Di Kafe

8 3 0
                                    


Lelaki itu berdiri di pintu, alis matanya yang tebal semakin bertaut dan rahangnya mengeras. Dia mengepalkan tangannya erat-erat dan menatap Aira tajam.

"Betulkah apa yang kamu katakan itu, Aira?" tanyanya perlahan.

Aira balas menatapnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Namun bayangan Michael dan perempuan di pinggir jalan yang dia lihat kemarin itu muncul lagi di ingatannya dan membuat emosi Aira tersulut lagi.

"Iya benar, aku tidak menyukaimu Michael. Jangan ganggu aku lagi!" ujarnya ketus, lalu meneruskan pekerjaannya lagi, menyiapkan indomie! 

Dia membuka bungkusannya dengan agak tergesa-gesa dan tidak sengaja menyenggol tempat sambal di sampingnya hingga jatuh berceceran.

Duhhhh, kenapa aku jadi grogi begini! pikir Aira kesal sambil mengambil lap dan membersihkan sambal yang berceceran di meja dapur.

Michael terdiam memperhatikan semua itu, lalu tersenyum sedih. "Baiklah Aira. Kalau memang itu maumu..."

Helen memperhatikan keduanya dengan mata berkaca-kaca. Sementara Aira tidak berkata apa-apa dan masih sibuk membersihkan tumpahan sambal yang mengotori pinggir meja dan lantai.

"Aku berharap kamu bahagia dengan segala pilihanmu." ujar Michael lagi sambil melangkah keluar dan menutup pintu dapur.

"Aira, kamu yakin? Michael kelihatan sedih sekali...." kata Helen nggak tega. " Aku selama ini mengenal Michael orang yang sangat sabar dan baik, Aira."

"Nggak, Helen. Itu hanya drama! Sebetulnya dia sudah punya perempuan lain..." cetus Aira sambil berusaha sibuk dengan segala macam bahan makanan di kulkas. Mencoba fokus pada apa yang bisa dikerjakan oleh tangan ini, daripada memikirkan segalam macam emosi yang tidak jelas!

"Yang kamu lihat cuma kulit luarnya!" pungkasnya lagi.

Helen menggeleng-gelengkan kepala dan menghela nafas. Dirinya ingin memberikan nasihat, namun ketika dilihat wajah sahabatnya yang sedang mengeras seperti batu, ia menghentikan niatnya. Dia tahu keras kepalanya Aira!

Biarlah nanti ada waktunya.....

***

Sinar matahari merambat memasuki jendela kafe, bunyi lonceng berdenting tepat saat Aira masuk ke dalamnya. Dia memakai baju hitam, sehitam perasaannya yang sedang buruk. Kafe itu cukup ramai hari ini. Sepertinya baru saja ada acara di kampus dan banyak yang mampir ke kafe sesudahnya. Nona dan satu karyawan baru lagi sedang sibuk melayani para pemesannya. 

"Hallo Non!" ucap Aira sambil terus melangkah ke dapur. 

Dia meletakkan tasnya dan memakai celemek merah seragam kafe itu. Sempat melirik kembali ke layar handphone yang kosong, tidak ada pesan atau telepon apapun. Hanya pesan dari Helen tadi yang dibacanya sepanjang perjalanan, menanyakan kabarnya setelah kejadian kemarin.

Ada perasaan sepi dan sedikit kecewa saat dia tidak mendapati pesan dan telepon dari Michael. Beberapa hari kemarin handphonenya penuh dengan pesan dan panggilan tak terjawab dari lelaki itu, yang tidak direspon olehnya. Sekarang setelah semua itu hilang, dia merasa kesepian dan kehilangan.

Apa yang kamu inginkan, Aira? pikirnya sewot, marah pada diri sendiri.

"Kak....ini ada buket bunga untukmu. Sepertinya dari cowok ganteng yang waktu itu datang. Romantis banget, kak...." kata Nona seraya menunjuk ke buket bunga mawar yang tergeletak di meja kasir. 

Aira meraihnya dan membaca kartu kecil yang terikat manis dengan tali raminya. 

"Untuk Aira, Enrico." Tulisannya terukir indah dengan bubuk glitter emas di sekitarnya. Aira menatapnya datar dan membuangnya ke tempat sampah dengan ekspresi acuh tak acuh.

"Ehhh kakak....kok dibuang??" tanya Nona heran. Sayang dilihatnya bunga mawar merah yang indah itu disia-siakan begitu saja dan berakhir di tempat sampah.

"Nggak apa, Non. Cuma aku ngga suka melihatnya..." kata Aira sambil membereskan kertas-kertas di mejanya yang berantakan.

Pikirannya sedang tidak menentu, malah dia mendapati tidurnya kurang nyenyak sepanjang malam. Bermimpi tentang Enrico memakai baju beruang dan bermain-main seperti di sirkus, lalu Michael yang muncul dengan pakaian Robin Hood. Sementara dirinya hendak melompat dari tiang yang tinggi untuk bergelantungan di tali dan hendak melakukan atraksi yang menakjubkan penonton. Namun dia tak bisa melangkah....dirinya sangat takut sekali. Setelah itu sebelum melompat, dia terbangun dan mendapati dirinya sudah bermandikan keringat. Lelah sekali tidurnya kemarin malam!

Kleneng kleneng! Terdengar bunyi lonceng yang sama setiap ada orang yang memasuki pintu kafe. Bedanya yang ini langsung memanggil nama Aira yang membuat si empunya nama menoleh dan membelalak kesal.

"Airaaaaa!" panggilnya sambil melangkah mendekati Aira.

"Ngapain lagi kamu ke sini?!" Aira berkata sewot, berusaha mengontrol emosinya karena ada banyak orang di sekitar mereka.

"Tadi aku mau bertemu denganmu, tapi karena kupikir kamu nggak datang jadi kutitipkan buket bunga yang aku beli khusus buat kamu." Enrico menatapnya dekat sekali, sehingga Aira yang berinsiatif memundurkan dirinya.

"Aku senang kamu sudah memaafkan aku," katanya lagi dengan penuh kepercayaan diri.

"Sudah memaafkan bukan berarti aku mau ngomong lagi sama kamu!" ketus Aira dengan wajah keruh. "Lagipula nggak perlu kirim bunga, maaf sudah kubuang. Tidak berguna!"

Enrico menatap buket kirimannya yang tergeletak merana di tempat sampah dengan kaget, lalu dia malah berbalik dan memegang tangan Aira dengan sangat erat.

"Aira, aku ingin kembali lagi padamu. Aku masih menyukaimu....Aku tak bisa melupakanmu!" ujarnya berulang-ulang, hingga Aira jadi gelagapan sendiri. 

Aira berusaha melepaskan cengkeraman tangan Enrico tapi keras sekali. Wajahnya merah menahan malu dan marah.

Kleneng kleneng , bunyi lonceng sekali lagi, tepat saat seorang pria masuk ke kafe itu. Diikuti perempuan di belakangnya. Pria itu menatap mereka berdua dengan pandangan kaget, yang langsung berganti dengan tatapan tajam dan tak bersahabat.

Michael!  Aira membelalak kaget

Perjuangan Tiga Bersaudara (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang