BAGIAN 2

230 13 0
                                    

"Waskita! Apa yang telah kau lakukan? Oh, kau sungguh biadab! Kau betul-betul telah menjadi budak wanita iblis itu!" desis kawan Waskita yang seorang lagi, tak percaya.
"Diam kau, Parta! Kau akan mendapat giliran sekarang juga!" sentak Waskita.
"Biadab! Kita memang jahat. Tapi kita tidak pernah membunuh kawan sendiri!"
"Banyak mulut! Heaaa...!"
Waskita langsung menerjang kawannya yang kehilangan dua daun telinganya dan bernama Parta. Pedangnya semakin lincah mengancam keselamatan Parta. Waskita memang seperti kesurupan. Dia terus mencecar dengan penuh nafsu membunuh.
Parta yang berusia dua puluh tujuh tahun itu melompat ke belakang, ketika Waskita terus mencecar. Gerakannya sudah tak gesit lagi, karena rasa sakit hebat pada kedua telinganya. Sementara Waskita sendiri semakin bernafsu.
Pada satu kesempatan, kaki kiri Waskita sempat menghajar punggung. Parta berbalik, dan bermaksud bergerak kesamping untuk menghindari tendangan berikutnya. Namun gerakan Waskita ternyata hanya tipuan belaka. Karena tahu-tahu ujung pedang Waskita lebih cepat menyambar leher Parta. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Bres!
"Ugkh...!"
Parta tidak sempat mengelak. Bahkan dia hanya bisa menjerit tertahan ketika pedang Waskita menebas lehernya. Kepalanya kontan menggelinding bersama tubuhnya yang ambruk dan tewas seketika!
Setelah berhasil membunuh kedua kawannya. Waskita berbalik menghadap Bidadari Tangan Api.
"Bagus. Kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Kemarilah.... Ada hadiah untukmu!" ujar wanita itu.
"Eh! Sebenarnya aku tidak mengharapkan hadiah apa-apa. Kau telah mengampuni jiwaku. Dan itu sudah cukup...," sahut Waskita gugup.
"Apakah kau akan menolaknya?" tanya Bidadari Tangan Api mengerling genit disertai senyum memikat.
"Aku... aku...." Waskita jadi salah tingkah dibuatnya. Jantungnya berdegup kencang dan cuping hidungnya kembang-kempis. Didekatinya gadis itu sambil mesem-mesem.
"Pedang ini amat mengganggu...," ujar Bidadari Tangan Api manja.
Wanita itu segera meraih pedang dalam genggaman Waskita. Kemudian dipeluknya pemuda itu erat-erat. Karuan saja. Waskita jadi kelabakan, tidak menyangka. Apalagi ketika wanita ini menciuminya. Dia hanya terpana. Dan sesaat pikirannya melayang entah ke mana. Rasanya seperti mimpi. Namun....
Bles!
"Hugkh...! Kau... kau...." Waskita terkejut. Tahu-tahu sebuah benda tajam menembus punggung kirinya, membuat rasa sakit hebat. Seketika dia berusaha melepaskan pelukan, segera diperiksanya kedua tangannya. Ternyata telah dipenuhi bercak darah. Bola matanya melotot garang. Kontan dipandangnya wanita itu dengan wajah tak percaya. Namun tidak lama. Sebab kemudian Waskita mengeluh panjang dan ambruk tak berdaya.
Tangan kanan Bidadari Tangan Api mengacungkan pedang yang masih berlumur darah. Dengan senjata ini, agaknya dia merenggut nyawa Waskita. "Huh! Kau kira bisa bernasib baik ketimbang kawan-kawanmu? Jangan mimpi!" dengus wanita ini, dengan menyeringai lebar.
Kemudian wanita itu mencampakkan begitu saja pedang tadi. Dan kakinya mulai melangkah dengan wajah angkuh. Bola matanya memandang ke sekeliling. Sementara penduduk yang sempat bertatapan mata secara tidak sengaja, buru-buru berpaling.
"Hei, penduduk desa ini! Keluarlah kalian! Sekarang, kalian lihat! Pengacau-pengacau itu telah menemukan ganjaran setimpal atas perbuatan mereka selama ini...! Ayo, keluar! Apakah kalian tidak ingin menyambutku?!"
Tak ada seorang pun yang menyahut. Semua penduduk bersembunyi didalam rumah dengan ketakutan. Mereka khawatir, bila keluar dan menampakkan diri maka gadis itu akan membunuh!
"Kurang ajar! Inikah rasa terima kasih kalian padaku?! Huh! Dasar kerbau-kerbau tolol! Mungkin setelah dipaksa baru kalian mau menunjukkan batang hidung di depanku!" dengus Bidadari Tangan Api.
Setelah berkata begitu. Bidadari Tangan Api menghantam salah satu rumah yang berada di dekatnya. "Yeaaa...!"
Bruak...!
Rumah gubuk itu kontan hancur berantakan. Maka seketika itu pula empat orang penghuninya yang terdiri dari sepasang suami istri berusia lanjut beserta dua orang anak laki-lakinya terkejut. Mereka bertiarap, lalu tegak berdiri ketakutan memandangi rumahnya yang tidak karuan. Kemudian mereka memandang Bidadari Tangan Api bergantian.
"Ke sini kalian!" bentak wanita itu galak.
"Eh, kami... kami...," sahut seorang laki-laki tua, kepala keluarga rumah ini. Tubuhnya gemetar. Suaranya tercekat di kerongkongan.
Itu saja sudah cukup membuat wanita itu semakin berang. Dia melompat dan bermaksud menghabisi mereka sekaligus. Namun sebelum niatnya terlaksana, mendadak....
"Nisanak! Kurasa cukup sudah tindakanmu! Kau telah melewati batas!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
"Hm...!"
Wanita itu menoleh ke arah asal suara di belakangnya. Matanya disipitkan, melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di dada. Pemuda dengan sebilah pedang bergagang kepala burung menyembul dari balik punggungnya itu melangkah dan mendekati Bidadari Tangan Api. Lalu dia berhenti saat jarak mereka terpaut lima langkah.
"Siapa kau, Bocah?! Apa kau bosan hidup, sehingga berani mencampuri urusanku?!" desis Bidadari Tangan Api lantang dan garang.
"Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, aku bukan anak kecil yang mesti dipanggil bocah. Dan aku hanya ingin kau menghentikan tindakanmu yang kelewat batas...," sahut pemuda berbaju rompi putih ini kalem.
"Kurang ajar! Hei, buka matamu lebar-lebar. Dan lihat kesekelilingmu!" tuding Bidadari Tangan Api geram, sambil menunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan.
Tapi pemuda itu hanya tersenyum dingin menanggapi ocehan wanita ini. Namun begitu, sama sekali matanya tidak ingin melirik. Agaknya dia sekadar menunjukkan kalau gertakan wanita ini tidak membuatnya takut.
"Aku tak peduli pada mereka. Dan aku hanya minta kau tidak keterlaluan. Cukup sudah mereka yang menjadi korbanmu. Jangan ditambah lagi. Apalagi terhadap penduduk desa tak berdosa," sahut pemuda itu tenang.
"Dasar lancang! Hei! Agaknya kau belum tahu siapa aku?! Pergilah sebelum kau menjadi korbanku berikutnya!" bentak Bidadari Tangan Api, lantang.
"Aku juga tak peduli siapa dirimu. Yang jelas, tindakanmu membuatku harus mencegahmu!" sahut pemuda itu enteng.
"Kurang ajar! Rupanya kau betul-betul ingin mampus! Baik kalau itu yang kau inginkan!" dengus wanita itu. Lalu....
Sring!
Bidadari Tangan Api langsung mencabut sepasang pedang pendeknya. Seketika diserangnya pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Wuk!
Kelebatan sepasang pedang Bidadari Tangan Api terlihat cepat. Dan bagi mata orang awam rasanya tidak akan mampu melihatnya. Namun begitu, Pendekar Rajawali Sakti tenang-tenang saja. Begitu kedua senjata itu meluncur dekat, tubuhnya meliuk indah seperti tengah menari. Sudah tentu hal itu membuat Bidadari Tangan Api mengamuk sejadi-jadinya.
"Hm, pantas! Agaknya kau sedikit punya kemampuan yang hendak dipamerkan di depanku. Huh! Kau akan merasakan pelajaran pahit. Bocah!"
"Kepandaianku memang belum seberapa. Dan aku memang butuh pelajaran baru darimu...," balas Rangga, tetap tenang.
"Huh, Bangsat! Kau boleh mampus sekarang juga!" desis Bidadari Tangan Api semakin geram.
Kembali wanita itu menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan menambah kecepatan dan tenaga dalamnya. Gerakannya mulai berbeda dan penuh gerak tipu. Agaknya dia mulai mengeluarkan kepandaiannya yang paling tidak untuk menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti secepatnya. Tapi Rangga sama sekali tidak kelihatan terdesak. Bahkan sejauh ini bukan saja mampu mengimbangi, tapi juga mulai balas menyerang.
"Heaaa...!"
Wut! Set!
Kedua pedang Bidadari Tangan Api mencoba mengurung. Tapi dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil berputar bagai kitiran. Bahkan cepat mengayunkan satu tendangan keras ke wajah.
Wuk!
"Uhhh...!" Bidadari Tangan Api terkesiap. Gerakan pemuda itu lebih cepat daripada dugaannya semula. Kalau saja tidak mencelat ke belakang, bukan mustahil wajahnya remuk terhantam tendangan.
"Yaaat...!" Pendekar Rajawali Sakti kembali mengejar. Meski si Bidadari Tangan Api coba bertahan dengan mengibaskan sepasang pedangnya, tetap saja tidak mampu mengimbangi gerakan Rangga.
Mendadak serangkum angin kencang menerpa pipi kiri Bidadari Tangan Api. Wanita itu menoleh sambil mengibaskan pedang. Dan tahu-tahu, serangkum angin yang berasal dari kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti lurus terarah ke dada. Buru-buru Bidadari Tangan Api menjatuhkan diri, bermaksud bergulingan untuk menghindarinya.
Di luar dugaan. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sambil melepaskan satu tendangan setengah melingkar ke pinggang. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Begkh!
"Aouw...!"
Sekali lagi Bidadari Tangan Api harus mengakui keunggulan pemuda itu dalam bergerak. Pinggangnya kena hajar. Sambil mengeluh kesakitan, wanita itu terus bergulingan untuk menghindari serangan berikutnya.
Namun ternyata Pendekar Rajawali Sakti masih tetap tegak di tempatnya. Dan sampai Bidadari Tangan Api kembali bangkit berdiri. Rangga tetap belum melanjutkan serangan. Seolah pemuda itu ingin menunjukkan kalau mampu bersikap ksatria dan tidak menyerang wanita itu selagi lawan belum bersiap.
"Huh! Jangan dikira sudah menang. Bocah! Kau akan merasakan hajaranku, Bangsat!" dengus Bidadari Tangan Api dengan wajah berkerut geram.
"Nisanak! Kau masih muda. Bahkan kepandaianmu cukup hebat. Alangkah baiknya jika kepandaianmu digunakan untuk membela kebenaran ketimbang berbuat ugal-ugalan...," ujar pemuda itu menasihati.
"Jangan banyak omong di depanku. Bangsat!" desis Bidadari Tangan Api.
Wajah wanita berpakaian merah muda ini berkerut setelah menyelipkan pedangnya kembali di pinggang. Kedua tangannya menyilang di dada dengan jari membentuk cakar. Kedua kakinya tegak membentuk kuda-kuda kokoh. Sesaat ditariknya napas panjang. Kemudian kedua tangannya yang membentuk cakar berubah sedikit kemerahan laksana bara.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum. Sama sekali tidak terlihat kekhawatiran pada wajahnya.
"Hm, aji Tangan Api..." gumam Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagus! Kini kau telah tahu siapa aku. Huh! Tak ada waktu lagi untuk menyesali diri. Kau akan mampus seperti yang lain. Keparat!" dengus Bidadari Tangan Api.
"Heaaat...!"
Diiringi bentakan nyaring tubuh Bidadari Tangan Api melesat, menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan jungkir balik. Begitu menjejak tanah, kedua tangannya langsung dihentakkan.
"Heaaat...!"
Saat itu juga, selarik cahaya merah kekuningan laksana lidah api, mencelat kearah Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga tak kalah sigap. Dengan gesit dia melenting tinggi. Akibatnya, sinar merah kekuningan itu terus meluncur. Dan....
Blar...!
Sebuah rumah kontan hancur terbakar oleh pukulan jarak jauh Bidadari Tangan Api. Penghuninya langsung berlarian ke sana kemari sambil berteriak-teriak kebingungan.
"Kurang ajar! Wanita ini agaknya sudah keterlaluan...!" dengus Rangga dingin, begitu menjejak tanah kembali.
Wajah Pendekar Rajawali Sakti berkerut, menandakan hatinya yang geram bukan main. Niat di hatinya hendak mencegah tindakan sewenang-wenang wanita ini kepada penduduk desa. Dan secara tidak sengaja, justru perbuatannya telah membuat wanita itu kalap. Sehingga yang dirugikan akhirnya penduduk desa juga.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti kini menekuk kedua kakinya dalam kedudukan sedikit melebar. Lalu kedua tangannya terkepal di pinggang. Dari gerakannya bisa diketahui kalau Rangga tengah mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Apalagi ketika melihat kedua tangannya yang sudah berubah menjadi merah bagai bara, ketika mengerahkan tenaga dalamnya.
Pada saat yang bersamaan. Bidadari Tangan Api siap menggelar aji 'Tangan Api' yang telah ditunjukkannya tadi.
"Heaaat..!"
Seketika nyala api itu menjulur cepat kearah Rangga, ketika Bidadari Tangan Api menghentakkan tangan kanannya.
Dan Pendekar Rajawali Sakti juga menghantamkan telapak tangan kanannya ke depan.
"Hih!"
Saat itu juga, melesat selarik cahaya merah ke arah juluran api milik Bidadari Tangan Api.
Wup!
Cahaya merah itu langsung menggulung lidah api yang dilepaskan Bidadari Tangan Api.
Plas!
Dalam sekejap mata, lidah api itu lenyap. Bahkan cahaya merah dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' terus menghantam dan tak mampu ditahan.
"Aaakh...!" Wanita itu memekik kesakitan. Tubuhnya kontan terlempar beberapa langkah ke belakang. Dan dari sudut bibirnya menetes darah segar ketika dia berusaha bangkit dengan susah-payah.
"Aku belum menghendaki kau celaka lebih parah. Sebab, siapa tahu kau masih bisa bertobat. Pergilah. Dan jangan sampai aku melihatmu melakukan perbuatan tidak terpuji...," ujar pemuda itu tenang.
"Hm.... Aku pernah kenal pukulan itu. Tapi lupa di mana. Kau hebat bisa menjatuhkanku. Dan aku tidak perlu malu bila mengetahui kalau orang yang mengalahkanku adalah pendekar besar...," kata Bidadari Tangan Api lemah suaranya.
"Nisanak, kau salah. Aku bukan pendekar besar, aku hanya seorang pengelana biasa...."
"Kau tidak bisa berdusta padaku, Kisanak! Meski bicaramu merendah, tapi aku bisa merasakannya. Katakanlah... Jangan biarkan aku penasaran bila tidak mengetahui siapa yang telah menjatuhkanku," desah Bidadari Tangan Api.
"Apa gunanya?"
"Bidadari Tangan Api tidak boleh dikalahkan begitu saja tanpa membalas! Aku harus tahu, kepada siapa dendamku kelak harus terbalas!" sahut wanita itu berterus-terang.
Rangga menggeleng lemah. Dia menduga wanita ini akan bertobat setelah kena batunya. Tapi agaknya sia-sia saja. Kenyataannya wanita satu ini begitu keras kepala. Tidak akan menerima kekalahannya begitu saja.
"Baiklah kalau kau memaksa...," sahut pemuda itu, seraya menghela napas panjang.
Bidadari Tangan Api memandangnya, menunggu pemuda itu melanjutkan kata-katanya.
"Orang menyebutku.... Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti?! Ah! Dugaanku tidak jauh beda rupanya. Hm, pantas. Pantas sekali bila aku kalah olehmu!" seru wanita itu, kagum.
Bidadari Tangan Api memandangi pemuda itu sejurus lamanya, sambil tersenyum-senyum kecil. Sulit diduga, apakah dia kagum yang sebenarnya, atau sekadar mengingat kalau telah mengetahui kepada siapa kelak harus membalaskan dendamnya.
"Nisanak! Kejadian ini sebenarnya tidak harus terjadi. Kau terlalu keras dan memaksaku. Lebih dari itu, aku tidak bisa membenarkan tindakanmu membunuh orang seenaknya...."
"Kau katakan seenaknya? Huh! Keempat orang itu adalah pengacau. Tanyakan pada semua penduduk desa ini. Maka, kau akan tahu sendiri. Orang-orang seperti itu sudah sepatutnya mati. Hukuman tidak akan membuat mereka jera!"
"Dan pemuda satu itu?" tunjuk Rangga. Wanita itu tersenyum dingin.
"Dia murid Padepokan Ulat Sutera. Salahnya sendiri. Dia terlalu ikut campur urusan orang. Bagiku, siapa saja yang mencampuri urusanku, maka harus mati. Kau adalah pengecualian. Sebab, saat ini aku tidak mampu menepati janjiku sendiri. Tapi bukan berarti kau akan hidup tenang. Ke mana pun kau pergi, bila saatnya tiba, maka aku akan membayar hutang hari ini. Berikut bunganya, Pendekar Rajawali Sakti!" tandas Bidadari Tangan Api mantap.
"Hm.... Hatimu diliputi dendam, Nisanak. Kau hanya menyiksa diri. Aku sama sekali tidak takut ancamanmu. Aku hanya menyayangkan, bahwa kau akan menghabiskan umurmu hanya karena soal dendam...," sahut Rangga kalem.
"Aku tak peduli segala petuahmu! Tak seorang pun boleh mengatur hidupku! Aku menentukan sendiri, apa yang patut kukerjakan dan mana yang tidak. Kalau kau takut, boleh membunuhku sekarang juga!" ujar wanita itu lantang.
Rangga kembali menggeleng. Hela napasnya terasa panjang dan berat.
"Nisanak, pergilah. Kau boleh bawa dendammu. Aku akan menunggu, sampai kau bisa membalaskan dendammu. Tapi ingatlah. Sesungguhnya aku lebih suka kau menghabiskan sisa usiamu untuk berbuat kebaikan dengan kepandaianmu. Itu lebih berguna dan amat terpuji...," ujar Rangga tetap bersikap tenang.
"Sudah kukatakan, aku yang menentukan jalan hidupku sendiri. Bila itu keputusanmu, maka tunggulah saatnya. Aku akan datang menagih nyawamu!" desis Bidadari Tangan Api. Setelah berkata demikian, wanita itu berbalik. Dan seketika itu pula tubuhnya melesat kencang meninggalkan desa ini.
Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa menggeleng lemah memandangnya dengan wajah kasihan. Tak ada yang bisa diucapkannya, selain menyesalkan sikap wanita itu yang keras kepala.

***

157. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Pendekar-Pendekar GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang