok yang masih tersisa setengah itu. Bara apinya langsung padam. Aromanya murahan. Tidak seperti rokok yang pernah ia cicipi dari laci Tuan Achanta.

Wira beranjak dari duduknya, meregangkan otot-ototnya. Ia pandangi manusia yang masih betah duduk di sebuah bangku kayu, dinaungi sebuah pohon rindang. "Bosen anjir," gerutunya.

Daca memandangnya dengan malas. Dari tadi sahabatnya itu sangat mengganggu. Mengeluh soal panasnya cuaca, bangku kayu yang reyot, semut merah yang menggigitnya dari dahan pepohonan, bau got yang aliran airnya mampet dan baru semenit yang lalu Wira melayangkan protes mengenai buruknya kualitas rokok yang dibeli Daca sembarangan di tepi jalan.

Kawannya itu menghina rokok yang ia beli, dengan lagak seperti orang yang rutin merokok. Padahal jelas-jelas Daca sengaja membelikannya rokok hanya agar mulutnya diam dan berhenti mencemooh.

"Lo gak bisa ya sederhana sedikit?" tanya Daca, satu tangannya melempar kerikil ke arah got. "Dari tadi protes mulu."

"Ini sengsara namanya, bukan sederhana!" rutuk Wira. Benar. Cuaca sudah begini panas, dan Daca masih saja ngotot nongkrong di tempat seperti ini.

"Sekali-kali lah kita begini." Daca berkilah. Cowok itu sama sekali tidak keberatan dengan sekelilingnya. "Sultan kayak lo harus merasakan nikmatnya jadi rakyat jelata," kelakarnya lagi. Dirinya kini sudah berpindah posisi, turun dari bangku reyot itu, berjongkok di tepi trotoar, mengawasi gedung di depan matanya.

Mata Wira mengikuti gerakan Daca yang sekarang mengendap-endap turun dari trotoar, menjejak ke jalan setapak. "Rakyat melata maksud lo?" sindir Wira.

"Hewan jelata," seloroh Daca. Cowok itu mengamati bagian belakang gedung di seberang mereka. Kenapa belum bubar juga? Sudah jam segini? Dia baik-baik aja kan? Kenapa gak kelihatan batang hidungnya?

"Balik aja, Ar!" saran Wira.

"Cerewet!" tukas Daca, "lo kalau mau balik, sana sendiri!"

Wira berdecak kesal. "Ck! Kenapa gak nunggu di depan gerbang masuk sih?"

"Dia biasa lewat belakang tau," jawab Daca tetap dengan sabar. Meskipun sudah beberapa kali Wira menyaksikan Rasta memanjat pagar belakang gedung sekolah mereka.

Benar. Yang lama ditunggu akhirnya muncul juga. Aleyna Rasta baru saja memanjat pagar pembatas belakang gedung. Gadis itu melempar ranselnya lebih dulu, sebelum kakinya memanjat naik.

Wira mendecih. Daca sumringah.

"Ngapain sih dia? Kenapa gak pulang lewat gerbang depan?? Nyusahin diri sendiri!" Wira kembali melontarkan protes.

Daca tergelak pelan. "Lo pikir sendiri. Dia gak pernah berinteraksi sama temen-temennya sejak Rhea meninggal setahun lalu. Ditambah lagi gue tinggal ke gedung sebelah."

Daca menyayangkan letak gedung Riverdale yang terpisah untuk siswa middle years dan diploma programm yang bisa dikatakan lumayan berjauhan. Sudah beda seragam, beda lokasi pula. Namun Daca tetap memantau gadis itu dari jauh.

"Yuk!" Langkah kaki Daca sangat perlahan. Mengikuti gadis itu tanpa kentara. Dalam jarak yang sudah terukur.

Di perempatan jalan, langkah kaki Rasta berubah ritme dari sangat perlahan menjadi lebih normal. Gadis itu naik ke dalam bus yang berhenti di ujung jalan. Diikuti dua remaja SMA.

Rendezvous : Reaching You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang