#4: Kue pukis

34 3 0
                                    




Ecan: sist udah minum obat belum?


Dua hari lalu Bintan jatuh sakit. Mungkin terparahnya setelah dirinya masuk kuliah. Bahkan Bintan tidak menyangka tubuhnya akan sedrop itu. Dia masih ingat debatnya terakhir dengan Ednan tentang pulang ke rumah atau berobat ke dokter.

Dan dia tidak berbohong kalau kepalanya sakit, jika terus-terus menanggapi Ednan. Jadi dia memutuskan untuk tidur. Namun nyatanya dia tidak tertidur, Bintan pingsan. Perempuan itu tersadar setelah cairan infus masuk ke dalam tubuhnya.

Tentunya dengan Ednan disampingnya yang tengah menyelesaikan tugasnya. Dan Ednan mengabulkan keinginan Bintan sebelum pingsan, Bintan rawat jalan di kosannya.

Ednan kalap sore itu.

Untung Bintan sosok yang kuat, setelah satu botol infus masuk, perempuan itu kembali normal. Suhu tubuhnya mereda. Namun tetap saja, dia harus banyak istirahat.

Dan selama dua hari, Ednan tidak pernah absen mengunjungi Bintan, menyiapkan makan, bahkan mengingatkan minum obat.

Meski Bintan bukan anak rantauan, Ednan merasa bertanggung jawab kalau Bintan berada di sisinya.

Bintan Radisha: ini mau

Ecan: oke pinter
Ecan: aku mau kesana
Ecan: nitip apa ??

Bintan Radisha: mau pukis
Bintan Radisha: yg sebelahan sama es kelapa ituuu

Ecan: es kelapanya mau juga ngga ??

Bintan Radisha: ngga

Ecan: oke meluncur


Selagi menunggu Ednan, Bintan sedikit merapikan kamarnya yang sedikit berantakan. Untung saja selama dia sakit Ednan menggantikan tugasnya membersihkan lantai. Jadi kamarnya tidak terlalu kotor hari ini.

Bintan juga sempatkan untuk mandi, tubuhnya sedikit lengket. Pokoknya hari ini Bintan ingin terlihat segar dan jauh lebih baik-baik saja dibanding kemarin.

"Ca, aku masuk ya?"

"Iya masuk aja," balas Bintan sembari menaruh sapunya di pojok ruangannya.

Ednan masuk kedalam kamar Bintan dengan beberapa kantong kresek di tangannya. Padahal seingatnya, dia hanya memesan kue pukis. Kenapa Ednan datang dengan banyak bingkisan?

Sebelum menutup pintu, laki-laki itu membuka jendela beserta gordennya. Gimana-gimana 'pun Ednan tidak ingin orang berasumsi macam-macam ketika di kamar Bintan. Hanya berdua. Setidaknya mengurangi pikiran buruk, meski ada saja yang berpikir buruk. Apalagi kehadirannya yang dua hari berturut-turut.

Untung ibu kos Bintan baik dan percaya pada dirinya. Toh, yang memanggil dokter hari itu sang ibu kos. Karena beliau melihat Ednan nampak gelisah di luar kamar Bintan.

"Dari ibu kos kamu, soto babat," kata Ecan memberikan semua kreseknya pada Bintan.

"Astaga... aku baru makan."

"Buat aku aja lah, aku belum makan juga," kata Ednan yang tengah membuka kaos kakinya. Laki-laki itu langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur tanpa dosa.

"Mau makan sekarang?"

"Sekarang aku abis ini mau latihan sama anak-anak."

Bintan mengangguk, perempuan itu mengambil beberapa peralatannya dari box samping dispenser yang sengaja ia simpan di kamar ketika ia malas ke dapur.

"Ednan Nurfajar, sumpah maneh jorok banget. Cuci kaki dulu kalo mau tiduran!"

"Aduh aku teh capek, yang. Jangan dimarahin," eluh Ednan menutup wajahnya dengan tangannya.

Bintan melenguh pelan. Matanya masih menatap Ednan dengan kesal. Baru saja dia mengganti seprei, dan dia sedikit risih kalau sepreinya kotor sedikit. Karena hidupnya 14/7 di kasur, sisanya di luar kosan. Itu juga kalau Ednan tidak mengajaknya keluar.

"Sana cuci kaki, cuci tangan, cuci muka dulu." Bintan menggoyangkan lengan Ednan yang tengah menutupi wajah.

"Aku disuruh bobo?"

"Bersih-bersih dulu sebelum makan, kamu abis dari luar."

Ednan tersenyum menatap Bintan yang berusaha menarik tangannya agar segera meninggalkan kasurnya.

"Seneng liat kamu udah sehat," katanya.

Bintan buru-buru tersenyum lebar dengan terpaksa. Namun hanya beberapa detik, setelah itu tetap menyeret Ednan untuk segera pergi dari kasurnya.

Selagi Ednan di kamar mandi, Bintan menyiapkan beberapa bawaan Ednan tadi. Apa-apaan ini. Perasaan nitip kue pukis saja, tapi yang datang cireng isi, cimin, sama telor gulung.

Dan payahnya kue pukisnya sudah keburu dingin.

"Cireng isi, cimin, sama telor gulung jangan dimakan," intrupsi Ednan. Baru keluar kamar mandi sudah gaduh.

"Ya terus ngapain beli?"

"Buat aku lah! Kamu makan aja kue pukis," sahutnya.

"Udah dingin gini, Can. Bener-bener menghancurkan ekspektasi urang makan kue pukis anget," kata Bintan menekuk wajahnya. Tapi Ednan berlaga tidak lihat, laki-laki itu lebih fokus menyendokkan soto babat pemberian ibu kos.

"Kue pukis dibeli pertama, terus di tukang cimin ngatre. Salahin tuh tukang cimin," katanya yang tidak mau disalahkan.

Bintan berdecak mendengar alasannya. Lagian Ednan tidak bilang kalau dia akan membeli makanan selain pukis titipannya.

"Ngga mood makannya, udah dingin gini. Males."

Ednan menatap Bintan yang tengah memandang kue pukisnya dengan lesu. Laki-laki itu menghentikan kegiatan makannya, curiga ucapan Bintan.

"Beliin pukis lagi dong, yang anget."

"Coba dipeluk, aku kalo dipeluk kamu suka anget," celetuk Ednan.

Detik selanjutnya, wajah Ednan menjadi landasan utama kue pukis yang semula berada di tangan Bintan.

-



Muka Ednan sebelum dilempar kue pukis:

Muka Ednan sebelum dilempar kue pukis:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

13 - 11 - 20

STRUGGLES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang