Bab II

131K 9K 82
                                    

Sudah 3 jam aku berdiri menyalami tamu undangan yang tak henti-henti berdatangan. Memasang senyum palsu seakan-akan pernikahan ini baik-baik saja. Tetapi semua orang tau bahwa ada yang salah dengan pernikahan ini. mereka memasang wajah bahagia dan ramah, memainkan peran mereka sendiri untuk menjaga kesopanan padahal aku dapat mendengar bisik-bisik mereka mempertanyakan kenapa aku yang menikah dengan Rafel bukan Adela.

Bukti itu bahkan lebih kuat dengan tidak adanya Adela di acara pernikahan. Aku kembali mengingat berkali-kali aku membujuknya pulang karena aku yang akan menikah dengan putra pak Jonan.

”Del, pulang ya. Mama sampe ga makan mikirin kamu”

”Engga. Aku akan pulang kalau pap batalin pernikahannya!”

Aku menghembus nafas berat. ”Pernikahannya tetap dilangsungkan. Aku yang akan menikah dengan anak Pak Jonan”

Aku mendengar jeritan senang Dela. ”Bagus deh! Kamu emang bisa diandalkan” mendengar kata-kata seperti itu dari mulutnya membuat amarahku naik. ”Kamu harus berterima kasih ama aku bisa jadi menantu orang kaya terpandang. Coba kalau aku ga kabur, ga bakalan kamu dapat kayak gitu”

”Del!” kali ini aku ga bisa menahannya. ”kamu keterlaluan banget ya! kamu bikin semua impian aku hancur!”

Adela mendengus seakan mengejek ucapanku. ”Impian? Kenapa? Anak pak Jonan jelek ya? udah kuduga. Masa ngelamar ga pernah nampakin mukanya satu kalipun” Ga, anak pak Jonan benar-benar tampan entah kenapa aku kembali terbayang wajahnya. ”pasti gendut jelek makanya nyari jodh minta ke orang tuanya”

Aku tidak terima mendengar Adela menghina Rafel! ”asal kamu tau ya, Rafael itu..”

”Ah, aku malas dengar tentang dia!” potong Adela.

Sabar, Ad. Aku menarik nafas dalam-dalam. ”kamu datang ya ke acara pernikahan nanti” bujukku kesekian kali.

”engga! Nanti si jelek itu malah batalin nikah ama kamu dan minta nikah ama aku” kata-kata Dela menusuk karena mungkin aja memang seperti itu yang akan terjadi. Semua laki-laki yang mendekatiku setelah melihat Adela selalu beralih ke dia dan meninggalkanku. Bagaimana nanti jika di saat pemberkatan, Adela datang bisa jadi nanti Rafael menggantikanku dengan Adela di altar. Duh, kenapa pikiranku jadi picik gini sih! Bukannya bagus kalau Dela nikah dengan Rafael? Aku bisa bebas dari ini semua.

”Del, please. Balik ya” bujukku memohon dengannya.

”Pokoknya engga! Ini terakhir kamu ngehubungin aku! Aku bakal ganti nomor dan ga akan ada yang ganggu kebahagianku dengan Gery!”

”Del.. Del..” terlambat. Adela sudah memutuskan sambungan telpon. Aku mencoba menelponnya kembali tetapi tidak di angkat.

”Akhirnya nikah juga ya Ad” suara cewek menyadarkan lamunanku. Aku tersenyum ke Jenny, teman Adela yang mengucapkan selamat dengan senyum dibuat-buat. ”aku kira si Adela yang nikah soalnya kan dia cerita kalau dia nikah dan ini juga gaun yang aku dan Adela pilih” ia tertawa seakan ingin mempermalukanku. Bahkan orang-orang didepan dan belakang Jenny mendengar semua perkataannya.

Memang benar kalau gaun putih yang aku pakai sekarang Adela pilih bahkan ukurannya sesak di tubuhku. Tubuh Adela langsing seperti model sedangkan tubuhku labih berisi yang penting masih ideal dengan tinggi tubuhku yang lebih pendek ketimbang Adela. Selain tubuh, mata kami berbeda. Adela terlahir dengan mata sipit seperti mama sedangkan mataku lebih besar darinya mengikuti papa. Jika orang melihat kami, orang berpikir kami bukan kembar hanya saudara kakak-adik. Untungnya cincin yang Rafel pasang pas dijariku. Aku ga bisa bayangin malunya jika cincin itu kesempitan atau longgar di jariku.

”Pasti kamu senang ya dapat suami ganteng kayak gini. Sayang Adela ga liat malah pergi sama Gery” ucap Tania yang ada dibelakang Jenny sambil tersenyum puas menjatuhkan bom ditengah pernikahan ini. Aku dapat mendengar tarikan nafas Rafel yang marah dan kedua orang tua kami.

”Kalian ngomong apa sih?” aku berusaha menutupi kebodohan Adela memberitahu teman-temannya yang sama sifat dengannya.

”Alah, ga usah pura-pura deh. Kayak ga tau aja kamu udah diberitahu Adela” Ucap Jenny sambil tersenyum sinis. Tatapan tajam Rafael, papa dan kedua orang tua Rafel menusukku.

”Selamat berbahagia ya, Ad. Kita tau kok kamu senang akhirnya punya suami yang berkelas tipe Adela” ucap Tania sambil maju menyalami Rafael dan kedua orang tuaku. Mereka seakan puas dengan menjatuhkanku, membuat orang-orang semakin berbisik  kalau apa yang mereka perkirakan benar dan meninggalkan gosip yang mengerikan tentang pernikahan dan aku.

Aku menunduk malu akan kata-kata Jenny dan Tania yang menuduh tidak benar tentangku dan  takut akan amarah Rafael yang tidak dapat ditutupi di sampingku.

”kita bicarain ini nanti” bisik Rafael dengan mengeram. Ya Tuhan, Rasanya aku ingin semua cepat berakhir.

*****

”Jelasin apa benar kata dua cewek itu kalau kamu tau saudara kamu kabur dengan cowok lain?” bentak Rafael menyudutkanku di sofa panjang samping tempat tidurku. Aku hanya mengangguk pelan tidak berani menatap wajahnya.

”kenapa kemaren kamu ga bilang, hah?!” kali ini suara bentakannya lebih keras.

”ma,maaf. Aku ga pengen keluarga kalian semakin...”

”bukan keluargaku tapi kamu menutupi semua karena keluarga kamu, kan?!”

Aku mendongkak menatap wajahnya ”Ga, bukan. Aku benar-benar melakukannya demi keluarga kamu dan kamu. Aku ga ingin kalian merasa terhina dengan alasan kaburnya Dela” ucapku dengan suara kecil.

”Tanpa itu pun keluarga kami terhina dengan sikap kakak kembarmu itu!” desis Rafel menatap sekan ingin membunuhku. ”jika kami tau lasannya seperti itu, orang tuaku akan membatalkan pernikahan ini!” Deg! Hatiku seakan tertusuk. Dia memang ga ingin menikah denganku dan karena kebodohankulah pernikahan ini terjadi.

”Maaf” hanya itu yang dapat aku katakan padanya.

”Aku muak dengan permintaan maaf kamu!” Rafel menjauhkan tubuhnya dan pergi ke kamar mandi yang ada di kamarku. Aku dapat mendengar teriakan marahnya di dalam. Aku berusaha menahan air mataku. Jika sebelum-sebelumnya aku tenang menghadapi masalah yang dibuat Adela, kali ini aku ga kuat menghadapinya.

”Minggir!’ suara Rafael menagetkanku dan aku langsung berdiri. ”Aku mau tidur!” ucapnya sambil duduk di sofa.

”Kamu tidur di ranjang aja. Biar aku yang tidur disini” tawarku tanpa mencegah gugup yang kurasakan. Rafael hanya menatapku tajam dan langsung memposisikan tidur di sofa. ”Matiin lampunya!” perintahnya yang langsung kuturuti mematikan seklar yang berada di dekat pintu kamar..

Aku melirik sosok yang tidur di sofa. Rasanya tidak enak jika dia yang tidur di situ. ”jangan berisik!”

”aku langsung terdiam dan duduk di tempat tidur. Apa bisa aku melalui malam yang seperti selamanya? Aku pergi ke kamar mandi dan menghapus make up diwajahku. Aku menatap pantulan wajahku di cermin yang terlihat pucat dibalik riasan make up. Rasanya seperti ada hantaman di dada membuatku menangis. Aku menahan suaraku supaya Rafael tidak mendengarnya. Apa ini rasanya pernikahan tanpa cinta? Benar-benar menyakitkan.

****

AdreanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang