MOMSTER
"Bangun! Bangun!" Wanita berdaster merah jambu itu menggedor-gedor setiap pintu rumah tetangga-tetangganya.
"Ayo bangun, jangan suka tidur pagi, katanya ingin jadi orang sukses. Ingat, orang sukses itu jam segini sudah beraktivitas, gak diem aja di dalam rumah. Ayo bangun, keluar. Jangan malas-malasan. Nanti di akhirat kalian mau jawab apa kalau ditanya waktu kalian habis untuk apa?" selesai ceramah di depan pintu rumah bercat kuning, wanita itu mematikan saklar listrik yang ada di luar, kemudian dia berpindah ke rumah-rumah lain untuk melanjutkan petuah-petuah bijak yang membuat pendengarnya ingin melemparkan timba ke kepalanya.
Brak ... brak ...brak ...
Wanita itu kembali menggebrak pintu rumah tetangganya yang lain.
"Bu, ayo pulang," ajak gadis kecilnya, napasnya naik turun, sejak selesai sholat subuh dia terus berlari mencari-cari ibunya yang kabur dari rumah.
"Iya, cepet bawa ibu kamu pergi! Harusnya kamu pasung ibu kamu itu, biar gak nyusahin warga!" sahut suara dari dalam rumah. Antara kesal karena harus berlari mencari-cari ibunya, kesal karena tugas sekolahya masih belum selesai, sekarang ditambah dengan perasaan jengkel karena ocehan tetangga yang tak manusiawi.
Dijawabnya suara dari dalam rumah bercat ungu sambil menjerit parau, "Kalian tahu? Sebenarnya, aku pun capek terus begini, dan ibu pasti juga tidak menginginkan hal seperti ini terjadi padanya. Kenapa sih kalian tidak mau mengerti?" dia menghela napasnya, menahan diri agar tidak menangis. "Tidak bisakah kalian membantu hanya dengan diam? Itu saja sudah cukup." Gadis itu terduduk, ia tidak sanggup menopang tubuhnya sendiri.
Kalau tidak bisa membantu secara moril ataupun materil, setidaknya orang-orang itu cukup diam, tidak perlu menggunjing atau berbicara macam-macam. Apakah menjaga mulut untuk tidak memberikan komentar kepada orang lain, itu begitu susah?
Ibunya yang linglung, ikut duduk di samping putrinya, bibirnya tersenyum dan tangannya terulur untuk menghapus pipi basah anaknya. Tidak lama kemudian ayahnya datang menyusul.
"Biar ibu sama ayah saja. Sekarang kamu siap-siap sekolah ya."
***
Ratu Amalia Wicaksana. Dialah yang diam-diam mengambil undangan perayaan sweet seventeen Debi. Debi adalah anak Bu Nadia, tempat Ama mengambil aneka jajanan untuk diantarkan ke toko-toko lain, ingin sekali Ama menyapa Debi dan mengajaknya berbicara, tapi stiap kali Ama hendak menyapa, Debi sudah melengos terlebih dahulu. Debi jarang sekali terlibat dalam suatu pembicaraan, ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali berbicara dengan Debi yang pemalunya melebihi tanaman putri malu. Mungkin terkesan aneh, tapi begitulah hubungan Debi dan Ama selama ini.
Aku akan membantunya. Tekad itu terpatri dalam hati dan pikiran Ama. Sebelum ia melancarkan rencana untuk membantu Debi, dia aka mencari anak-anak yang cocok untuk datang ke pesta ulang tahun Debi. Syarat orang-orang yang berhak menerima undangan itu, yaitu mereka harus hangat, ceria, tidak memandang fisik dan yang paling penting tulus!
"Ama, kita jadi ngerjain tugas di rumahnya Popi, kan?" tanya Nuna setelah saling melempar kode mata dengan Queenvie dan Popi.
Ama hendak membuka suara tapi tangan Nuna langsung menyodorkan buku PR ke depan mukanya sambil berkata, "Tapi kalau Ama sibuk, kita gak maksa kok, ini kita titip ini aja ya," dia memiringkan kepalanya ke kiri, bibirnya yang terpulas lipgloss menyunggingkan senyum paling manis.
"Kita duluan ya Am ... bye." Mereka bertiga terkikik sambil berlarian meninggalkan kelas. Menyisakan Ama dan kipas angin kelas yang belum dimatikan, juga tiga buku peer milik mereka yang tergeletak di atas meja.
Ama jadi teringat momentum ia meminta Popi, Queenvie dan Nuna agar menerimanya sebagai teman. Masih teringat jelas bagaimana Popi melirik Queenvie, Queenvie melirik Nuna, kemudian Nuna berbisik yang tidak bisa disebut berbisik karena Ama yang berdiri dua meter dari mereka bisa mendengar dengan jelas ucapan Nuna, "Terima saja, lumayan bisa disuruh ngerjain peer, waktu tes tulis, aku ngelirikin jawaban dia, eh, nilaiku terbaik nomer tiga."
Queenvie yang menjadi ketua geng akhirnya mengangguk,"dengan syarat, kamu tidak boleh dipanggil Ratu, ganti nama saja!"
Tanpa berpikir Panjang, Ama langsung mengangguk, "kalian bisa memanggil aku Ama."
Ratu.
Amalia. Ama.
Wicak Sana.
Raws. Apa saja terserah, Ama sangat suka dengan Namanya!
"Syarat berikutnya, gak banyak boleh nanya dan gak banyak ngeluh,"
Sambil meremas pulpen standar birunya, Ama bersorak kegirangan, mengucapkan terimakasih sampai tiga anak di depannya merasa mual.
"Iya iya, santai aja ... siapa tadi namamu, Ratu?" tampang Popi terlihat tidak suka saat menyebutkan nama panggilan Ama. Dalam standar aturan Popi nama Ratu itu tidak compatible dengan sosok Ama yang kurus, hitam, kusam dan alis yang nyaris tabrakan. Dari sudut pandangnya, antara nama dan fisik sangat tidak cocok.
Ama menatap Popi yang tidak mau bersusah-susah menutupi ketidaksukaannya dengan nama Ratu,"Serius gak masalah, kalian bisa panggil aku Ama," tukas Ama cepat.
"Kok pertanyaan kamu gitu sih Pop, gak sopan tahu," kata Nuna, Popi hanya menanggapi dengan kibasan rambut.
"Eh, gapapa kok, aku suka dipanggil Ama dari pada dipaggil Ratu," Ama tersenyum canggung.
"Tuh kan, Ama aja gak mempermasalahkan, kok kamu sewot sih," sudut bibir Popi tertarik kesebelah kiri. Desi yang berdiri di samping popi berusaha menutup senyumnya dengan tangan kanan.
Bagi Ama ini bukan masalah. Mengganti nama panggilan tidak bisa dibandingkan dengan tiga orang teman yang mau menerimanya sebagai kawan.
Setahun bersama mereka bertiga, Ama merasa bahunya seperti dilucuti. Ia tidak tahu perbedaan antara seorang teman dengan sapi perah. Mereka selalu memerah tenaga dan otak Ama seperti minta dibawakan tasnya, minta belikan jajanan kantin, minta dikerjain tugasnya.
Ama memutuskan, sebelum dia membantu Debi, dia harus membantu dirinya terlebih dulu untuk keluar dalam pertemanan parasit ini. Satu kesalahan yang baru Ama sadari sejak awal bersahabat dengan mereka, ia tahu dirinya dimanfaatkan. Sialnya Ama tidak punya pilihan lain, dia tidak mau terlihat menyedihkan karena tidak memiliki seorang kawan.
Ama kembali menatap undangan pesta sweet seventeen Debi, kemudian seperti ada lampu pijar di sebelah kepalanya, lalu ia mendongakkan kepala sambil menatap punggung Popi, Queenvie dan Nuna yang semakin jauh. "Kalian akan menyesal!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Morpholove
أدب المراهقينKehidupan Ama tidak sama seperti kehidupan orang lain. Ama menyadarinya. Memendam emosi yang ingin keluar dan mengabaikan perasaannya sendiri, agar orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Ama ahlinya. Semenjak berkawan dengan Nuna, Popi dan Que...