BAGIAN 1

387 13 0
                                    

"Kemari kau...!"
Terdengar bentakan seorang gadis cantik berpakaian ketat warna merah muda. Tangannya menuding ke arah seorang pemuda yang terbungkuk-bungkuk maju dengan kepala tertunduk dan wajah pucat.
"Ampun.... Aku hanya ikut-ikutan! Ampuni aku, Nisanak...!" ratap pemuda bertampang menyebalkan.
Sementara tiga orang pemuda lainnya tampak merapat ketakutan. Namun salah seorang ada yang mencoba beringsut ke belakang. Dan tiba-tiba saja bola mata gadis berbaju merah muda itu mendelik garang.
"Jangan coba-coba kabur! Atau nyawamu akan ke neraka sekarang juga! Tunggu giliranmu nanti!" bentak gadis itu lantang.
"Kami berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi, Nisanak! Sungguh! Kau boleh pegang kata-kataku...!" ujar pemuda yang hendak kabur dengan nada memohon dan muka agak memelas.
"Siapa sudi percaya pada kata-kata anjing busuk sepertimu?!"
"Sungguh, aku berjanji! Aku dan kawan-kawanku tidak akan mengulangi perbuatan kami...!" lanjut pemuda itu seraya mendekat terbungkuk-bungkuk.
Keempat pemuda itu memang tengah kena batunya. Mereka dikenal sebagai biang kerok di Desa Tegal Sari yang suka membuat resah. Dan ketika mencoba menggoda seorang gadis, baru mereka merasakan akibatnya.
Kini mereka dibuat babak belur dihajar gadis berbaju merah muda yang ternyata berkepandaian tinggi. Ada yang putus tangan kirinya dan ada yang kehilangan kedua belah telinganya. Namun gadis ini agaknya tidak mau menyudahinya begitu saja. Meski para pemuda ini telah memohon berulang kali. Bahkan tiba-tiba kaki gadis itu melayang, tepat menghantam dagu salah seorang pemuda.
Duk!
"Aaakh...!"
Pemuda yang sebenarnya bernama Bakil kontan memekik kesakitan. Beberapa buah giginya tanggal, dan mulutnya berlumur darah.
"Jangan memohon padaku seperti anjing. Kau tahu, derajatmu lebih rendah ketimbang anjing! Satu-satunya hukuman yang pantas buatmu adalah kematian!" desis gadis itu.
"Oh, tidak! Jangan.... Ampuni aku! Ampuni aku...!" ratap Bakil. Wajahnya semakin pucat. Dan dia cepat menghampiri, lalu bersimpuh di kaki gadis berbaju merah muda ini.
"Brengsek! Kau semakin membuatku muak saja!" desis gadis itu seraya mengayunkan pedang.
Sekali tebas, leher Bakil akan menggelinding. Sementara ketiga kawannya menahan napas. Demikian pula para penduduk yang tadi mengintip dari balik pintu dan jendela rumah di sepanjang jalan utama desa ini. Sedikit lagi pedang itu menemui sasaran, mendadak satu bayangan berkelebat. Langsung dipapaknya laju senjata pedang gadis berpakaian merah muda ini.
Trang!
Bukan main terkejutnya gadis berbaju merah muda itu. Menyadari ada yang menggagalkan tebasan senjatanya terus dikelebatkan. Kali ini bukan untuk memenggal kepala Bakil, melainkan ke arah sesosok tubuh yang menggagalkan rencananya.
Sosok itu bergerak menghindar dengan lincah. Namun gadis berbaju merah muda ini tidak kalah gesit mengejar. Dia kelihatan gusar sekali pada orang yang berani mencampuri urusannya.
Wut!
"Tahan seranganmu, Dewi...!" sentak sosok itu tiba-tiba.
Tubuh orang itu melompat ringan, menjauhi si gadis. Dan dia berdiri tegak pada jarak sembilan langkah. Bola mata gadis itu menatap tajam. Dan wajahnya jadi berkerut menahan geram melihat sesosok pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun yang masih menggenggam pedang di tangan kanannya. Senjata itu yang agaknya dipergunakan untuk menangkis pedangnya tadi.
"Bocah busuk! Apa kau Bosan hidup berani mencampuri urusanku?!"
"Dewi, maaf.... Aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi membunuh orang sembarangan, tentu saja tidak bisa dibenarkan...."
Mendengar jawaban itu, gadis yang dipanggil Dewi ini semula hendak marah. Namun dia menarik napas panjang, lalu tersenyum seraya mendekati pemuda di depannya.
"Ya, ya.... Betul juga katamu. Untung kau mengingatkanku. Aku patut berterima kasih. Siapa namamu, Bocah? Dan dari padepokan mana asalmu?" tanya Dewi ramah dengan wajah manis.
"Aku Jaka Laksa, dari Padepokan Ulat Sutera...."
"Oh, murid Dewa Subrata, he?"
"Benar, Dewi...!"
"Hm.... Kau memanggilku Dewi. Apakah kau tahu siapa aku?"
"Tentu saja. Siapa yang tidak kenal dengan Bidadari Tangan Api!" sahut pemuda yang ternyata bernama Jaka Laksa.
"Bagus! Kalau begitu, kau tahu juga kalau aku paling tidak suka urusanku dicampuri!" dengus Dewi yang berjuluk Bidadari Tangan Api, mendadak berubah geram. Bahkan tiba-tiba saja wanita itu melompat sambil menghunuskan pedang. Langsung diserangnya Jaka Laksa dengan ganas.
"Hups!"
Trang!
Jaka Laksa sempat menangkis sambil melompat ke samping. Lalu dia terus mencelat ke atas, ketika pedang Bidadari Tangan Api terus mengejar dengan sambaran kilat.
"Yeaaa...!"
"Dewi, tunggu! Jangan salah paham...!"
"Kau yang salah paham menilaiku, Bangsat Kecil! Kau kira dengan menyandang murid Ulat Sutera, bisa leluasa mengatur orang?! Huh! Biar Dewa Subrata melihat anak didiknya terkapar di sini!"
Jaka Laksa mengeluh dalam hati berkali-kali. Meski mampu menangkis serangan, bukan berarti mampu pula menahan serangan Bidadari Tangan Api berikutnya. Apalagi wanita ini memiliki kepandaian setingkat dengan gurunya. Untung saja dia murid terpandai di padepokannya. Dan lebih dari itu, Jaka Laksa lebih memiliki banyak pengalaman bertarung setelah menamatkan pelajarannya di Padepokan Ulat Sutera. Tapi menghadapi wanita galak ini, mungkinkah dia bisa mengungguli?
"Dewi, dengarlah. Aku sama sekali tidak ingin bertarung denganmu. Kulakukan tadi sekadar untuk mengingatkanmu, bahwa kau tidak pantas meladeninya. Hanya penjahat teri. Kelas kampung! Mana bisa disejajarkan denganmu. Kau tidak pantas mengurusi orang seperti mereka!" bujuk Jaka Laksa.
"Tutup mulutmu! Aku tak peduli apakah mereka penjahat teri atau maling kurap sekalipun. Siapa saja yang mengusikku dan membuatku tidak senang, boleh mampus! Termasuk kau...!" desis Bidadari Tangan Api.
"Celaka...!" Jaka Laksa merutuk kesal.
Kalau saja tahu begini akibatnya, tentu pemuda ini tidak akan ikut campur dan lebih baik menghindar. Tapi nasi telah menjadi bubur. Dan keadaan agaknya tidak bisa diperbaiki lagi. Mau tidak mau, Jaka Laksa terpaksa harus mempertahankan diri dari serangan-serangan.
Pada saat Bidadari Tangan Api dan Jaka Laksa tengah terlibat dalam pertarungan seru, Bakil menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Sayang, orang tidak menyadari siapa wanita itu. Padahal meski tengah bertarung begini. Bidadari Tangan Api tidak berlaku lengah. Sebilah pedang pendek lainnya yang masih terselip di pinggang langsung dicabutnya. Dan seketika tangannya mengebut ke arah Bakil, melepaskan pedang pendek. Dan....
Bles!
"Aaa...!"
Bakil memekik keras begitu pedang Bidadari Tangan Api meluncur, menancap di punggung kiri sampai menembus dada. Tubuhnya langsung tersungkur dan tewas beberapa saat kemudian dengan mata melotot lebar.
"Heh?!"
Ketiga kawan Bakil terkejut setengah mati melihat kejadian itu. Dua orang yang tadi ingin mengikuti jejak Bakil, seketika mengurungkan niatnya.
"Huh! Kalian kira bisa kabur seenaknya dariku?" dengus Bidadari Tangan Api, langsung mencelat ringan meninggalkan Jaka Laksa yang menjadi lawannya.
Bidadari Tangan Api menghampiri mayat Bakil. Segera dicabutnya pedang yang masih tertancap di punggung pemuda itu. Dan secepat itu pula, kembali diserangnya Jaka Laksa yang terbengong-bengong menyaksikan kehebatan gerak wanita itu.
"Sekarang giliranmu. Bocah Tengik!" sentak Bidadari Tangan Api.
Mendapat serangan mendadak, Jaka Laksa berusaha menangkis sebisa-bisanya.
Trang!
"Uhhh...!"
Pemuda itu jadi mengeluh tertahan ketika terjadi benturan senjata. Dan belum juga getaran pada tangannya hilang, Bidadari Tangan Api kembali menyerang. Cepat bagai kilat, Jaka Laksa melompat ke belakang. Tapi ke mana pun bergerak, wanita ini agaknya tak memberi kesempatan dan terus mengejar. Sehingga pemuda itu tak bisa berkutik. Dia sendiri bahkan tidak tahu, apakah bisa selamat dari incaran senjata Bidadari Tangan Api ini.
Memang, Bidadari Tangan Api bukanlah tokoh sembarangan. Kepandaiannya cukup hebat. Terutama ilmu meringankan tubuh dan permainan sepasang pedang pendeknya yang terbuat dari perak. Hingga, meski Jaka Laksa telah mengerahkan segenap kemampuan, tetap saja tidak mampu terus bertahan. Bahkan melewati empat jurus, pemuda itu mulai terdesak hebat.
Trang! Bet!
"Uhhh...!"
Ujung pedang di tangan kiri Bidadari Tangan Api bergerak menyambar ke leher. Dengan gerakan cepat Jaka Laksa berusaha menangkis. Namun wanita itu mendadak menarik serangannya. Bahkan dengan tubuh berputar Bidadari Tangan Api mencelat kesamping hendak memapas pergelangan tangan pemuda itu.
Jaka Laksa terkejut. Dia berusaha menghindar sebisa mungkin, namun pedang Bidadari Tangan Api telah memapak pedang hingga terlepas dari genggaman.
Trang!
Belum hilang rasa terkejut pemuda itu, Bidadari Tangan Api telah melanjutkan serangan. Jaka Laksa bergegas melompat ke belakang, namun gerakan wanita itu lebih cepat. Sehingga....
Bret!
"Aaakh...!"
Jaka Laksa menjerit keras begitu paha kirinya tersambar pedang Bidadari Tangan Api. Kakinya terpincang-pincang, ketika mendarat di tanah. Dan sebelum dia sempat menguasai diri, pedang si Bidadari Tangan Api yang satu lagi telah berkelebat lagi.
Crab!
"Aaa...!"
Murid Padepokan Ulat Sutera itu tersungkur bermandikan darah, begitu pedang Bidadari Tangan Api menembus perutnya. Setelah meregang nyawa sesaat, Jaka Laksa terdiam kaku. Mati.
"Oh...!"
Tiga pemuda kawan Bakil hanya berseru kaget. Namun mereka cepat menunduk saat wanita itu menoleh sinis.
Sementara para penduduk Desa Tegal Sari yang sejak tadi mengintip semua kejadian di tempat ini dari celah-celah dinding rumah, semakin ketakutan saja. Gadis itu tidak bisa dibilang Dewi Penolong. Wataknya kejam dan tidak berperikemanusiaan. Bukan tidak mungkin dia akan menggantikan kedudukan Bakil dan kawan-kawannya dalam mengacau di desa ini!
Bidadari Tangan Api membersihkan batang pedangnya yang masih berlumur darah, kemudian menyarungkannya kembali. Matanya memandang dingin, lalu memberi isyarat dengan tangannya.
"Sini kau!" sentak Bidadari Tangan Api.
"Eh, ya... tapi....," sahut salah satu pemuda yang ditunjuk wanita itu. Pemuda itu menggigil. Wajahnya pucat penuh ketakutan.
"Ke sini kataku!" sentak Bidadari Tangan Api dengan mata melotot garang.
"Eh, iya... iya!" Pemuda itu beringsut, menghampiri dengan terburu-buru. Kedua tangannya dirangkapkan. "Ampuni aku, Nisanak! Ampuni...! Kasihanilah selembar nyawaku! Apa pun yang kau perintahkan pasti akan kuturuti...!" sahut pemuda itu, meratap.
"Siapa namamu?!" tanya Bidadari Tangan Api dingin.
"Waskita...."
"Dengarkan baik-baik, Waskita! Akan kuampuni nyawamu. Dan sebagai gantinya, bunuh kedua kawanmu!" ujar Bidadari Tangan Api enteng.
"Apa?!" Pemuda bernama Waskita terkesiap. Matanya terbelalak lebar. Dipandangnya wanita itu, kemudian beralih pada kedua kawannya berkali-kali.
"Gunakan pedang ini!" lanjut wanita itu, tak peduli seraya menendang pedang Jaka Laksa yang berada di dekatnya.
Tang!
Tap!
Dengan gesit Waskita menangkap pedang itu. Namun tubuhnya tidak juga bergerak. Dipandanginya senjata itu agak lama, lalu memandang Bidadari Tangan Api. "Nisanak, aku...."
"Kau mau mati lebih dulu?" potong wanita itu cepat.
"Tentu saja tidak!"
"Kalau begitu, penggal kepala mereka! Atau, kau yang akan menggantikannya."
"Tapi Nisanak...."
"Kurang ajar!" Bidadari Tangan Api mendelik garang, lalu mencabut pedangnya. "Kalau begitu kau yang harus mati untuk menggantikan mereka!"
"Eh, ampun! Ampun, Nisanak! Baiklah, akan kuturuti keinginanmu...!" sahut Waskita cepat. Waskita menjura hormat dua kali, kemudian melangkah pelan mendekati kedua kawannya.
"Waskita! Apa yang kau lakukan?! Kau hendak membunuh kami?!" desis salah seorang kawan Waskita yang tadi kehilangan sebelah lengannya.
"Tidak! Kau tidak boleh lakukan itu!" timpal seorang lagi yang kehilangan dua daun telinganya.
"Maaf, Sobat. Aku memang tidak tega melakukannya. Tapi aku pun perlu hidup. Tidak ada jalan lain...," sahut Waskita hampa. Tanpa banyak bicara lagi. Waskita mengayunkan pedangnya ke leher kedua kawannya.
Wut!
"Terkutuk kau, Waskita...!" bentak pemuda yang kehilangan sebelah lengan, berusaha melompat menghindar. Demikian pula yang seorang lagi.
Mereka memaki-maki tidak karuan. Namun Waskita yang semula tidak tega membunuh semakin beringas.
"Yeaaa...!" Waskita membentak garang. Pedang di tangannya terus berkelebat semakin ganas mengancam kedua kawannya.
Pada dasarnya mereka memang tidak memiliki kepandaian hebat. Kalaupun ada, tingkatannya tidak seberapa. Dan rata-rata seimbang. Pada saat ini Waskita bersenjata. Sedang kedua kawannya tidak. Bila Waskita mendapat dukungan dari si Bidadari Tangan Api, sedangkan kedua kawannya bukan saja telah terluka, tapi juga telah kendor semangat sejak dihajar wanita itu. Sehingga tidak heran bila dalam waktu singkat Waskita berhasil mendesak. Bahkan, Pedang Waskita berkelebat Langsung dipapasnya kaki salah seorang kawannya yang terdesak.
Bret!
"Akh!" Orang itu mengeluh kesakitan. Kaki kirinya putus sebatas lutut, dan langsung tersungkur.
Waskita tidak menyia-nyiakan kesempatan. Pedangnya langsung bergerak cepat.
"Waskita, ampun...!"
Meski sempat berteriak memperingatkan dengan wajah memohon belas kasihan, tetap saja Waskita tidak mengurungkan niat Dan....
Bles!
"Aaa...!"
Orang itu terpekik begitu pedang Waskita menghujam jantungnya. Tubuhnya tegang sesaat, lalu melenguh pelan saat pedang yang menghujam jantungnya dicabut dengan paksa. Tubuhnya terkulai, dengan nyawa melayang.
Waskita ternyata benar-benar memenggal leher kawannya yang telah mati!

***

157. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Pendekar-Pendekar GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang