02

6 1 0
                                    

MOMSTER

"Kenapa ayah menikahi ibu?" tanya gadis itu saat mendapati ayahnya tersenyum melihat ibunya yang tertidur. "Ayah sudah tahu sejak awal kan, kalau mental ibu tidak baik-baik saja."

"Karena ibumu adalah orang yang membuat ayah merasa layak menjadi manusia," jawab ayah sambil terseyum pada putri tunggalnya.

"Tapi aku yang gak baik-baik saja menjadi anak kalian!" raut kaget tercetak jelas di wajah ayahnya namun tidak berangsur lama sebelum seulas senyum menghiasi wajahnya.

Ia menatap anak gadisnya. Putrinya itu langsung menunduk, tidak berani melihat kekecewaan di wajah ayahnya karena kalimat yang dia lontarkan barusan. Kalimat terjahat yang sudah ia pendam begitu lama.

Diraihnya tangan anaknya yang tiba-tiba tremor, "Maafkan Ayah dan ibu, kami belum bisa menjadi orang tua yang baik untukmu," ucap Ayah, ada getaran dalam suaranya. Ia membawa putrinya dalam pelukan hangat agar putrinya tidak perlu melihat kesedihan yang sekarang tergambar jelas di wajahnya.

"Kamu tahu?" tanya Ayah, "Manusia tidak bisa memilih akan dilahirkan dalam keluarga yang seperti apa. Itu sudah ketetapan takdir, tapi manusia bisa memilih akan menjadi manusia yang seperti apa ke depannya. Ayah yakin, suatu saat nanti, kamu akan menjadi anak yang hebat. Terimakasih ya, kamu sudah menjadi anak yang kuat untuk ayah dan ibu," bisik ayah sambil tersenyum, dengan cepat dihapusnya cairan bening yang tidak bisa dibendung lagi

***

JAM istirahat ke dua hampir selesai, tapi Debi Aprilia Rosdiana masih bertahan di tempat duduknya. Masih bertahan dengan undangan ulang tahun sweet seventeen-nya.

Pagi tadi, mendadak mama dan papanya heboh merancang pesta perayaan ulang tahun untuk Debi, padahal Debi sama sekali tidak menyukai perayaan atau pesta apa pun yang melibatkan banyak orang. Debi malu. Malu dengan wajah buruk rupanya. Alih-alih merasa spesial, Debi akan merasa dikucilkan. Dia akan tampak seperti badut konyol di tengah pesta ulang tahunnya sendiri.

"Ngapain sih mama bikin acara pesta ulang tahun segala? Mama kan tahu, Debi paling males sama yang namanya pesta," gerutu Debi dengan nada protes, roti yang ada di tangannya sudah tidak lagi menarik untuk disantap.

"Kok ngapain sih? Ini tuh ulang tahun sweet seventeen Debi, sweet seventeen! Harus beda dong, harus istimewa," jawab mama dengan nada riang, seolah Mama Nadia yang akan merayakan ulang tahun sweet seventeen itu.

Mendengar jawaban Mamanya, wajah Debi berubah seperti remaja yang mengalami tekanan batin. Apalagi mama sudah menyiapkan undangan ulang tahunnya. Debi mengacak-acak rambutnya frustrasi. Ia tidak yakin undangan itu akan berpindah tangan. Dan benar saja, hingga jam istirahat ke dua berakhir, undangan itu masih utuh di dalam kolong meja Debi.

Debi mendesah panjang saat teman-temannya mulai masuk ke dalam kelas. "Ck ... ide konyol macam apa ini?"

Sekali lagi Debi mengembuskan napas panjang saat melihat Pak Farlin berjalan menuju kelas. Kenapa jadwal Fisika diletakkan di jam-jam kritis seperti ini? Seharusnya pelajaran yang berat-berat diletakkan di pagi hari saat otak masih fresh. Tapi, sekali pun begitu, Debi juga tetap saja sulit memahami materi fisika.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, Debi tak paham Pak Farlin sedang membicarakan hal apa di depan. Bagi Debi, bunga-bunga yang ada di luar kelas terlihat jauh lebih menarik untuk diperhatikan. Juga seekor kupu-kupu berwarna kuning cerah yang begitu kontras dan mencolok terbang di antara bunga-bunga bougenvil yang berwarna merahmuda, putih dan ungu. Semilir angin membuat bunga-bunga bergoyang pelan ke kiri-kanan. Di mata Debi bunga-bunga itu menjelma seperti fans EXO yang menjerit-jerit saat DO dan Baekhyun menyanyi di atas panggung.

"Fana," desau Debi dengan pandangan mata melamun.

Iya, fana! Suatu saat nanti, bunga-bunga itu akan layu, kering dan berguguran dan tak akan ada yang peduli jika bung aitu dulu begitu cantik! Dan sudah bisa dipastikan bahwa kupu-kupu itu akan seenaknya pergi meninggalkan kecantikan bunga yang semu.

Ini bukan tentang teori sinisme, hanya saja dulu, Debi juga pernah merasakan menjadi seorang idola, ketika dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan di awal SMP, teman-teman berebut agar bisa duduk dengannya, berebut mangajaknya ke kantin bersama, main bersama, hangout bersama. Tapi semua itu berakhir dalam sekejapan mata. Semenjak menstruasi pertamaya. Di usianya yang ke 14, tiba-tiba saja wajah cantiknya dipenuhi ornamen bernama jerawat batu yang membuatnya merasa menjadi si buruk rupa. Debi merasa dirinya seperti putri yang menerima kutukan dari peri jahat.

Argh ...

Tanpa sadar Debi menghentakkan kakinya karena kesal dengan kenyataan yang harus ia jalani.

"Ada apa, Debi? Ingin mengerjakan soal di papan?" tanya Pak Farlin,

Sungguh, Debi tidak sedang berusaha memancing masalah untuk teman-teman sekelasnya, tapi terlambat, teman-teman satu kelas menatap Debi dengan tatapan yang jika diterjemahkan secara kasar akan berbunyi cepat maju atau satu kelas akan kena hukuman.

Terpaksa Debi berdiri dan berjalan ke depan papan tulis hanya untuk diam mematung. Ia sama sekali tidak memahami keserasian antara angka dan huruf yang dipersatukan dalam satu kata. Rumus.

"Silakan ke kamar mandi, cuci muka dulu, mungkin nanti kamu bisa mengerjakannya." Tegur Pak Farlin sabar. Debi berjalan dengan lemas. Ia keluar kelas.

Udara segar membuatnya tersenyum.

Langkah kakinya begitu ringan saat berada di luar kelas. Wajahnya riang menatap selasar kelas yang lenggang. Dimana dia bisa berjalan tanpa perlu menundukkan kepala begitu dalam.

Debi merogoh saku roknya. Di raihnya undangan ulang tahun berwarna pink super cerah. Serius, Debi merasa silau dan geli melihat undangan itu. Tanpa berpikir Panjang, ia membuangnya ke tong sampah.

Lega.

Mungkin memang hari ini terasa berat karena beban setumpuk undangan itu.

If you think I'm such happy person, no! you are wrong

Debi menyanyikan sebait lagu Happy milik Skinny Fabs. Entahlah, tiba-tiba saja keluar dari bibir Debi. Mungkin lirik itu dirasa cukup mewakili perasaannya. Tiba-tiba Debi menangis, lalu tertawa, lalu menangis lagi. Buru-buru ia membilas mukanya dengan air kran. Sementara Debi sibuk mengontrol raut wajahnya, ada tangan yang memungut undangan Debi yang tadi di buang di tong sampah.

Morpholove Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang