Bab IX

123K 7.9K 260
                                    

Hai, Thank buat baca, vote dan komennya. Bab kali ini menguras emosi jadi kesal juga nulisnya *lirik Adela. For u all, Once again Thanks a lot and Happy Reading~

************************************************************************************************************

”Rumah ini bagus juga ya. Betah banget lo tinggal di sini” pujian sekaligus sindiran yang sudah biasa ia ucapkan ga kuambil hati. ”Jadi, dimana kamar gue?” Ia berjalan ke lantai atas seakan sudah hafal dengan rumah ini.

“yang mana kamar kalian?” Pertanyaannya membuatku bingung untuk menjawab. Aku ga mungkin bilang kalau kami pisah kamar. Aku juga ga mau ia tau. Ejekannya  akan hubunganku dan Rafael yang membuatku selalu sakit hati dan kesal.

“Kamar kamu di lantai tiga” Rafael melewati kami dengan membawa koper Adela menuju tangga penghubung lantai tiga.  

Entah, aku jadi kesal melihat Rafael membawa koper milik Dela sedangkan aku membawa sendiri barang milikku. Aku memasukkan koper milikku ke kamarku. Rafael ga bilang kalau kami sekamar. Hanya berharap kalau ia memintaku sekamar dengannya layaknya suami istri. Apalagi sekarang hubungan kami membaik.

Aku keluar kamar di sambut dengan Adela yang turun dengan wajah senang. ”Dre, Rafael gentle banget ya. nyesel gue ga nikah ama dia aja” ucapannya sukses membuatku membatu. ”baik, cakep, yang paling penting tajir banget. Pasti dia punya banyak perusahaan dan aset”

Telingaku seakan tertutup dengan kata-kata yang meluncur lebih menyakitkan hatiku. Menahan ingin teriak mengingatkan janjinya dia ga akan menyesal sudah kabur menolak pernikahannya dengan Rafael.

Penyesalan selalu datang terlambat kan? Seperti aku yang menyesal saat di hotel. Menyesal sudah datang ke kamarnya dan mengangkat telepon dari mama. Mengingatnya saja hatiku sakit.
Flashback

”Akhirnya datang juga lo! Masuk!” seperti biasa sikapnya seperti tuan putri dan aku pelayannya hanya mengikutinya ga ingin membuat keributan. ”Enak ya , ninggalin gue sendirian di sini!”

“aku di ajak Rafael” aku berusaha menjaga suaraku tetap tenang. Hitung, Dre, hitung. Satu.. dua.. tiga..

Adela duduk di sofa panjang di depan tempat tidur baru. Menyilangkan kaki dan mengangkat dagunya tanda ia marah. ”Kenapa lo ga minta Rafael mengajak gue juga? atau lo ga mau gue ikut kan?” aku mengakui hanya dalam hati bahwa itu memang benar.

 ”lo merasa tersaingi! bukan, bukan tersaingi” ia berdiri menghadapku. ”lo takut kan kalau Rafael jatuh cinta lagi ama gue. Lo takut kalau gue mengambil milik gue karena lo udah menipu gue!" teriaknya dengan kuku jari telunjuknya yang tajam menusuk dadaku.

"Dela, aku ga pernah nipu kamu" aku ga terima dengan tuduhannya yang kejam itu.

Ia mendengus lalu tertawa "Ga nipu lo bilang? kenapa pas gue nelpon lo ga bilang kayak gimana Rafael, hah?!" Ia mendorongku. Cukup! Kami bukan remaja labil yang main fisik. Kami sudah dewasa!

”Del, aku ga suka ya kamu main kekerasan. Mungkin kalo kemaren-kemaren kamu masih bisa lakuin itu tapi sekarang kita sudah dewasa”

”Alah, sok dewasa lo! Baru aja nikah sok banget lo! Oh, iya gue lupa. Lo nikah ama calon suami sodara lo sendiri kan? Dasar penipu! Pencuri!”

“Aku bukan penipu apalagi pencuri! Aku sudah coba bilang sama kamu waktu itu. Kamu sendiri yang nolak dan marah sama aku. Kamu ingat kan?” Kali ini aku akan melawannya. Kekesalanku yang menumpuk selama ini membuaku berani.

” Kenapa waktu itu lo ga berusaha keras bilang ke gue, hah? Kenapa lo ga kirimin gue fotonya?” Selalu aja ga mau disalahkan.

”Aku ga mungkin memoto dia! jangankan memoto, melihatnya saja saat itu hanya waktu dia dan keluarganya datang menanyakan kepergian kamu dan besoknya saat kami menikah. Lagipula waktu itu nomor kamu juga ga aktif”

AdreanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang