Bab XIX

176K 8K 375
                                    

Hello, akhirnya baru bisa update sekarang. Maaf buat teman-teman yang lama menunggu Bab ini. Apalagi kalau cerita di Bab ini kurang feel dan aneh bahasanya karena pikiranku terbagi melanjutkan cerita Adre dan pekerjaanku. Makasih untuk kalian yang sudah membaca, vote dan komen. Maaf sekali lagi aku ga membalas komen kalian karena bingung harus membalasnya kecuali pertanyaan.

Dan Bab ini, Bab kedua terakhir cerita Adreana. Bukan karena pengen cepat mengakhiri ceritanya. Cuman dari awal aku membuat konsepnya sehabis sidang ini dan ditambah satu bab ceritanya berakhir. Kalau kepanjangan malah kayak sinetron tambah masalah ga perlu.

Sekali lagi terima kasih dan selamat membaca :)

★**************************************************************************************************************★

Mobil dikemudikan Andre berhenti di depan teras rumah papa. Rafael keluar lebih dulu dan membuka pintu untukku.

Ia menunduk. Dengan lembut tangan kanannya melingkar ke punggungku. Tangan kirinya melingkar di bawah lututku. Mengendongku keluar dari mobil dan berjalan menaiki 3 anak tangga teras rumah. Menunggu Andre mengeluarkan kursi roda dari bagasi dan membawanya ke teras.

Di gendongan Rafael, aku melihat banyak mobil terparkir di halaman rumah papa. Bahkan mobil papi mami yang lebih dulu sampai. Padahal tadi kami berangkat sama-sama di belakang mobil mereka. Hanya karena Rafael yang memerintah Andre ga boleh ngebut sehingga kami lama di jalan.

Rafael mendudukanku di atas kursi roda yang di angkat Andre ke teras. Lalu mendorong kursiku dari belakang di ikuti Andre dan Shila di sisi kiri kanan kami masuk ke dalam rumah.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Ini saatnya aku melawan mama dan Adela. Menyangkal semua kebohongan yang dibuat Dela. Terutama memperbaiki nama baik suamiku. Dan apapun yang nanti akan terjadi, aku sudah siap menghadapi mereka.

Suara bentakan nada tinggi menyambut kami di ruang tamu hingga masuk ke ruang tengah, dimana keluarga besar kami berkumpul. Mereka berhenti berbicara bukan, lebih tepat berdebat saat kami masuk.

Tatapan tajam dari keluargaku dan tatapan kesal dari keluarga Rafael menyambut kami. Tidak mengurangi raut wajah terkejut mereka melihatku yang duduk di atas kursi roda.

"Kamu kemana saja?" Tanya om Rafael yang berbisik tapi terdengar kekesalannya pada Rafael.

"Menjaga Adre, om" jawab Rafael singkat tapi membuat omnya terdiam menatapku. Lalu menghela nafas pelan.

"Kamu duduk dekat papi mami kamu" ucap om Rafael dengan nada melunak. Ia menepuk pelan bahu Rafael memberi dukungan.

Rafael mendorong kursiku melewati tatapan keluarga kami yang ga bisa melepaskan pandangannya. Tatapan Amarah, benci, terkejut, cemas dan mendukung, semua dilayangkan ke kami.

Aku meneliti raut wajah papa, mama dan Dela yang melihat kedatangan kami. Walau sebenarnya yang kuharapkan, bagaimana perasaan mereka melihatku duduk di atas kursi roda.

Kecewa. Walau aku tau mama tidak peduli atau khawatir layaknya seorang ibu melihat putrinya sakit. Papa yang menatapku lama tapi hanya diam tanpa menanyakan kondisiku.

Bukan hanya kali ini aku mengalaminya. Harusnya aku ga berharap membayangkan reaksi orangtua pada umumnya. Khawatir, sedih, dan mencurahkan perhatian saat melihat putrinya sakit sedikit saja.

Tapi ini orangtuaku. Mereka berbeda dari orangtua lain terhadapku. Hanya terhadapku.

Dorongan Rafael menghapus jarak kami, semakin mendekat ke hadapan papa dan mama yang duduk di sofa. Aku juga melihat tante Sheila bersama om Glen, suami tante Sheila, duduk didekat Dylan dan Dareen ga jauh dari tempat duduk papa mama dan Dela. Mereka memberikan senyuman menyambut kami.

AdreanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang