"Apa yang kamu cari dari persahabatan kita?" Radix bertanya dari balik pintu kamar Ama.
"Seorang sahabat sempurna yang akan selalu mengerti kita tanpa kita harus berbicara? Atau seorang sahabat yang akan selalu mendukung apapun yang ingin kita lakukan?" Radix memberi jeda, "Atau mungkin seorang sahabat yang tidak akan pernah membuat kita merasa sakit?"
Ratu Amalia Wicaksana mematung. Kedua tangannya menangkup wajahnya yang pias. Tubuhnya gemetar seperti orang yang menggigil karena ia berusaha menahan emosinya yang mungkin sebentar lagi akan meledak. Ingin rasanya Ama mencaci maki orang-orang yang melukainya tepat di depan wajahnya. Ingin sekali Ama memukul, menginjak kakinya atau mungkin meninju orang yang tidak pernah mau mengerti posisinya. Atau paling tidak Ama ingin menampakkan wajah sinis dan tidak peduli pada orang-orang di sekitarnya. Tapi...
Ama tidak bisa. Dia selalu menelan segala emosinya. Menyimpan rapi semua protes-protesnya. Mengendapkan semua keluh-kesahnya. Mengabaikan sakit dan kecewa demi orang-orang yang dia sayang. Sialnya semua itu percuma. Ama tidak mendapatkan balasan apapun.
Kini telinga Ama berdenging. Seolah ada alarm tak kasat mata yang menghitung mundur detik demi detik sebelum bom itu benar-benar meledak. Iya. Emosi-emosi Ama yang selama ini tersimpan akan meledak sebentar lagi.
Ini lebih dari sekedar persahabatan! Lebih ...
Di luar, Radix masih berdiri menunggu Ama keluar. Dia tersenyum lembut, meskipun Ama tidak melihatnya, "Kalau kamu gak pernah cerita, gimana kita bisa ngerti?" ia menghela napas karena Ama benar-benar bungkam.
"Aku ada di sini. Kamu bisa cerita apa saja, jangan pendam semua masalahmu sendirian. Am." Ada ketulusan dari suara Radix, membuat Ama menarik napas dalam, rasanya seperti ada gumpalan bola berbulu yang menghalangi oksigen masuk ke alveolus Ama.
Lagi, Radix tersenyum penuh pengertian. Ama pasti butuh waktu untuk sendiri dulu, akhirnya Radix memutuskan pergi. Namun suara lirih Ama berhasil menahannya.
"Aku ... harus mulai cerita ini dari mana?" Ama tersenyum getir, ia tidak ingin bom itu meledak dan merusak semua yang sudah ia pertahankan mati-matian. Tidak mudah baginya menceritakan tentang diriya, hatinya, juga ... kerapuhan mentalnya.
Jember, 7 November 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Morpholove
Teen FictionKehidupan Ama tidak sama seperti kehidupan orang lain. Ama menyadarinya. Memendam emosi yang ingin keluar dan mengabaikan perasaannya sendiri, agar orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Ama ahlinya. Semenjak berkawan dengan Nuna, Popi dan Que...