Makasih sudah baca, vote dan komen. Mulai Bab ini kembali ke Adreana'sPOV.
Happy reading semua~ :)
★******************************************************★Aku mengerjap mataku menerima cahaya yang masuk. Pandanganku masih berkabut. Rasanya sangat berat untuk bergerak. Kepalaku seakan melayang menatap atas langit-langit. Otakku serasa kosong tidak ingat apapun dan perutku mual.
"Sayang?" Sayang? Seperti suara Rafael. Apa aku mimpi?
Terdengar suara decitan kursi. Aku memfokuskan penglihatanku. Apa benar Rafael di sini? Aku menatap wajahnya yang panik dan tangannya terulur menekan sesuatu di dinding samping atas kepalaku.
"Raf.." ia langsung berhenti dan menggenggam tanganku. Senyumannya menenangkanku. "Ini bukan mimpi kan?" Suaraku bergetar lemah. Berusaha berbicara walau mulut terasa berat. Tenggorokanku pun terasa kering.
"Bukan" ia mengelus kening sampai rambutku.
Aku dapat merasakan kehangatan tangannya. Lalu kurasakan tempat tidurku bergerak ke posisi setengah duduk. Ia membantuku untuk minum. Merasakan cairan yang mengalir di mulut dan tenggorokanku yang kering. Setelah selesai, tempat tidurku kembali seperti semula ke posisi horizontal.
Ini bukan mimpi. Berarti.. anakku?! Ingatan akan rembesan keluar dari bawah dan sakit yang ga tertahankan, menghantamku.
Aku berusaha menggerakkan tanganku yang terasa berat menyentuh perut bawahku. "Raf, anak kita.."
Rafael memegang tanganku. "Anak kita baik-baik saja. Ia sehat di dalam sana"
Baik-baik. Sehat. Aku menangis. Menangis bahagia karena anakku masih hidup di dalam rahimku.
"Apa yang sakit?" Rafael memeriksa tubuhku dengan panik. Membuatku tersenyum di sela tangisku. "Mana dokter itu? Kenapa dia belum datang juga?!"
"Raf" panggilanku menarik perhatiannya. "Aku ga papa. Ini tangis bahagia. Anak kita masih hidup"
Ia menunduk menciumku. "Jangan menangis. Nanti berpengaruh pada calon bayi kita"
Entah kata-katanya atau ciumannya membuat tangisku berhenti. Menikmati jarinya mengusap sisa air mata yang mengalir.
"Aku akan memarahi perawat dan dokter jika dalam sepuluh detik lagi mereka tidak datang!"
Meski ia benar-benar serius tapi melihatnya yang sangat mengkhawatirkanku membuatku bahagia. Bahkan baru kali ini melihat ia panik bahkan mengancam orang.
Suara pintu terbuka memperlihatkan sosok Lila dan suster yang menunduk masuk ke dalam. Berjalan perlahan seperti hati-hati takut menginjak ranjau.
Ga hanya itu saja yang membuatku heran. Lila melemparkan senyuman kaku padaku. Apa dia ga senang aku sudah sadar?"Dari mana saja kalian?! Saya sudah berkali-kali memencet tombol tidak cepat datang!" Bentak Rafael yang membuat Lila dan suster bergidik ketakutan.
"Raf" aku berusaha menyentuh lengannya. "Jangan marah seperti itu. Dokter Lila temanku" suaraku masih terdengar lemah.
"Teman? Teman macam apa yang memberikan obat bius pada temannya sendiri?!"
O,obat bius? Ingatanku kembali saat aku mendengar percakapan Julie, Lila dan Dylan dan permintaan maaf mereka. Ternyata waktu itu mereka ingin memberiku obat bius.
Bukankah berbahaya memberi obat bius total pada wanita hamil? Tapi mereka teman dan adikku. Tidak mungkin melakukan sesuatu yang membahayakanku apalagi membunuh anakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adreana
RomansaMeski kita kembar aku bersyukur karena wajah kita tidak identik. Tapi kenapa selalu aku yang menyelesaikan masalah yang kamu buat dan kamu selalu menjadi anak kesayangan mama papa. Aku selalu tersisih bukan hanya oleh orang tua kita tapi sekarang ol...