BAGIAN 6

180 11 0
                                    

Dan sebelum orang-orang itu menyadari apa yang terjadi, Jingga Kalamanda telah menyambar menggunakan cakar kuku tangan dan kaki.
Bret!
"Aaa...!" Sebentar saja terdengar pekik kematian. Beberapa orang ambruk dengan luka mengerikan. Leher robek, isi perut terburai, atau tulang rusuk patah.
"Kurang ajar!" maki Sela Katiran geram. Bersama murid-murid lain yang seangkatan. Sela Katiran menyerang orang tua aneh itu.
"Yeaaat...!"
"Hehehe...! Kau ingin ikut kemeriahan juga? Kenapa tidak dari tadi? Ayo, sini mendekat padaku! Mendekat, Bocah...!" ejek orang tua itu sembari terkekeh.
Jingga Kalamanda melompat gesit dengan tubuh ditekuk. Dia melayang bagai seekor tupai. Tapi saat menerjang, amat ganas laksana seekor serigala kelaparan. Orang tua itu agaknya memiliki tubuh alot, tak mempan senjata tajam. Terbukti beberapa kali senjata para murid Padepokan Gunung Kembang menghantam ke bagian tubuhnya, namun tidak membuatnya bergeming. Bahkan beberapa kali kepalan murid-murid padepokan ini yang berisi tenaga dalam kuat menghantam punggung atau tengkuknya, tidak dirasakannya sama sekali. Sebaliknya, bila serangannya datang, tidak seorang pun yang mampu menahan.
Bret! Prak!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Sekali cakarnya terayun, dua atau tiga nyawa melayang. Begitu pula bila tangannya terkepal dan menghantam. Maka beberapa orang tewas dengan dada remuk atau kepala pecah.
"Hehehe...! Ayo, maju semua. Ayo, ramaikan suasana ini! Kenapa diam?! Tangkap aku! Tangkaplah! Aku telah membunuh kawan-kawan kalian. Tidakkah itu cukup menjadi alasan untuk meringkusku?!" teriak Jingga Kalamanda sembari tertawa nyaring.
Kelihatan sekali kalau Jingga Kalamanda memandang enteng pada lawan-lawannya. Padahal jumlah mereka cukup banyak. Dan orang-orang itu pun bukan tokoh sembarangan. Namun melihat korban yang jatuh, dan sejauh ini belum juga serangan-serangan mereka membawa hasil, membuat yang lain tertegun menghentikan serangan. Demikian pula Sela Katiran sendiri. Dia tidak tahu tindakan apa lagi yang harus dilakukan.
"Mundurlah kalian semua...!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara. Pelan namun lantang. Para murid berpaling dan segera memberi hormat kepada orang tua berbaju serba putih dan bersorban putih yang berdiri tegak di beranda depan.
"Guru...!"
"Sudahlah, Sela. Aku tahu kesulitan kalian. Lawanmu bukanlah orang sembarangan. Meski kalian maju bersama belum tentu mampu menandinginya...," sahut orang tua yang ternyata Ketua Padepokan Gunung Kembang. Tangannya memberi isyarat, langsung menghentikan kata-kata muridnya.
Ketua Padepokan Gunung Kembang yang tak lain dari Ki Raja Mulih ini melangkah pelan menuruni anak tangga. Lalu didekatinya orang tua yang membikin kekacauan di tempat ini. Sejenak mereka saling bertatapan ketika orang tua bersorban putih itu berhenti. Jarak mereka kali ini hanya terpaut beberapa langkah saja.
"Akhirnya kau muncul juga, Jingga Kalamanda...," desah Ki Raja Mulih.
"Hehehe...! Tua bangka bau tanah! Kau kira aku apa, he?! Justru aku yang seharusnya bertanya begitu padamu. Sejak tadi, kau tahu kehadiranku. Tapi malah bersembunyi di balik ranjang. Hehehe...! Semakin tua, ternyata nyalimu semakin kecil saja. Atau barangkali segala kekayaan dan ketenaran membuatmu takut mati?!" ejek Jingga Kalamanda.
Orang tua bersorban putih itu menarik napas dalam-dalam. Dia berusaha menepis amarah yang mulai memercik hatinya, mendengar penghinaan laki-laki tua aneh berkulit hitam ini.
"Jingga Kalamanda! Kita sudah sama-sama tua. Dan sebentar lagi, akan masuk liang kubur. Apa gunanya mempersoalkan rasa takut segala? Umur di tangan Yang Maha Kuasa. Dan tiada seorang pun yang bisa menentukannya. Selagi nyawa masih di kandung baDan alangkah bijaksana bila kita menghabiskannya untuk hal-hal.yang berguna...," ucap orang tua itu bijak, berusaha melunakkan hati Jingga Kalamanda.
"Hehehe...! Mungkin benar katamu. Tapi sebelumnya, segala hutang harus dilunasi. Nyawa muridku yang kau bunuh, harus ditebus dengan nyawa busukmu. Dan setelah itu, barulah kita akan sama-sama menghabiskan sisa umur ini...," sahut Jingga Kalamanda terkekeh mengejek.
"Muridmu tewas, karena kebandelannya sendiri. Aku telah memperingatkannya. Tapi dia keras kepala. Membunuh kepala desa yang tidak bersalah, itu adalah perbuatan kaji. Tidakkah kau bisa mengerti?" balas Ki Raja Mulih.
"Siapa yang mempersoalkan keji atau tidak? Yang kuinginkan saat ini adalah tanggung jawabmu. Hutang nyawa bayar nyawa. Dan sekarang, akan kuambil darimu!" desis Jingga Kalamanda.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja orang tua aneh itu melolong nyaring laksana seekor serigala di tengah kegelapan malam. Bersamaan dengan lolongannya, tubuhnya mencelat menerjang Ki Raja Mulih dengan raungan dahsyat.
"Grauuungrr...!"
Ketua Padepokan Gunung Kembang telah bersiap sejak tadi. Sehingga ketika Jingga Kalamanda menyerang, dengan gesit ditangkisnya.
Plak! Plak!
"Hup!"
Dua serangan Jingga Kalamanda berhasil ditangkis. Bahkan Ki Raja Mulih masih sempat mengirim tendangan ke perut. Namun tubuh kurus dan hitam itu telah melejit ke atas, sehingga tendangannya hanya menerjang angin.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Ki Raja Mulih berbalik. Kembali dilepaskannya satu tendangan lewat kakinya yang lain, sambil memiringkan tubuh. Sehingga, ujung kakinya ke atas lebih tinggi.
Jingga Kalamanda menjatuhkan diri menghindarinya. Dan tahu-tahu, dia telah berada di bawah mengincar selangkangan lawan lewat cakar mautnya.
Karuan saja, hal itu membuat Ki Raja Mulih terkesiap. Buru-buru tubuhnya mencelat ke belakang. Namun Jingga Kalamanda mengimbangi dengan cakar kakinya seraya berputar cepat.
Bret!
"Uhhh...!"
Celana di bagian paha kiri Ki Raja Mulih robek, menggurat kulit dagingnya sedikit. Meski tidak berbahaya, namun khawatir menyelinap d idadanya jika membayangkan racun yang ada di kuku kaki orang aneh ini. Lebih dari itu, juga cukup membuktikan kalau Jingga Kalamanda mampu bergerak lebih cepat dibandingkan dirinya.
"Tidak usah cemas. Cakar kuku-kuku milikku tidak kuberi racun. Aku suka kedua tangan dan kakiku berkubang darah lawan-lawanku. Hehehe...! Berhati-hatilah kau. Salah sedikit, nyawamu akan melayang...," ejek Jingga Kalamanda.
Orang tua aneh itu tetap tegak di tempatnya, tidak melanjutkan serangan. Itu dilakukan untuk memberi kesempatan bagi Ketua Padepokan Gunung Kembang ini bersiap kembali. Dengan begitu, dia ingin mempermalukan Ki Raja Mulih didepan murid-muridnya sendiri.
"Cabut pedangmu kalau kau tidak ingin celaka!" bentak Jingga Kalamanda.
"Huh! Kurasa masih belum perlu! Aku masih mampu menghadapimu!" dengus Ki Raja Mulih.
Jingga Kalamanda terkekeh mengejek.
"Dengan menggunakan jurus 'Kuda Melompati Sungai' kau berharap bisa menjatuhkanku? Ha-ha-ha...! Kau boleh bermimpi. Tua Bangka Kunyuk!" ejek Jingga Kalamanda, sangat memandang rendah.
"Tutup mulutmu! Kau akan rasakan setelah menerima akibatnya!" desis Ki Raja Mulih.
Kali ini terlihat, Ki Raja Mulih mulai terpancing amarahnya. Setelah tadi kecolongan, kemudian mendengar ejekan-ejekan Jingga Kalamanda, pelipisnya menggembung dan gerahamnya berkerotokan. Didahului bentakan nyaring. Ketua Padepokan Gunung Kembang ini menerjang lebih dulu.
"Heaaa...!"
Serangan Ki Raja Mulih cepat dan berisi tenaga dalam kuat Jurus-jurus yang disebut 'Kuda Melompati Sungai' termasuk jurus hebat dan sangat diandalkan. Gerakannya terlihat kaku. Namun seketika bisa luwes seperti tengah menari. Sehingga untuk beberapa saat, terlihat Jingga Kalamanda sedikit kerepotan. Saat menangkis sodokan, maka sebelah kaki Ki Raja Mulih menyambar tengkuknya sambil melompat. Dan ketika membungkuk untuk menghindarinya, Ki Raja Mulih telah berada diselangkangan dan melakukan tendangan keras ke arah perut.
"Hiyaaa...!" Jingga Kalamanda mencelat ke atas, sehingga mencapai sekitar dua tombak lebih. Hal itu menimbulkan kekaguman murid-murid padepokan ini. Ki Raja Mulih berusaha mengejar. Namun sebelum sampai menyentuh, Jingga Kalamanda mengibaskan tangannya.
Plak!
Rrap!
"Heh...?!" Ki Raja Mulih terkesiap. Begitu menangkis, cakar Jingga Kalamanda langsung mencengkeram pergelangan tangannya dan membetotnya dengan keras. Meski berusaha menahan, tidak urung keadaan Ki Raja Mulih menjadi goyah. Pada saat itu, sebelah kaki Jingga Kalamanda menyambar dada.
Bret!
"Uhhh...!"
Ki Raja Mulih mengeluh tertahan. Dadanya robek terkena cakar kaki Jingga Kalamanda. Namun begitu, dia masih sempat mencabut pedang dan langsung menyambar ke arah leher.
Sring!
"Hiiih!"
Jingga Kalamanda terpaksa melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya kemudian melejit ke bawah, menghindari sambaran senjata Ki Raja Mulih. Sementara Ketua Padepokan Gunung Kembang itu tidak mau ketinggalan dan terus mencecar. Kali ini dilepaskannya pukulan maut ke arah si tua aneh berkulit hitam.
"Heaaat...!" Seketika selarik cahaya putih yang menyilaukan pandangan menyambar bagai kilat.
"Uts!"
Jlegar!
Jingga Kalamanda bergulingan untuk menghindarinya. Dan bekas tempatnya berpijak semula tampak hancur menimbulkan lubang yang dalam akibat hantaman pukulan Ki Raja Mulih.
"Hehehe...! Sungguh hebat pukulan Bandul Jagad mu itu, Kunyuk. Tapi jangan dikira bisa menakut-nakuti aku. Pukulanmu tak seujung kuku!" ejek Jingga Kalamanda sambil terkekeh kecil.
"Tertawalah sepuas hatimu. Sebentar lagi, kau tidak akan sempat melakukannya lagi!"
Mendengar itu, Jingga Kalamanda malah ketawa makin keras. Sehingga, membuat kaget orang-orang yang berada di sekitarnya.
"Hihihi...! Hahaha...!"
"Ohhh...!" Para murid Padepokan Gunung Kembang mendekap telinga dan tubuhnya gemetar. Wajah-wajah mereka berkerut menahan sakit. Suara tawa itu memang berisi tenaga dalam tinggi. Bagi mereka yang memiliki tenaga dalam rendah, akan langsung kelojotan. Dari lubang telinga, hidung, mata serta pori-pori, meleleh cairan darah. Tidak berapa lama kemudian, mereka tewas dengan cara mengerikan.
"Iblis keparat! Hentikan perbuatan biadabmu!" desis Ki Raja Mulih geram, langsung menerjang dengan mengerahkan seluruh kemampuan.
"Mundur kau...!" bentak Jingga Kalamanda seraya menyorong telapak tangan kanan ke depan.
"Hih...!"
Angin topan bergulung-gulung keluar dari telapak tangan Jingga Kalamanda dan langsung melesat kencang menghantam Ki Raja Mulih. Orang tua itu terkesiap, tak mampu menghindar.
Des!
"Aaakh...!"
Ketua Padepokan Gunung Kembang terpental ke belakang disertai jerit kesakitan. Dari sudut bibirnya meleleh darah segar. Belum lagi sempat bangkit, Jingga Kalamanda kembali menerjang dengan kecepatan kilat.
"Heaaat..!"
Ki Raja Mulih menyabetkan pedangnya. Namun Jingga Kalamanda telah melejit keatas dengan tubuh bergulung. Sebelah kakinya menghantam ke muka, membuat laki-laki aneh itu terpaksa bergulingan untuk menghindarinya.
"Graungrrr...!" Jingga Kalamanda meraung keras dan kembali menerjang. Sepasang matanya berkilau tajam, dan sesekali menyeringai lebar memperlihatkan deretan giginya yang runcing laksana taring serigala. Saat itu pula, tangannya bergerak mengibas.
Splak!
Satu hantamannya berhasil ditangkis Ki Raja Mulih. Namun mendadak cengkeraman tangan Jingga Kalamanda yang satu lagi meliuk kebawah. Dan bersamaan dengan tubuhnya yang berpindah ke samping, cakar mautnya merobek perut tanpa bisa dihindari Ki Raja Mulih.
Bret!
"Uhhh...!"
Ki Raja Mulih mengeluh tertahan. Sebelah tangannya mendekap perut, ketika terhuyung-huyung ke belakang. Darah tampak menetes deras dari luka di perut. Wajahnya berkerut menahan sakit. Saat itu pula dengan mengerahkan seluruh tenaga, dia melepaskan pukulan 'Bandul Jagad' kearah Jingga Kalamanda yang telah berkelebat menerjangnya.
"Hih...!"
Jingga Kalamanda agaknya tidak bodoh. Segera disiapkannya pukulan andalan untuk mengimbangi serangan Ki Raja Mulih. Maka ketika kedua pukulan mereka beradu.
Jger!
Kedua tokoh sakti itu sama-sama mengeluh saat pukulan mereka beradu dan menimbulkan suara keras. Hanya saja, Jingga Kalamanda masih mampu tegak berdiri dengan mantap sambil tertawa mengejek melihat Ki Raja Mulih terjungkal dan muntah darah.
"Hehehe...! Kematianmu hanya soal waktu, Tua Bangka Kunyuk! Luka dalammu cukup parah. Dan tak seorang pun yang mampu bertahan dari pukulan Topan Siluman ku!"
"Keparat!" desis Sela Katiran yang saat itu sudah memapah gurunya. Murid utama ini mendengus geram pada Jingga Kalamanda. Setelah meletakkan Ki Raja Mulih di tempat yang aman, bersama yang lain dia bersiap hendak mengadakan pembalasan. Namun....
"Tahan, Sela...," cegah Ki Raja Mulih, sambil mengangkat tangan kanannya.
"Tapi Guru! Dia telah mencelakakanmu! Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja!" sentak Sela Katiran dengan tubuh gemetar menahan amarah.
Ki Raja Mulih yang telah duduk bersila dikelilingi muridnya, hanya tersenyum kecut. Mukanya pucat. Beberapa kali dia terbatuk-batuk dengan darah kental menyembur.
"Tak ada gunanya kalian melawan. Orang itu memiliki kepandaian hebat. Dan meski ditambah jumlah dua kali lipat, kalian tidak akan mampu. Dia hanya menginginkan aku. Maka setelah keinginannya terpenuhi, dia tidak akan mengganggu kalian...," lanjut Ketua Padepokan Gunung Kembang itu terputus-putus.
"Huh!" Sela Katiran hanya mendengus geram seraya mengepalkan tangan.
Masih sempat murid utama itu mengepalkan tangan sambil memandang penuh kebencian terhadap Jingga Kalamanda yang masih terkekeh mengejek. Orang tua aneh itu sama sekali tidak peduli. Dan kehadirannya di tempat ini seperti hendak mencari gara-gara.
"Hehehe...! Kenapa diam? Ayo, serang aku! Tangkap aku! Guru kalian sebentar lagi mampus. Dan itu karena ulahku. Tidakkah kalian berniat membalas dendam?!" teriak Jingga Kalamanda memancing keributan baru.
Beberapa murid Padepokan Gunung Kembang memperlihatkan muka marah. Dan kalau saja guru mereka tidak memperingatkan, rasanya mereka tidak akan peduli keselamatan sendiri.
"Jangan pedulikan dia. Dan jangan terpancing ejekannya. Dia sengaja mencari kesempatan untuk membantai kalian...," ingat Ki Raja Mulih.
"Guru, jumlah kita banyak. Tidak mungkin dia bisa mengalahkan kita...!"
"Tahukah kau, siapa dia sebenarnya? Orang itu bergelar Serigala Muka Hitam. Sesuai julukannya, dia memiliki keahlian memanggil kawanan serigala yang bisa digunakan untuk membunuh lawan-lawannya. Sanggupkah kalian melawannya.... Hugkh...!"
Suara Ki Raja Mulih terhenti ketika memuntahkan darah kental. Tubuhnya mengejang. Sepasang bola matanya membelalak lebar. Bersamaan dengan itu, semua muridnya terkejut. Sesaat mereka menjerit keras ketika orang tua itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir.
"Hehehe...! Hutang nyawa bayar nyawa. Dan nyawa busuk itu telah membayarnya! Hehehe...!" teriak Jingga Kalamanda langsung mencelat dari tempat itu meninggalkan suara tawanya yang nyaring.

***

157. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Pendekar-Pendekar GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang