Hari ini kepala Bintan terasa jauh lebih berat dibanding sebelum-sebelumnya. Perempuan itu memegangi kepala serta hidungnya sebagai penyangga kepala, agar tidak jatuh begitu saja.Matanya terus memaksa membaca, walau rasanya lebih cocok untuk memejamkan mata yang mulai terasa perih.
Andai saja tidak ada kuis hari ini, pasti ia lebih memilih menuruti tubuhnya rebahan di atas kasur. Hingga keadaannya kembali membaik.
"Minum dulu nih, bibir lo kering banget." Rani menyodorkan botol plastik air mineral kearah Bintan.
"Sumpah anjir, ngga mulai-mulai ini kuis? Kepala gue udah pusing banget, migrain."
"Udah minum obat belum?"
"Ngga sempet, gue buru-buru ngampus."
"Nasib mahasiswa emang, kuat-kuatin deh bentar lagi sampe paling."
Bintan mengangguk pasrah. Dia berkali-kali memijit dahinya, berharap bisa mengurangi rasa pusingnya dan membuat matanya tidak lagi perih. Namun, rasanya tetap sama.
Tidak biasanya dia mengalami serangan sakit mendadak. Bahkan rasanya tidak pernah. Rasanya pagi ini cukup menyebalkan.
Hidungnya tersumbat, kepalanya berat sebelah, dan matanya kini terasa perih. Semoga saja tidak berujung pada demam.
Padahal seingat Bintan, dia tidak begadang, dan makan dengan cukup.
"Lo gapapa ditinggal gini?" tanya Rani memastikan sekali lagi.
Sekitar lima belas berlalu setelah kuis berakhir, kini kelasnya selesai. Dan Rani pamit terlebih dahulu, sementara Bintan harus menunggu kelas Ednan berakhir.
Tapi kata Rani, wajahnya semakin lama semakin pucat. Bahkan tangannya sudah terasa dingin.
"Gapapa lo kalo udah di jemput, bentar lagi Ednan juga beres."
"Kalo belum beres tapi udah pusing banget, telfon gue aja." Rani menatap Bintan dengan tatapan iba.
Bintan tersenyum tipis, perempuan itu meyakinkan Rani bahwa Ednan akan datang secepat mungkin. Aslinya Bintan juga tidak bisa menebak kapan Ednan akan datang dan mengajaknya pulang.
Anggukkan itu seakan menjadi penenang Rani, agar tidak terlalu mengkhawatirkan kondisinya.
Lagipula kenapa sih sakit begini tidak datang di hari libur saja? Bintan sedikit kesal terlihat lemah di depan banyak orang.
Selepas Rani pergi, Bintan sibuk menggosokkan kedua telapak tangannya. Mencari kehangatan sementara. Iya juga, tangannya dingin tapi kepalanya hangat.
"Hey, kok menggigil gini?"
Bintan menoleh kearah sumber suara, pandangannya sedikit kabur karena matanya mulai berair. Dia Ednan yang baru saja menepuk bahunya. Bintan masih hafal suara dan bau parfumnya.
"Duh," katanya sembari melepas jaket yang tengah laki-laki itu gunakan.
Ednan memakaikan Bintan jaket dengan cepat, dari gerakannya sepertinya Ednan khawatir dengan perempuan itu.
Selepas memakaikan jaket, laki-laki itu menjarak sedikit dari Bintan. Menelfon seseorang yang suaranya masih bisa Bintan dengar dengan baik.
"Iya lo langsung kesini aja, resiko kalo gue yang nyamperin," katanya sebelum menutup ponsel.
"Ngapain nelfon Janu segala?" tanya Bintan.
"Janu bawa mobil, aku mau pinjem." Ednan memegang tangan Bintan, mengusapnya dengan pelan. Matanya memancarkan sorot penuh khawatir.
"Gapapa naik motor aja, Can.."
"Resikonya gede, Ca. Badan kamu udah mirip dispenser panas dingin begini."
Bintan pasrah. Daripada membuang tenaganya untuk berdebat dengan Ednan, dia memilih untuk bungkam dan memejamkan matanya. Ednan menarik kepala Bintan untuk bersandar di pinggangnya. Laki-laki itu terus-terusan mengusap bahu Bintan, selagi menunggu ke datangan Janu.
Kasian Bintan. Ednan sesekali mengusap kepalanya, menyingkirkan anak rambut dari wajah cantik milik Bintan agar tidak basah karena keringat di sana.
"Nuhun ya, Jan, motor gue ada di pakrkiran. Maaf ya agak ngerepotin," kata Ednan memberikan kunci motornya pada Janu.
Janu datang tepat waktu. Janu paham, kalau dia di posisi Ednan pasti sama paniknya. Apalagi Bintan salah satu orang yang berarti bagi Ednan.
"Janu makasih ya.."
"Iya sama-sama, cepet sembuh, Bintan." Bintan mengangguk dengan tersenyum.
Janu melambaikan tangannya ketika Ednan dan mobilnya pergi menjauh. Laki-laki itu masih dengan senyum yang membuat matanya menyipit. Minggu ini sepertinya bakalan minggu paling sibuk yang dimiliki Ednan.
"Mau pulang ke rumah apa berobat aja?" tanya Ednan. Laki-laki itu terus-terusan menoleh kearah Bintan, dengan punggung tangannya menempel di dahi perempuan itu. Mengecek suhu tubuh Bintan, takutnya mendadak tinggi.
"Di kosan aja, lagian bentar lagi sembuh kayak gini tuh."
"Jangan sotoy, kamu bukan dokter."
"Intinya cuma mau tidur doang, Can. Pusing banget ngga usah ngajak berantem dulu," kata Bintan sedikit sewot.
Ednan menghela napasnya, keras kepala. Dia mengantarkannya menuju kosan, beberapa kali mampir untuk membeli obat ataupun makanan untuk Bintan.
Meski Bintan tidak menyuruhnya apapun, tapi dia tahu apa saja yang dibutuhkannya ketika sakit.
Cukup hafal kebiasaan kecil.
Ednan membaringkan Bintan di atas kasur single bed di kamar Bintan. Khawatir. Sejak tadi di mobil Ednan pikir Bintan hanya memejamkan matanya, nyatanya tertidur. Bahkan sampai di kosan pun Bintan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera terbangun.
Padahal suhu badannya tidak sepanas tadi. Ednan dengan segera mengoleskan minyak angin beberapa titik, mulai dari pangkal hidung, leher, bahkan telapak tangan.
Bintan tidak pernah drop sampai segininya.
"Cepet sembuh, jangan sakit kayak gini lagi. Aku khawatir..."
-
08 - 11 - 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLES
Fanfiction❝ Semoga pacaran haha-hihi, nggak berujung huhu-huhu.. ❞ Semoga.