Percaya atau tidak, kepercayaan diri seseorang terkadang berada di tangan orang lain. Dan Bintan salah satu orang yang percaya akan hal itu.
Perkataan orang lain malam tadi mampu memporak porandakan pondasi kepercayaan dirinya. Padahal dia saja tidak mengenal siapa yang berbicara, namun rasanya ucapan dia terus berdengung di telinganya.
Bahkan Bintan butuh sendiri setelah mendengarkannya. Pesan Ednan tidak ada yang dia balas satu pun setelah itu. Bintan kacau.
"Teh, ayo makan dulu.."
Panggilan Ibu membuat Bintan menoleh ke arah pintu kamarnya. Iya, hari ini Bintan pulang ke rumahnya diam-diam. Dan kamarnya selalu menjadi saksi bisu atas berantakannya dirinya saat ini.
"Bintan Radisha..."
"Iya Bu, nanti teteh makan sebentar lagi," sahut Bintan sekenanya.
"Kamu dari malem belum makan, teh. Nanti lambungnya sakit lagi loh."
"Malem makan, Bu."
Ibu menghela napasnya pelan, tapi Bintan masih bisa mendengarnya. Akhirnya Ibu menyerah menyuruh putri sulungnya untuk makan, dia hanya mengingatkan sekali lagi lalu beranjak pergi. Dengan siasat, kalau lapar Bintan pasti keluar dengan sendirinya.
Setelah Ednan mengantarnya pulang ke kosan malam itu, pikiran Bintan berkecamuk. Asumsi-asumsi buruk tentang dirinya mulai kembali mengambil alih fokusnya.
Kalau bisa dibilang ini bukan kali pertama ucapan buruk tentang dirinya dan Ednan. Namun rasanya dia tetap tidak mampu mengontrol pikirannya.
Dia berusaha percaya sepenuhnya pada Ednan, dia menaruh banyak kepercayaan. Sampai akhirnya Bintan lupa kalau dirinya juga butuh kepercayaan.
Ednan tidak salah. Ednan baik. Hal itu yang membuat Bintan terus menerus berpikir, apa memang seharusnya Ednan mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari pada dirinya?
"Teh Bin, ini Ndi..."
Bintan menyingkirkan bantal dari wajahnya, menatap pintu yang kembali menyaringkan bunyi ketukan.
"Teh Bin, aku mau curhat..."
"Teh Bin, kalo ngga dibukain Ndi dobrak ya?"
Bintan berdecak kesal, bisa-bisanya dia sulit berkata tidak. Padahal Ibu saja dia tolak tadi.
"Apa?" tanya Bintan membuka sedikit pintu kamarnya.
"Kusut gini euy, belum disetrika ya?" guraunya yang malah membuat Bintan mendenguskan napasnya.
"Jalan-jalan yuk? Momotoran gitu, mumpung teteh di rumah."
"Katanya mau curhat? Kenapa mendadak ngajak keluar," kata Bintan menatap laki-laki di depannya dengan tatapan penuh selidik.
"Mumpung dih, traktir Ndi sekalian."
"Yaudah bentar, siap siap."
"Oke.. Ndi panasin motor dulu," katanya sambil mengusap puncak kepala Bintan.
Dia Randhika Baraswara, adik satu-satunya yang berjarak 4 tahun. Dan Dhika salah satu kelemahan yang Bintan punya. Itu lah alasannya Bintan sangat sulit menolak apapun yang laki-laki itu katakan.
"Mau kemana pagi-pagi?" tanya Ibu ketika Dhika dan Bintan pamitan.
"Urusan anak muda," jawab Dhika dengan wajah menyebalkannya.
"Anak muda.. kamu tuh masih kecil," tukas Bintan sembari mendorong bahu Dhika yang berada di sampingnya.
"Masih kecil cenah, Bu. Ngga tau aja teteh, Ndi udah bisa pasang gas sendiri."
"Yaudah jangan berantem, nanti malah keburu panas diluar." Dhika mengangguk.
Dhika mengajar Bintan tanpa tujuan. Bintan juga tidak terlalu banyak bicara, yang penting dia sudah mengiyakan ajakan Dhika, dia rasa cukup.
"Kemarin aku kenalin Ghea ke Ibu," kata Dhika tiba-tiba.
"Terus gimana?"
"Ibu biasa aja, kayak teteh pas kenalin A Ednan."
Bintan diam. Ednan, nama itu kembali terdengar di telinganya.
"Tapi Ghea yang ngga biasa," lanjut Dhika sembari menghela napasnya yang terasa berat.
"Ngga biasa gimana?"
"Ndi ngga tau, setelah itu Ghea ngga pernah hubungin Ndi lagi. Bahkan chat Ndi ngga sama sekali di gubris."
"Apa Ibu ngomong sesuatu jadi ngebuat Ghea ngga nyaman?"
"Ngga mungkin teh, teteh tau sendiri Ibu gimana.."
Iya juga. Ibu bukan tipekal seperti itu.
"Ndi udah cerita, sekarang giliran teteh," kata Dhika membuat Bintan menatap sang adik dengan tatapan bingung dari spion.
"Hah?"
"Belum mau ya?"
"Ndi tau ngga? Kadang teteh mikir, siapa pun nanti orang yang bisa dapetin kamu itu pasti orang yang paling beruntung." Bintan tersenyum kecil.
"Teteh juga tau ngga? A Ednan dapetin teteh juga beruntung, dan teteh juga pasti beruntung kan dapetin dia?" kata Dhika mengembalikan ucapan yang baru diucapkan oleh sang kakak.
"Ndi ngga tau teh, teteh lagi kenapa. Tapi lari dari masalah dan milih bungkam itu bukan jalan keluar yang bagus," lanjutnya.
Bintan diam. Perempuan itu memilih memeluk sang adik dari belakang. Menumpahkan sesuatu yang sudah dia tahan selama berjam-jam. Bintan bohong kalau dia semalam sudah makan, dan Bintan bohong kalau pintu kamarnya ditutup rapat karena sedang istirahat. Nyatanya semalaman dia tidak bisa tidur, lebih tepatnya dia belum sempat.
Sudah dibilang, Dhika adalah salah satu kelemahan Bintan. Apapun yang laki-laki itu ucapkan mampu menyihir sesuatu dalam dirinya.
Randhika memang selalu punya caranya sendiri.
"Ndi kenapa cepet banget gede? Jadi dewasa itu ngga enak tau," ujar Bintan disela-sela tangisnya.
Dhika tersenyum, satu tangannya menggenggam tangan kakaknya yang melingkar di pinggangnya. Dia lega karena Bintan mau berbagi sedikit keluh kesahnya.
Bintan tidak tahu kalau semalam Dhika juga sama kalutnya. Melihat Bintan kacau, Dhika ikut merasakan.
Dhika takut kehilangan kakaknya lagi, hanya karena dia terlambat mengulurkan tangan.
--
27 - 11 - 2020
WORK IT!
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLES
Fanfiction❝ Semoga pacaran haha-hihi, nggak berujung huhu-huhu.. ❞ Semoga.