PROLOG

509 65 2
                                    

Bunyi sirene motor polisi menggema di sepanjang jalan. Beradu dengan lalu-lalang kendaraan yang tak kunjung mereda. Bunyi klakson saling bersahutan satu sama lain. Membuat beberapa di antara pengguna jalan mau tidak mau harus menutup telinga rapat-rapat.

Di tengah kemacetan, terjadi aksi kejar-kejaran antara polisi dengan gerombolan anak SMA yang baru saja melakukan aksi tawuran. Tepatnya di sebuah gedung tua yang merupakan bekas pabrik sepatu. Lokasinya tak jauh dari SMA Ganendra, salah satu sekolah elite di ibukota.

Adapun yang terlibat dalam aksi tawuran tersebut adalah dua geng besar di kalangan para pelajar, di antaranya dari pasukan SMA Ganendra yang dipimpin oleh Abiyan Mahatma dan pasukan SMA Cendekia yang dipimpin oleh Daniel Aregal.

Di sisi lain, gadis cantik bernama Aline Prasmita kini sibuk menikmati makan siangnya di sebuah warung pecel lele yang terletak di pinggir jalan. Sebenarnya bukan makan siang, tepatnya hanya pengganti makan siang. Kebetulan di kampusnya ada kegiatan organisasi yang berlangsung sampai sore, jadi mau tak mau, waktu makan siangnya harus terlewatkan.

Aline tersentak kaget, hampir saja tersedak makanan. Seseorang dengan lancang menerobos masuk di bawah meja tempat ia makan.

"Mau ke mana kamu? Kamu yang ikut tawuran tadi, kan?" teriak Pak Polisi setelah menemukan pelajar laki-laki dengan nametag Abiyan Mahatma tengah bersembunyi di bawah meja. Tepatnya di bawah meja tempat Aline makan.

"Bu-bukan, Pak!" ujar Bian gelagapan.

Sementara Aline kini kebingungan, ia tidak seharusnya berada di tengah-tengah situasi seperti ini. Apalagi jika sampai terlibat. Ah, ini tidak boleh terjadi.

Pak Polisi itu menarik kerah jaket Bian dari belakang.

"Alah, nggak usah bohong! Buktinya kamu masih menggunakan seragam sekolah, sedangkan ini sudah sore. Sekolah sudah pada tutup. Masih kecil udah sok-sokan ikut tawuran, kalau gede mau jadi apa?" tukas laki-laki berseragam coklat itu.

"Tapi bener, Pak, saya nggak ikutan!" Sekali lagi, Bian mengelak. Dalam hatinya ia terus saja merapalkan kalimat, "Jangan sampai ketangkep, masa depan gua bisa hancur kalau gua dipenjara."

Polisi itu menggeleng. Lantas kembali menarik Bian agar ikut berdiri. "Sekarang kamu ikut saya!" ujar Pak Polisi. Tidak ada yang bisa dipercaya dari mulut anak berandalan seperti Bian. Berpenampilan urakan, hobi tawuran, juga hobi berantem.

Saat Pak Polisi menarik tubuh Bian, Aline segera berdiri. "Tunggu, Pak. Jangan bawa dia! Dia sama saya di sini sejak pulang sekolah tadi."

Hal gila apa yang Aline lakukan barusan? Bukannya ia tidak mau terlibat? Kalau begini sama saja ia menjerumuskan diri untuk masuk ke masalah orang asing. Orang yang sama sekali tidak ia kenal.

Polisi itu menatap bingung. "Dia pacar kamu?" Pak Polisi kembali bertanya. Pertanyaan yang sebenarnya membuat Aline geli sendiri. Sementara Bian sudah terkekeh diam-diam.

"Iya, Pak!"

"Bukan, Pak!"

Bian dan Aline menjawab spontan. Bersamaan, tetapi dengan jawaban yang berbeda. Membuat polisi itu menatap bingung ke arah mereka.

"Yang bener yang mana? Dasar anak muda, kalau punya masalah diselesaikan dengan baik, bukannya berantem."

"Memang bener, Pak. Dia bukan pacar saya tapi adik saya!" putus Aline akhirnya. Benar, Aline hanya mengaku-ngaku. Kenal dengan laki-laki itu pun tidak.

"Baik, terserah hubungan kalian apa, tapi kenapa dia sembunyi di kolong meja saat saya menghampiri kalian?" tanya Pak Polisi curiga.

"Begini, Pak, hape saya jatuh di bawah meja." Tanpa sepengetahuan polisi itu, Aline menyodorkan ponselnya ke tangan Bian. Langsung saja diterima oleh cowok itu.

"Bener, Pak. Ini hape kakak saya jatuh." Bian mengangkat ponsel milik Aline, memperlihatkan ke arah sang polisi.

"Ya, sudah. Saya percaya sama kamu, mungkin kalau hanya dia yang berbicara, saya nggak akan percaya," ujar polisi itu sembari menunjuk Bian.

"Oh, iya, kalian liat rombongan anak SMA yang lari ke arah sini tadi?"

"Mungkin mereka lari ke arah sana, Pak." Bian menunjuk ke arah pertunjukan topeng monyet di seberang jalan sana.

"Baik, terima kasih," ujar Pak Polisi sebelum ia meninggalkan keduanya.

Bian dan Aline sama-sama menghela napas lega. Terutama Bian, ia pikir dirinya tidak akan lolos dari kejaran polisi. Bahkan ia sudah berpikir akan mendekam di penjara. Namun, ternyata Tuhan masih baik padanya. Ah, ciptaannya yang satu ini juga baik kalau saja tidak ada maunya.

"Lo siapa? Ngapain lo ngebantuin gue? Mau minta imbalan?" tanya Bian pada Aline. Laki-laki itu membuka suara setelah merasa dirinya aman dari kejaran polisi.

"Sama-sama," tukas Aline acuh. Tentunya membuat Bian menelan ludah kasar. Rupanya gadis itu berusaha menyindirnya.

Bian berdeham untuk menghilangkan rasa canggung di antara mereka. "Sebagai balas budi karena lo udah ngebantuin gue, lo mau minta apa? Mau uang atau mau dibelanjain sama gue? Sebutin aja," ujar Bian dengan angkuhnya. Dikata dia anak sultan? Uang masih minta sama orang tua, tapi belagunya minta ampun. Aline hanya menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Mimpi buruk apa dia semalam?

"Apa susahnya bilang terima kasih?" Aline berdecak. "Dasar anak kecil!"

Bian melongo. Menatap nanar punggung Aline yang sebentar lagi akan menghilang dari pandangannya. "Dih, gengsian banget lo jadi cewek, gua mau ngasih imbalan malah nggak mau. Jutek amat, udah gitu gua dibilang anak kecil lagi. Justru dia lebih kecil dari gua."

"Gua sumpahin, kita akan ketemu lagi!" teriak Bian setelah sibuk bermonolog. Setelahnya, ia memilih duduk.

Dengan cepat ia menyeruput habis minuman yang entah milik siapa. Tidak menutup kemungkinan itu milik Aline.

Bian menyeka keringat di dahi dan lehernya menggunakan punggung tangannya. Saat hendak pergi, matanya kembali menyorot sebuah benda berbentuk pipih tengah tergeletak di atas meja.

Bian tersenyum miring. "Benar, sebentar lagi kita akan ketemu," pungkasnya. Ia menggenggam erat benda itu kemudian melesat meninggalkan tempat itu.

Tbc...

Bab selanjutnya akan segera publish.

See u, Guys!

Selisih DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang