01
MOMSTER
"Aku mau Bu Ana!" wanita itu bersikukuh tidak mau mandi jika bukan Bu Ana yang memandikan. Sementara gadis berseragam olahraga di depannya berulang kali melirik jam di tembok, berharap semoga waktu mau memperlambat ritmenya atau paling tidak mau bersahabat dengannya.
"Ayo, Bu, mandi." gadis itu memohon sampai air matanya nyaris jatuh. Ia Lelah menghadapi ibunya sendiri yang bertingkah seperti balita
"AKU ... MAU ... BU ANA. TITIK!" teriakkan nyaring dan penuh penekanan yang keluar mulut ibunya membuat telinga gadis itu berdenging.
"BU ANA SUDAH MATI!" anak itu balas berteriak. Sepagi ini stok sabarnya sudah terkuras.
Dilihatnya lagi jam di dinding, 10 menit lagi jam di sekolah akan berbunyi. Pelajaran pertama akan dimulai dan dia masih berkutat dengan ibunya yang bau pesing, tapi bersikukuh tidak mau dimandikan. Ingin rasanya dia meninggalkan ibunya begitu saja, tapi dia tidak tega. Akhirnya dengan sentakan kuat, ia menarik ibunya ke kamar mandi, kemudian mengguyur ibunya yang bau ompol itu.
Wanita itu menangis kencang dan meronta-ronta hingga membuat air dari gayung turut membasahi seragam olahraganya. Ia menggigit bibirnya agar tidak sampai mengucapkan sumpah serapah. Tanggannya sekarang menyabun tubuh ibunya dengan kasar.
Dalam diamnya, anak itu menangis. Kenapa dia harus terlahir dari seorang ibu yang cacat mental? Dalam diamnya, anak itu sayang pada ibunya. Dalam diamnya, ia berdoa, semoga ibunya bisa sembuh atau paling tidak sakitnya tidak mudah kambuh. Ia rindu pelukan hangat ibunya sendiri.
***
"Ama, Alvia..." suara tegas Pak Pandu membuat keduanya merinding. Pasalnya bukan hanya kali ini mereka datang terlambat.
Pak Pandu menatap Ama, gadis bersepatu kets hitam itu pun menunduk dan kemudian menurunkan tas tenteng berisi kue yang tadi ada di gendongannya. Sementara itu Alvia menarik-narik lengan jaket berwarna putih yang ia kenakan.
Sebuah napas berat keluar dari hidung besar Pak Pandu, sebagai guru BK, dia bisa mengerti kondisi Ama yang serba sulit, karena itu dia harus mengantarkan aneka kue ke toko-toko agar bisa membayar biaya sekolah. Beliau pun paham dengan kondisi Alvia yang berbeda karena keluarganya yang broken home.
"Kalian berdua itu murid kesayangan bapak," prolog Pak Pandu dengan suara yang lebih halus dari sebelumnya, namun tetap saja terselip rasa tidak enak untuk didengar. "Hanya karena kalian siswa berprestasi di sekolah ini, bukan berarti kalian bisa semaunya sendiri. Sekolah kita tetap punya peraturan yang harus diikuti oleh setiap siswa. Sudah berapa kali bapak membebaskan kalian dari hukuman keterlambatan, tapi rupanya kalian justru bertingkah semakin seenaknya.
"Bukan begitu, Pak..." cicit Ama, berharap Pak Pandu tidak naik pitam atas keteledorannya.
"Bapak gak mau tau, kalian berdua harus dihukum. Nanti pulang sekolah, kalian harus membersihkan ruang music!"
Seketika Ama dan Alvia saling berpandangan yang kemudian saling membuang muka. Bukan karena keduanya bermusuhan, tapi karena keduanya tidak saling mengenal satu sama lain. Alvia yang seorang introvert, si melankolis yang super perfeksionis dan tidak memiliki teman. Sangat berlawanan dengan karakter Ama yang selebor dan selalu sibuk dengan gengnya. Padahal secara akademis, mereka sangat akrab. Alvia selalu juara pertama dan Ama selalu menjadi juara berikutnya.
"Sekarang, cepat masuk ke kelas kalian, jangan sampai ada lagi guru yang lapor kalian bolos kelas!" perintah Pak Pandu. Ama dan Alvia mengangguk dan berjalan menuju ke kelas mereka.
Ama berjalan cepat mendahului Alvia. Rasanya malas sekali harus berurusan dengan anak anti sosial seperti dia. Sok misterius, sok keren sendiri. Sok mandiri. Sok hebat. Sok gak butuh orang lain. Dih!
"Amaaaa...." Panggil kawan-kawan Ama. Ama yang dipanggil segera menghampiri teman-temannya. Senyumnya merekah lebar. Membuat Alvia semakin benci Ama dan gengnya. Berisik!
"Kok bisa telat sih" tanya Queenvie sambil menggeser tempat duduknya.
"Yang penting pelajaran Fisika belum dimulai kan?" Ama terkekeh melihat raut muka teman-temannya yang pucat gara-gara buku tugas mereka ada di Ama. "Nih buku kalian." Queenvi, Popi dan Nuna tersenyum penuh terimakasih. Melihat senyuman itu, membuat Ama ikut tersenyum. Ia merasa hidupnya sedikit berguna.
"Bodoh," maki Alvia sambil menggebrak meja. Membuat anak-anak di kelas menoleh ke arahnya. Namun, siapa yang mau berurusan dengan Alvia?
"Palsu! Munafik." Rutuk Alvia lagi. Entahlah, anak-anak juga heran kenapa dia suka tiba-tiba membentak, marah tidak jelas.
Ama dan teman-temannya hanya melirik sekilas, malas meladeni Alvia yang sepertinya arang dengan gangguan mental.
Tanpa sepengetahuan Ama, Alvia melihatnya sambil berbisik...
"Persahabatan kalian akan pecah," senyum misterius tercetak di sudut kiri bibirnya. Tak ada yang tahu, jika selama ini Alvia sering marah-marah sendiri karena ulah Ama.
Tahu-tahu, bulu kuduk Ama meremang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Morpholove
Roman pour AdolescentsKehidupan Ama tidak sama seperti kehidupan orang lain. Ama menyadarinya. Memendam emosi yang ingin keluar dan mengabaikan perasaannya sendiri, agar orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Ama ahlinya. Semenjak berkawan dengan Nuna, Popi dan Que...