#5: The overthinkills

33 3 0
                                    



Malam minggu selalu dianggap spesial dan berbeda untuk beberapa orang. Dia juga sering dinobatkan sebagai malam para insan yang dirundung jatuh cinta.

Buktinya sekarang beberapa pasang insan mulai mengerubungi area venue. Malam ini Ednan dan bandnya akan tampil live, mengisi malam minggu ini. Setelah hampir satu bulan mengalami bentrok jadwal, akhirnya mereka kembali ke atas panggung.

"Perlengkapannya disiapin sendiri, yuk, jangan manja. Gue disini bukan dibayar jadi babu," celetuk Iyan sembari membaca rundown acara.

Iyan selaku manager terus memberi arahan, karena sepengelihatannya mereka malah asik memainkan ponselnya masing-masing. Dan di acara h-jam Janu, Baron, Rengga, dan Ednan malah sibuk push rank game. Gimana Iyan tidak ingin meledak sekarang?

Malam ini laki-laki itu harus rela melepas coffe shopnya sebagai pencarian utama, demi mengurusi empat brandal. Untung saja ada Bintan, setidaknya si paling susah diatur, Ednan itu ada pawangnya. Dan sudah bisa tebak siapa yang mengajak berleha-leha main game.

"Udah atuh, hei.."

"Sebentar, bentar lagi chicken dinner." Ednan yang menyahuti tapi matanya masih menatap lurus benda pipih.

"Baron, sia bangun ngga? Kusut itu baju." Yang satu ini tidak sama sekali menyahuti apalagi menoleh.

Iyan menghela napasnya, tahu begitu sejak awal dia mendaftar menjadi guru Paud dibanding menangani teman-temannya. Bisa gila.

Laki-laki sunda itu akhirnya menyerah. Ia ikut duduk di samping Bintan dengan pasrahnya begitu saja.

"Bin, Iyan mau resign aja nanti kamu gantiin ya.." katanya pada Bintan.

"Dih ngga mau 'lah, Iyan aja ngga sanggup apalagi aku. Ngga mau," tolak Bintan. Dua orang itu terlihat pasrah, soalnya sejak awal yang rewel tentang acara hari ini mereka. Dan malah berujung tidak digubris.

"Bentar, ini chicken dinner depan mata." Kali ini Rengga.

"Berapa kali, Bin?" Bintan mengacungkan kelima jarinya.

Sudah lima kali, dan sudah lima belas menit berlalu. Akhirnya keempat bujang itu kalang kabut sendiri. Mulai dari Janu yang mencari kemeja, Ednan lupa menyimpan IEM, sampai tuner Baron yang terselip di antara kursi. Hanya Rengga yang apik, dan kini dia bagian marah-marah, karena menurutnya teman-temannya tidak profesional. Padahal dia juga ikut andil main game.

"Deg-degan nggak?" tanya Baron menepuk bahu Janu.

"Nggak tuh, gue merasa keren-keren aja. Makin ganteng aja gue rasa setelah hiatus," celetuk Janu sembari menggulung kemejanya sampai batas siku.

"Mau mengumpat, tapi urang juga merasa tampan," kata Ednan menambahkan.

"Bin, tolong ya sekalian rambut gue," kata Rengga pada Bintan yang tengah menata rambut Ednan.

Ednan langsung menoleh, menatap Rengga dengan tatapan posesif. Seolah tidak memberikan izin pada laki-laki itu untuk menyerahkan Bintan.

"Sekalian aja semua, lagian si kunyuk ngga keliatan aja segala pengen nata rambut." Kali ini Janu yang dilayangkan tatapan itu oleh Ednan.

"Yan, masuk list nih butuh hair stylist buat bertiga," ujar Ednan yang malah dijawab decakan oleh sang manager.

Setelah kalang kabut selama setengah jam, mereka siap naik ke atas stage. Meskipun sebelum naik mereka harus menyaksikan drama Ednan terlebih dahulu. Entah makin kesini Ednan nampak lebih clingy dibanding sebelumnya. Mungkin Ednan sedikit grogi setelah sekian lama.

"Semangat," kata Bintan sembari mengusap punggung Ednan.

"Jangan jauh-jauh.."

Setidaknya kata itu sebelum akhirnya Ednan naik keatas stage. Sorot matanya penuh ke khawatiran, namun Bintan tidak tahu apa yang harus dikhawatirkan berlebihan. Ednan hanya menjalankan pekerjaannya, dan Bintan menontonnya seperti biasa.

Dari awal hingga akhir, mereka sukses membuat penonton terbawa suasana. Suara merdu milik Rengga memang tidak pernah mengecewakan, dan kinerja pengiring lagu 'pun tidak pernah gagal. Mungkin ini alasan mereka selalu dinantikan setiap malam minggu oleh beberapa sebayanya.

Tidak banyak yang mereka bawa hanya tiga lagu untuk malam ini. Tapi mampu membuat penonton merasa puas. Bahkan Iyan yang sejak awal kesal karena tingkah dibelakang, sudah terganti dengan senyuman bangga. Begitu juga Bintan.

Rasanya dia ingin memeluk Ednan sekarang, dan menyampaikan bahwa dia sudah melakukan yang terbaik. Dia juga sudah membayar semua lelahnya.

"Pulang duluan ya, lur. Takut kemaleman, baru sembuh doi," pamitnya sembari bersalaman pada satu persatu temannya.

"Hati-hati jangan ngebut, udah malem," peringat Iyan yang diberi jari jempol sebagai balasan oleh Ednan.

"Itu cepet si Baron bawa balik, bentar lagi ditelfon si Mami."

"Sembarangan aja anjing."

Ednan akhirnya pamit membawa Bintan pulang. Namun perempuan itu tidak berbicara sepatah kata diperjalan pulang. Mungkin perempuan itu lelah. Biasanya juga gitu.

Tapi nyatanya Ednan salah dugaan, setelah dia melihat senyumnya ketika menutup pagar kosannya.

Sedangkan Bintan masih terpaku pada pemikiran yang menggagalkan dirinya memberi pelukan selamat pada Ednan. Suara-suara itu seperti masih berputar seperti kaset di kepalanya.

"Menurut kamu, Ednan pantes dapet yang lebih baik ngga sih dibanding cewek sekarangnya?"

-

21 - 11 - 20

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

21 - 11 - 20

STRUGGLES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang