Chapter 1

46 8 35
                                    

“Maaf jika jawabanku mengecewakanmu. Aku tidak bisa menerimanya. Semoga menemukan seseorang yang menerimamu dan tidak akan menyakitimu.”

Gadis itu tertunduk diam. Rasanya sakit memang jika apa yang kita harapkan tidak terwujudkan. Seperti permintaannya saat ini yang tidak diterima oleh lelaki yang berdiri di hadapannya itu.

“Maaf yah Kak. Makasih atas jawabannya,” ucap gadis itu dan pergi dengan langkah cepat. Ia tidak memiliki apa-apa untuk dikatakan pada lelaki yang menolaknya itu. Ia sedang hancur saat ini. Dan ia masih sempat untuk mengucapkan terima kasih di tengah kehancuran hatinya dan juga pada orang yang menjadi sebab kehancuran hatinya itu. Sungguh ia kuat, tapi ia tentu membutuhkan pelukan untuk semakin menguatkannya. Semoga sahabatnya akan melakukan hal itu.

Sebelum menyatakan perasaannya ia sungguh tahu jika akan seperti ini jadinya, hanya ada penolakan. Bukankah cinta harus diperjuangkan dan ia ingin mencobanya, dan beginilah hasilnya. Setidaknya ia sudah berjuang, mungkin dengan melakukan itu ia akan mudah untuk melupakan, karena sudah tahu bahwa memang tidak ada apa-apa lagi untuk terus berharap. Tidak ada kesempatan.

Lelaki itu menghela nafas dan kembali ke kumpulan teman-temannya. Dengan tanpa kata apa pun ia melanjutkan membaca bukunya. Padahal teman-temannya menuntut cerita dari dirinya. Hingga salah satu di antara mereka berdehem untuk mencuri perhatian lelaki itu.

“Alik, kamu tolak lagi?”

Iman, salah satu lelaki yang ada di kumpulan itu tidak sabar dan sangat penasaran maka dari itu ia mendahului bertanya dari dua teman lainnya. Ia tahu jika menunggu lelaki yang dipanggil Alik itu untuk bercerita dengan sukarela pada mereka adalah sebuah kesia-siaan

Lelaki yang di panggil Alik itu hanya mengangguk dan masih berfokus dengan buku yang dibacanya. Teman-temannya geram bukan main atas respon Alik.

“Ampun Lik, sayang banget kalau harus ditolak. Itu adik kelas cantik banget. Hidungnya mancung lagi. Kalau seumpama aku diposisi kamu Lik. Nggak perlu lima detik langsung aku iyain.”

Alik memukul kepala Wawan tanpa merassa bersalah. Sang korban yang di pukul pun mengaduh sakit dan bersunggut kesal. Seolah hal biasa Alik malah merenggangkan tangannya ke atas karena merasakan  pegal-pegal pada tangannya. Ali bangkit dan mengembalikan buku yang dibacanya ke rak kumpulan buku tempat ia mengambil buku itu.

“Ah, kau mah Lik, di tolak semua. Buat aku aja gitu. Udah kelamaan jomblo nih,” tukas Wawan.

“Haha, kamu kira mereka mau? Pasti nggak dong.” Iman justru mencemooh Wawan.

“Kita mah masih punya kaca, ya nggak Man?” Ogil bukannya membela Wawan justru semakin mencemooh Wawan.

“Ah, kalian berdua mah udah punya kesayangan. Aku mah apa atuh.” Wawan merana atas kejombloannya. Iman dan Ogil tertawa.

“Udah nasib Wan, terima wae,” tukas Ogil.

“Udah-udah, balik kelas yuk!” ajak Alik pada teman-temannya.

Iman, Wawan, dan Ogil bangkit dari duduknya dan menjawab serempak,

“Kuy lah.”

Meski demikian mereka tetap tertawa sambil berjalan kembali ke kelas. Candaan yang mungkin terdengar kejam oleh sebagian orang bagi mereka hal itu bukanlah suatu masalah. Mereka sama-sama paham jika candaan itu hanya sekedar candaan untuk mengikat hubungan kebersamaan mereka. Mereka mengerti itu dan meyakininya.

Kapten JombloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang