Chapter 6

357 53 29
                                    

Sasuke sedang bersenandung merdu di taman belakang. Kicauan burung-burung seakan-akan juga ikut bersenandung bersamanya. Cuaca hari ini juga sangat mendukung untuk bersantai di bawah pohon. Cahaya matahari menembus di sela-sela daun membawa rasa hangat pada kulitnya. Sungguh menyenangkan. Meski hanya sendirian tetapi Sasuke tidak merasa kesepian sama sekali.

Hanya ada rasa damai di hatinya.

Belakangan ini tidak ada masalah yang berarti. Sasuke bersyukur untuk itu. Meski masalah akan datang pun, tapi Sasuke yakin dia bisa melaluinya dengan mudah. Ada Ibunya, Kakaknya, dan tentu saja Sakura.

Mengenai masalah Ayahnya, memang tidak mudah untuk membuat Ayahnya tidak membenci dirinya. Tapi Sasuke akan selalu berusaha mendekati Ayahnya secara perlahan. Seperti saran Sakura.

Saat ini Ayahnya hanya menganggapnya tidak ada saat dirinya berada di ruangan yang sama. Berbeda dengan tempo lalu, Ayahnya sempat berdecih, memandangnya sinis, bahkan mengumpat pelan. Meski terasa menyakitkan, Sasuke akan terus bertahan. Seperti saat ini, diam-diam Sasuke sedang berencana untuk membuat Ayahnya tersenyum meski itu senyuman yang sangat tipis. Sasuke terus saja berpikir, hal apa yang dapat membuat Ayahnya tersenyum?

Lelucon? Tidak! Selera humor Ayahnya sangat buruk.

Rangkaian bunga? Lupakan! Ayahnya tidak menyukai hal seperti itu.

Kerajinan tangan? Ide buruk, Sasuke tidak berbakat dalam hal itu.

Sasuke mendesah lelah. Meski sudah berpikir keras tetapi tidak ada satu pun yang sesuai. Kemungkinan Ayahnya untuk tersenyum pada dirinya pun seperti mustahil. Sasuke tidak bermaksud hiperbola, tapi memang begitu kenyataannya. Lagipula bakat yang dimiliki dirinya itu apa?

Tunggu!

Sasuke mematung seketika.

Bakat? Tidak ada bakat yang dimilikinya. Seakan-akan semua hal yang diturunkan secara genetik hanya dapat dimiliki oleh Ayahnya, Ibunya, dan Kakaknya saja. Kecuali satu hal. Sasuke tersenyum. Dia sudah menemukan jawabannya. Semoga saja rencananya berhasil. Sasuke hanya ingin melihat senyuman Ayahnya untuknya.

_o0o_

Itachi memandang heran pada apa yang selalu dilakukan Adiknya akhir-akhir ini. Memang dirinya tahu bahwa Adiknya itu gemar menggambar. Tapi tidakkah itu terasa berlebihan?

"Sasuke."

Sasuke berhenti sejenak kemudian memandang wajah Kakaknya polos.

"Hm? Ada apa, Oni-chan?"

"Jawab pertanyaan Kakak dengan benar kali ini! Kenapa kau menggambar di kertas yang ukurannya sangat besar?" Tanya Itachi untuk kesekian kalinya.

Sasuke lagi-lagi hanya tersenyum dan kembali menggambar. Tidak menjawab jika pertanyaan itu yang Itachi ajukan. Tingkahnya itu membuat Itachi makin terheran-heran dibuatnya. Dua minggu yang lalu Adiknya meminta untuk dibelikan kertas berwarna putih dengan ukuran yang Itachi sendiri susah menjelaskannya. Tapi itu sangat besar dan dirinya harus memesan secara khusus. Sasuke juga meminta dibelikan pensil dengan berbagai macam ukuran. Tentu saja Itachi tidak sembarangan membelikannya.

Itachi juga tidak keberatan tentu saja. Dia senang karena Sasuke meminta sesuatu kepadanya. Tapi jika tahu Sasuke berniat menggambar dengan ukuran kertas sebesar itu, tentu akan Itaci larang. Masalahnya, Itachi hanya takut Sasuke melewatkan jam makan dan tidur siang lagi. Itu sudah terjadi beberapa kali saat Itachi sedang sibuk di kampus. Untung saja Ibunya memberi tahu saat secara tidak sengaja melihatnya.

Baby Boy [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang